Mengakhiri Polemik Politisasi Toa

Selasa, 08 Maret 2022 - 06:05 WIB
loading...
Mengakhiri Polemik Politisasi Toa
Pj Ketua Umum PB HMI, Romadhon JASN. Foto/SINDOnews
A A A
Romadhon JASN
Pj Ketua Umum PB HMI

SURAT Edaran Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang mengatur volume pengeras suara Masjid dan Musala menimbulkan resistensi dan menuai polemik. Pasalnya, SE tersebut dinilai merugikan umat Islam yang notabene umat mayoritas. Yang paling disorot adalah terkait statemen yang "dianggap" membandingkan suara adzan dengan gonggongan Anjing.

Padahal, jika diamati betul dalam video yang viral itu, justru tidak ditemukan disksi atau pernyataan Gus Yaqut membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing. Sebaliknya, video yang viral tersebut tidak utuh tetapi hasil editing lalu diviralkan sehingga Menag dihakimi, dicaci maki, dibully, bahkan dianggap menista agama Islam. Akibat "fitnah" yang bersumber dari berita hoaxs alias bohong hasil rekayasa, manipulasi, dan politisasi itu, Gus Yaqut dipersekusi dan diperlakukan tidak adil bahkan "dipaksa" meminta maaf.

Penghakiman publik atas pernyataan Gus Yaqut sungguh di luar nalar dan jauh dari logik yang jernih. Bagaimana mungkin fikiran seseorang "dihakimi" dengan persekusi, penolakan, demonstrasi di beberapa daerah. Seyogyanya, fikiran dan ide bukan dihakimi dengan narasi yang penuh dengan kebencian. Lihat saja di jagat digital, betapa tendensiusnya narasi yang menghiasi sosial media membully, mencaci maki, memfitnah dengan penuh kebencian dilayangkan secara terbuka kepada gus Yaqut. Padahal jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan jawaban dan klarifikasi atas pernyataan yang "menimbulkan" kegaduhan tersebut tak "melulu" dengan persekusi, penghakiman, dan justifikasi, tetapi jalan dialog jauh lebih baik sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.

Sebab yang ideal, fikiran dan ide harusnya didiskusikan dan diperdebatkan bukan diadili dengan persekusi maupun aksi demonstrasi yang sesungguhnya dapat menimbulkan konflik baru sehingga terjadi keretakan dan kohesi sosial antar kelompok terutama di tataran masyarakat arus bawah. Apalagi statemen Gus Yaqut yang viral itu tidak utuh tetapi hasil editing sehingga tidak bisa dipastikan salah. Hanya saja, pernyataan itu terlanjur "divonis" salah dan dianggap menghina serta menista agama Islam. Sungguh sangat mustahil Gus Yaqut yang notabeni muslim taat, menista Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya.

Ikhwal, sekadar informasi bahwa gus Yaqut bukan saja seorang muslim yang taat tetapi beliau adalah seorang tokoh putra ulama panutan bahkan kakek beliau adalah seorang ulama besar yang telah lama menyebarkan panji-panji Islam di Jawa Tengah. Boleh dilacak dokumen sejarah untuk sekadar memastikan bahwa "trah" Gus Yaqut adalah putra Kiai Bisri Mustofa seorang ulama besar yang juga salah satu pendiri Partai Kebangkita Bangsa (PKB). Kakak kandung beliau saat ini menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PB NU), yaitu KH Yahya Cholil Staquf.

Yang lebih menyedihkan lagi ketika beredar video menyerang pribadi Gus Yaqut dengan memanipulasi identitas beliau sebagai seorang tokoh putra ulama besar. Ironisnya, dalam cuplikan tayangan video itu, Gus Yaqut dituduh "muallaf". Fitnah murahan tersebut jelas tak berbanding lurus dengan realitas yang sesungguhnya. Sangat mudah untuk mengetahui identitas dan asal-muasal "trah" dan silsilah Gus Yaqut. Cukup buka internet lalu telusuri dokumen-dokumen asli perihal keabsahan beliau sebagai seorang kiai besar yang kebetulan saat ini mendapatkan amanah menjadi Menteri Agama.

