Peneliti Kritik Tebang Pilih Kebijakan Kesehatan Masyarakat terkait Air Minum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta tidak tebang pilih dalam menyediakan kepastian layanan kesehatan terhadap masyarakat. Hal tersebut disampaikan Peneliti Bisnis dan HAM Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Sahid Hadi berkaitan dengan wacana pelabelan "berpotensi mengandung BPA ".
"Kesadaran kita adalah bahwa setiap produk usaha itu tidak boleh membahayakan kepentingan publik, termasuk kesehatan publik dalam konteks ini, maka fungsi pengawasan BPOM itu diterapkan pada setiap produk pangan yang beredar di pasar, itu basic-nya," ujar Sahid Hadi di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Dia mengatakan BPOM sebagai kepanjangan tangan pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan apa pun produk pangan yang beredar di pasar, termasuk air minum dalam kemasan (AMDK) tidak menimbulkan kerugian-kerugian berbasis penikmatan hak atas kesehatan, hak asasi manusia dan hak-hak yang lain di level publik.
Dilanjutkan Sahid, artinya BPOM harus melakukan penelitian keamanan terhadap seluruh kemasan pangan dan bukan hanya fokus pada BPA saja. Kebijakan yang parsial hanya akan merugikan masyarakat sebagai konsumen dan melanggar hak mereka atas kesehatan secara keseluruhan.
Menurutnya, masyarakat hanya akan mendapatkan segelintir hak kesehatan saja dari pemerintah apabila yang diwajibkan oleh BPOM ke pelaku usaha itu hanya zat BPA. Padahal, zat berbahaya dalam seluruh AMDK tidak hanya BPA saja.
"Tapi BPOM hanya mewajibkan satu itu aja, nah itu justru sangat berpotensi untuk mengakibatkan atau menimbulkan kebijakan yang dampaknya itu diskriminatif pada pelaku usaha. Dan itu yang sebenarnya enggak boleh dilakukan oleh BPOM," jelasnya.
Sahid berpandangan BPOM lebih baik mengadakan identifikasi dan penelitian tidak hanya pada satu zat saja tetapi terhadap semua zat yang ada dalam AMDK yang sudah tersebar atau akan disebar ke pasar. BPOM juga perlu melakukan keterbukaan publik dari hasil penelitian tersebut sehingga masyarakat sebagai konsumen akhirnya mempunyai pengetahuan dan bisa memilih atas dasar kebebasan mereka.
"Nah di sisi lain, pelaku usaha juga tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif karena ada tugas negara untuk memastikan iklim usaha itu kondusif dan kompetitif," katanya.
Sahid menambahkan BPOM dalam menjalankan tugas negara harus memiliki kesadaran bahwa AMDK galon tidak hanya guna ulang tetapi juga ada yang sekali pakai. Menurutnya, negara tidak boleh hanya berfokus pada AMDK galon guna ulang saja atau yang sekali pakai saja.
Baca juga: Perlu Kajian Ilmiah Sebelum Membuat Regulasi Zat Kimia Berbahaya pada Kemasan Pangan
"Sebagai catatan penting, upaya negara termasuk BPOM dalam kerangka kebijakan persaingan usaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan pemulihan pelanggaran dari entitas bisnis pada hak atas kesehatan itu harus dijalankan secara tidak diskriminatif," tutupnya.
"Kesadaran kita adalah bahwa setiap produk usaha itu tidak boleh membahayakan kepentingan publik, termasuk kesehatan publik dalam konteks ini, maka fungsi pengawasan BPOM itu diterapkan pada setiap produk pangan yang beredar di pasar, itu basic-nya," ujar Sahid Hadi di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Dia mengatakan BPOM sebagai kepanjangan tangan pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan apa pun produk pangan yang beredar di pasar, termasuk air minum dalam kemasan (AMDK) tidak menimbulkan kerugian-kerugian berbasis penikmatan hak atas kesehatan, hak asasi manusia dan hak-hak yang lain di level publik.
Dilanjutkan Sahid, artinya BPOM harus melakukan penelitian keamanan terhadap seluruh kemasan pangan dan bukan hanya fokus pada BPA saja. Kebijakan yang parsial hanya akan merugikan masyarakat sebagai konsumen dan melanggar hak mereka atas kesehatan secara keseluruhan.
Menurutnya, masyarakat hanya akan mendapatkan segelintir hak kesehatan saja dari pemerintah apabila yang diwajibkan oleh BPOM ke pelaku usaha itu hanya zat BPA. Padahal, zat berbahaya dalam seluruh AMDK tidak hanya BPA saja.
"Tapi BPOM hanya mewajibkan satu itu aja, nah itu justru sangat berpotensi untuk mengakibatkan atau menimbulkan kebijakan yang dampaknya itu diskriminatif pada pelaku usaha. Dan itu yang sebenarnya enggak boleh dilakukan oleh BPOM," jelasnya.
Sahid berpandangan BPOM lebih baik mengadakan identifikasi dan penelitian tidak hanya pada satu zat saja tetapi terhadap semua zat yang ada dalam AMDK yang sudah tersebar atau akan disebar ke pasar. BPOM juga perlu melakukan keterbukaan publik dari hasil penelitian tersebut sehingga masyarakat sebagai konsumen akhirnya mempunyai pengetahuan dan bisa memilih atas dasar kebebasan mereka.
"Nah di sisi lain, pelaku usaha juga tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif karena ada tugas negara untuk memastikan iklim usaha itu kondusif dan kompetitif," katanya.
Sahid menambahkan BPOM dalam menjalankan tugas negara harus memiliki kesadaran bahwa AMDK galon tidak hanya guna ulang tetapi juga ada yang sekali pakai. Menurutnya, negara tidak boleh hanya berfokus pada AMDK galon guna ulang saja atau yang sekali pakai saja.
Baca juga: Perlu Kajian Ilmiah Sebelum Membuat Regulasi Zat Kimia Berbahaya pada Kemasan Pangan
"Sebagai catatan penting, upaya negara termasuk BPOM dalam kerangka kebijakan persaingan usaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan pemulihan pelanggaran dari entitas bisnis pada hak atas kesehatan itu harus dijalankan secara tidak diskriminatif," tutupnya.
(kri)