Menanti Jaminan Keamanan di Papua
loading...
A
A
A
SAMPAI kapan gejolak di Papua bisa berakhir? Pertanyaan demikian sudah pasti tersimpan di benak masyarakat luas yang prihatin melihat korban terus berjatuhan. Bahkan, belakangan intensitasnya menunjukkan peningkatan dengan korban yang lebih banyak.
Salah satu insinden yang paling mengusik perasaan adalah meninggalnya delapan karyawan PT Palapa Timur Telematika (PTT) yang ditembak kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kampung Kago, Distrik Ilaga Kabupaten Puncak, Papua pada Rabu (2/3). Mereka mengalami nasib nahas saat membangun tower Base Tranceiver Station (BTS) 3 Telkomsel. Sebelumnya, tiga personel TNI gugur saat melakukan patroli di Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Kamis (27/1).
Fakta-fakta memprihatinkan tersebut mengindikasikan bahwa KKB bukan hanya masih eksis, tapi juga memiliki kemampuan yang bisa mengacaukan keamanan di Papua. Selain itu, mereka bukan hanya mengincar prajurit TNI, tapi juga kian meningkatkan intensitas ancaman terhadap masyarakat sipil. KKB tidak peduli siapa yang menjadi target, kecuali hanya menciptakan kekacauan dan mencari perhatian.
Di sisi lain, realitas masih bertaringnya kekuatan KKB menimbulkan pertanyaan sejauh mana efektivitas berbagai bentuk operasi keamanan maupun pendekatan kesejahteraan di Papua? Sebaliknya, apakah pendekatan baru yang dilakukan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang dinilai lebih soft bisa menggaransi terwujudnya keamanan di Papua?
Tak dapat dimungkiri, langkah yang dilakukan pemerintah, TNI dan Polri selama ini telah mempersempit ruang gerak KKB dan memperlemah kekuatan mereka. Seperti diungkapkan Kogabwilhan III, kondisi tersebut bisa dilihat dari wilayah operasi KKB yang terpusat di gunung-gunung. Dalam operasinya, mereka juga diidentifikasi bergerak dalam kekuatan kecil antara 5-7 orang. Begitupun bekal senjata yang dibawa, sangat terbatas.
Walaupun demikian, bukan berarti KKB sudah lemah dan tidak berdaya. Banyaknya korban keganasan mereka menjadi bukti bahwa sekecil apapun kekuatan mereka saat ini masih perlu mendapat perhatian serius. Dalam konteks keamanan, perhatian semestinya diberikan dengan meningkatkan intensitas operasi hingga kekuatan KKB benar-benar pada titik kelumpuhan dan tidak lagi bisa melakukan gangguan signifikan.
Tapi ternyata, Jenderal TNI Andika Perkasa memilih pendekatan berbeda. Begitu dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Panglima TNI (17/11), dia menegaskan akan memberlakukan Papua tak ubahnya wilayah lain di NKRI. Dengan demikian, status gelar Satgas yang ada di Papua dan Papua Barat harus sama dengan wilayah lain. Dia sangat optimistis langkah baru ini bisa berhasil mewujudkan keamanan di wilayah Papua.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga mengubah operasi penindakan hukum terhadap KKB. Mulai akhir Januari 2022, Operasi Nemangkawi pun diubah menjadi Operasi Damai Cartenz.Implikasinya, jajaran Polri tidak diperkenankan menyerang KKB terlebih dahulu, tapi lebih defensif dalam merespons ancamanan dan serangan.
Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, pada prinsipnya pendekatan baru tentang penanganan Papua tersebut sudah tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 dan dilanjutkan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2020. Intinya pendekatan Papua itu adalah pembangunan kesejahteraan yang komprehensif dan sinergis.
Secara rasional, perubahan kebijakan menjadi lebih soft bisa dipahami. Selain mempertimbangkan kekuatan KKB yang relatif kecil, sekecil apapun respons yang dilakukan pemerintah di wilayah tersebut tidak berada di ruang kosong. Harus diakui, isu HAM masih menjadi variabel yang setiap saat didengungkan organisasi dunia, negara atau kelompok yang mempunyai kepentingan terhadap Papua.
Namun, bukan berarti faktor keamanan dilepas begitu saja. Bila demikian, KKB bisa bermanuver semau mereka, hingga korban akan terus berjatuhan, terutama warga sipil. Apalagi, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sudah menegaskan apapun pendekatan yang ditunjukkan pemerintah tidak akan mengubah sikap mereka, karena kompromi bukanlah tujuan.
Sebagai jalan tengah, TNI/Polri tidak boleh melepaskan begitu saja kewaspadaan keamanan, terutama terhadap warga sipil yang tengah menjalankan program pembangunan, seperti karyawan PT PTT atau pekerja lain yang bekerja pada sektor infrastruktur yang tengah digencarkan di Papua. Di sisi lain, personel TNI/Polri yang tengah bertugas harus mendapatkan fasilitas keamanan diri yang lebih, termasuk dengan memanfaatkan teknologi drone. Tak kalah penting adalah menyimulasikan taktik baru pengamanan di lapangan yang lebih mampu mengadapi serangan KKB.