Karena itu, penulis geram melihat video yang penuh dengan fitnah dan kebencian itu. Nampak sekali betapa video itu sengaja dibuat untuk menghacurkan reputasi Gus Yaqut. Penggiringan opini dan narasi negatif yang dilakukan oknum tak bertanggung jawab adalah bagian dari pembunuhan karakter terhadap Gus Yaqut. Karena itu, fitnah murahan tersebut sejatinya tak cukup dimaafkan tetapi jika perlu dibawa ke ranah hukum sehingga menimbulkan efek jera bagi siapa pun tanpa terkecuali.

SE Toa untuk Ciptakan Kehidupan Harmonis
Ketika SE aturan Toa Masjid dan Mushalla dikeluarkan lalu menjadi polemik, banyak pihak yang mempolitisasi. Suara nyaring dan teriakan lantang datang dari pelbagai arus terutama dari kelompok-kelompok radikal yang selama ini kerap memusuhi dan tidak setuju dengan kebijakan Menag. Lebih dari itu, mereka tidak hanya memusuhi kebijakannya tetapi juga memusuhi dan membenci pribadi Gus Yaqut. Puncak dari kebencian itu mereka luapkan dengan melakukan aksi demonstrasi meminta Presiden Jokowi mencopot Gus Yaqut dari jabatan Menteri Agama.

Pada titik inilah, patut dicurigai jangan-jangan teriakan lantang dan desakan mencopot Gus Yaqut dari Menag hanya semata-mata disebabkan kebencian dan "ketidaksukaan" terhadap Menag. Andai saja Gus Yaqut dinyatakan bersalah, apakah cukup alasan mencopot Gus Yaqut dari Menag, dan apakah berbanding lurus hanya karena disebabkan kesalahpahaman dalam menafsirkan statemen yang ditafsirkan sempit lalu didesak mundur dan dipecat.

Padahal, semua itu terjadi akibat propaganda dan narasi yang sengaja "digoreng" untuk menyudutkan gus Yaqut seolah-olah salah sehingga dibenci publik. Dari sini, penulis meyakini bahwa polemik soal SE Toa Masjid dan Mushalla jelas dipolitisasi dan digoreng sedemikian rupa terutama oleh pihak-pihak yang selama ini antiterhadap Menag karena Gus Yaqut adalah menteri yang paling lantang mengobarkan api perlawanan dan perang terhadap radikalisme dan ekstremisme. Akibatnya, kelompok ini merasa tidak nyaman dengan kebijakan Gus Yaqut yang oleh mereka dianggap merugikan.

Sejak dilantik menjadi Menteri Agama, Gus Yaqut banyak melakukan terobosan kebijakan yang progresif. Meskipun kebijakannya resisten dan menuai polemik, namun niat dan semangat Gus Yaqut tak lain dan tak bukan semata-mata untuk menciptakan kehidupan umat yang harmonis, hidup rukun, dan tidak ada yang merasa terganggu sehingga merasa nyaman dan tentram. Dalam konteks mewujudkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama sudah tentu tidak boleh ada yang merasa "terganggu" apalagi merasa "bising" dengan suara nyaring yang dinilai mengganggu kenyamanannya.

Maka hal tersebut menjadi suatu hal yang wajar ketika dibuatkan aturan termasuk soal aturan Toa Masjid dan Mushalla. Hanya saja, masyarakat nampaknya termakan isu dan terprovokasi oleh narasi-narasi "jahat" dalam perspektif penulis. Padahal jika ditelaah secara mendalam, SE tersebut tak merugikan umat Islam, tetapi justru SE tersebut adalah bentuk toleransi keberagaman. Inilah yang sesungguhnya tidak dipahami publik dan terburu-buru memberikan penilaian negatif alias objektif terhadap persoalan SE dan stetemen Gus Yaqut.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1298 seconds (0.1#10.140)