Pancasila versi 1945, Orde Baru, dan Masa Depan

Rabu, 17 Juni 2020 - 11:51 WIB
loading...
Pancasila versi 1945, Orde Baru, dan Masa Depan
Al Makin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Al Makin
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga

PANCASILA itu lahir bulan Juni 1945, sedangkan kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus tahun yang sama. Jelaslah Pancasila mendahului dua bulan dari proklamasi. Pancasila pada saat itu merupakan perwujudan cita-cita atau idealisme tinggi para pendiri bangsa, termasuk Soekarno, yang belum mengalami pergolakan internal sesama mereka.

Pancasila adalah visi masa depan para pendiri, sebelum kemerdekaan itu benar-benar dideklarasikan. Walaupun konsep lima sila itu sudahdigodog dalam perdebatan dan kompromi dengan berbagai unsur dan kelompok yang ada, namun idealisme itu belum diwarnai kepentingan-kepentingan pragmatis. (Baca juga: Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi)

Selama periode Soekarno, Pancasila menjalankan dua fungsi utama, yaitu idealisme dan identitas, atau cita-cita dan jati diri. Idealisme lima sila itu selalu dikaitkan dengan darah dan airmata perjuangan dalam mendirikan dan mempertahankan tulang-belulang bangsa.

Identitas bangsa juga terkait dengan upaya kemandiriannya ditandai dengan lepasnya cengkeraman kekuasaan asing di Nusantara. Slogan-slogan mengelegar tentang cita-cita dan jati diri kerap hadir dalam banyak pidato Bung Karno dan diperkuat oleh ungkapan-ungkapan para pendiri bangsa lainnya. (Lihat grafis: Polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila)

Setelah era Soekarno, Pancasila sebagai dasar bernegara dan nilai berbangsa mengalami banyak tafsir pragmatis sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial bermasyarakat. Ada perubahan mendasar era Soekarno dan era Soeharto dalam ber-Pancasila.

Generasi awalsaksi sejarah 1945 sadar ini. Sebagian dari mereka menyesuaikan diri secara politik; namun ada yang sengaja menghilang dari publik; dan ada pula yang kalah dan sirna. Perbedaan menyolok tafsir Soekarno dan Orde Baru terletak pada trauma sejarah 1965.

Kenyataannya, Orde Baru mengendalikan makna dan nilai pragmatis Pancasila secara ketat dan tak tertandingi selama tiga dekade. Generasi yang lahir dan tumbuhdalam tiga dekade itu benar-benar terbentuk dan memahami Pancasila ala Orde Baru, baik disadari atau tidak disadari.

Para sesepuh, pemimpin negara, pengendali politik, ekonomi, dan agama yang ada saat ini di antara kita tentu dibentuk dan adalah produk Pancasila era Orde Baru. Generasi Pancasila 1945 sudah meninggal semua.

Pancasila di benak kita adalah warisan Orde Baru. Pancasila era Soekarno telah lama menghilang dan belum pernah berani untuk kembali muncul secara terang-terangan.

Di sisi lain, tafsir Pancasila ala Reformasi masih dalam bentuk pencarian. Isu-isu mileneal terkini belum semuanya adahadir di benak dan wacana kita: hak asasi manusia, isu lingkungan, globalisasi, teknologi dan informasi, keragaman, toleransi, media sosial, pandemi dan lain-lain.

Tafsir Pancasila era Reformasi belum benar-benar terpikirkan secara serius. Buktinya adalah respons terhadap RUU HIP (Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila).

Jadi berdebatan seputar RUU HIP yang berkembang di pers dan media sosial adalah bentuk pertarungan wacana pengembalian Pancasila versi idealis 1945 dan reaksi versi pragmatis Orde Baru. Versi Orde Baru begitu kuat. Hantu traumatis 1965 masih terus menyeramkan bagi generasi kita yang saat ini sedang bermasyarakat dan bernegara.

Jelaslah kekuatan komunisme di dunia ini sudah runtuh lama: Tembok pemisah Jerman Timur dan Jerman Barat telah roboh tahun 1989, Uni Soviet tutup tahun 1991, dan China sudah menjadi negara adidaya kapitalis. Hanya Kuba, Veneuzuela, dan Korea Utara yang terlampau miskin dan tak mungkin mendanai bangkitnya komunisme dunia.

Kita sudah meninggalkan trauma itu 55 tahun. Orde Baru sudah memburu persembunyian cicit-cicitnya sampai ke lubang tikus terkecil pun. Tetapi trauma sudah menjadi hantu, yang menutupi kejernihan olah pikir.

Hantu itu tetap gentayangan di pikiran kita, dan siapa yang bisa membuktikan hantu itu ada? Secara ilmiah, hantu itu tidak nyata.

Tetapi, takhayul kuno itu masih dipercaya di hampir semua budaya etnis di seluruh Nusantara. Buktinya penampakan dan kisah hantu masih diminati pasar Indonesia dan layak di jual di banyak sinetron, film, talkshow, reality show, dan program para artis ibu kota cantik dan seksi dengan berbagai manipulasi: rumah seram, Jumat manis, jembatan rusak, pocong, jailangkung, kuburan, roh jahat, Nyai Blorong, gadis cantik jelmaan ular, tuyul pesugihan, kesurupan demit, dan masih banyak lagi. Hantu begitu kuat ada di pikiran dan memang pasar menghendaki demikian.

Keseraman hantu itu juga laku keras di pasar, tidak hanya di dunia hiburan yang semakin kapitalis, tetapi juga mungkin didunia politik yang semakin populis. Kesadaran diri untuk bangun dari halusinasi, trauma, pengalaman pahit, konflik masa lalu, dan sejarah kelam perlu keberanian.

Beranilah melangkah untuk masa depan, bukan masa lalu. Masa lalu sudah meninggalkan kita, masa depan menanti kita. Saat ini adalah waktu untuk membentuk siapa kita, dan kemana bangsa ini akan melangkah.

Agar mengizinkan diri kita untuk sedikit melangkah keluar dari perdebatan sengit Soekarnois versus Soehartois, hendaknya fokus diskusi RUU HIP diarahkan pada isu-isu yang lebih nyata dalam kehidupan, tidak hanya hantu-hantu fantasi yang menyeramkan. Masa lalu itu penting sebagai pembelajaran untuk membentuk masa depan yang lebih baik.

Tetapi dengan tenggelam pada pengalaman pahit, kita tidak akan pernah memaafkan dan melupakan kesalahan yang kita perbuat. Yang telah lewat adalah pengalaman getir. Boleh diingat tetapi jangan sampai gentayanganmenakuti masa depan.

Dalam RUU HIP banyak isu yang seharusnya dipikirkan secara jernih dan terbuka oleh kita semua,tanpa mengaitkan hantumasa lalu dan luka menganga yang belum sembuh: demokrasi politik Pancasila, ekonomi Pancasila, pembangunan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan hukum dan pemerintahan, sumber daya alam dan sumber daya manusia, isu lingkungan hidup, produksi pangan, komunikasi, kependudukan, pendidikan, dan lain-lain.

Tema-tema itu nyata. Apakah semua itu sudah sesuai dengan kebutuhan dan zaman kita terkini? Mungkinkah Indonesia bertahan dalam globalisasi yang kejam? Bisakah kita menyuapi diri sendiri dari tanah kita? Bisakah kita maju dan sejajar dengan bangsa lain?
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1160 seconds (0.1#10.140)