Lihat Juga: Bawaslu Ungkap Pilkada Puncak Jaya Ricuh, Terjadi Perang Antarpendukung hingga Pembakaran Rumah
Salah satu insinden yang paling mengusik perasaan adalah meninggalnya delapan karyawan PT Palapa Timur Telematika (PTT) yang ditembak kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kampung Kago, Distrik Ilaga Kabupaten Puncak, Papua pada Rabu (2/3). Mereka mengalami nasib nahas saat membangun tower Base Tranceiver Station (BTS) 3 Telkomsel. Sebelumnya, tiga personel TNI gugur saat melakukan patroli di Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Kamis (27/1).
Fakta-fakta memprihatinkan tersebut mengindikasikan bahwa KKB bukan hanya masih eksis, tapi juga memiliki kemampuan yang bisa mengacaukan keamanan di Papua. Selain itu, mereka bukan hanya mengincar prajurit TNI, tapi juga kian meningkatkan intensitas ancaman terhadap masyarakat sipil. KKB tidak peduli siapa yang menjadi target, kecuali hanya menciptakan kekacauan dan mencari perhatian.
Di sisi lain, realitas masih bertaringnya kekuatan KKB menimbulkan pertanyaan sejauh mana efektivitas berbagai bentuk operasi keamanan maupun pendekatan kesejahteraan di Papua? Sebaliknya, apakah pendekatan baru yang dilakukan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang dinilai lebih soft bisa menggaransi terwujudnya keamanan di Papua?
Tak dapat dimungkiri, langkah yang dilakukan pemerintah, TNI dan Polri selama ini telah mempersempit ruang gerak KKB dan memperlemah kekuatan mereka. Seperti diungkapkan Kogabwilhan III, kondisi tersebut bisa dilihat dari wilayah operasi KKB yang terpusat di gunung-gunung. Dalam operasinya, mereka juga diidentifikasi bergerak dalam kekuatan kecil antara 5-7 orang. Begitupun bekal senjata yang dibawa, sangat terbatas.
Walaupun demikian, bukan berarti KKB sudah lemah dan tidak berdaya. Banyaknya korban keganasan mereka menjadi bukti bahwa sekecil apapun kekuatan mereka saat ini masih perlu mendapat perhatian serius. Dalam konteks keamanan, perhatian semestinya diberikan dengan meningkatkan intensitas operasi hingga kekuatan KKB benar-benar pada titik kelumpuhan dan tidak lagi bisa melakukan gangguan signifikan.
Tapi ternyata, Jenderal TNI Andika Perkasa memilih pendekatan berbeda. Begitu dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Panglima TNI (17/11), dia menegaskan akan memberlakukan Papua tak ubahnya wilayah lain di NKRI. Dengan demikian, status gelar Satgas yang ada di Papua dan Papua Barat harus sama dengan wilayah lain. Dia sangat optimistis langkah baru ini bisa berhasil mewujudkan keamanan di wilayah Papua.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga mengubah operasi penindakan hukum terhadap KKB. Mulai akhir Januari 2022, Operasi Nemangkawi pun diubah menjadi Operasi Damai Cartenz.Implikasinya, jajaran Polri tidak diperkenankan menyerang KKB terlebih dahulu, tapi lebih defensif dalam merespons ancamanan dan serangan.
Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, pada prinsipnya pendekatan baru tentang penanganan Papua tersebut sudah tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 dan dilanjutkan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2020. Intinya pendekatan Papua itu adalah pembangunan kesejahteraan yang komprehensif dan sinergis.
Secara rasional, perubahan kebijakan menjadi lebih soft bisa dipahami. Selain mempertimbangkan kekuatan KKB yang relatif kecil, sekecil apapun respons yang dilakukan pemerintah di wilayah tersebut tidak berada di ruang kosong. Harus diakui, isu HAM masih menjadi variabel yang setiap saat didengungkan organisasi dunia, negara atau kelompok yang mempunyai kepentingan terhadap Papua.
Namun, bukan berarti faktor keamanan dilepas begitu saja. Bila demikian, KKB bisa bermanuver semau mereka, hingga korban akan terus berjatuhan, terutama warga sipil. Apalagi, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sudah menegaskan apapun pendekatan yang ditunjukkan pemerintah tidak akan mengubah sikap mereka, karena kompromi bukanlah tujuan.
Sebagai jalan tengah, TNI/Polri tidak boleh melepaskan begitu saja kewaspadaan keamanan, terutama terhadap warga sipil yang tengah menjalankan program pembangunan, seperti karyawan PT PTT atau pekerja lain yang bekerja pada sektor infrastruktur yang tengah digencarkan di Papua. Di sisi lain, personel TNI/Polri yang tengah bertugas harus mendapatkan fasilitas keamanan diri yang lebih, termasuk dengan memanfaatkan teknologi drone. Tak kalah penting adalah menyimulasikan taktik baru pengamanan di lapangan yang lebih mampu mengadapi serangan KKB.
Lihat Juga: Bawaslu Ungkap Pilkada Puncak Jaya Ricuh, Terjadi Perang Antarpendukung hingga Pembakaran Rumah
(bmm)