Efek Ekonomi Krisis Rusia Vs Ukraina

Sabtu, 05 Maret 2022 - 14:44 WIB
loading...
Efek Ekonomi Krisis Rusia Vs Ukraina
Erick Rompas/FOTO/Dok SINDO
A A A
Erick Rompas
Pemerhati Ekonomi dan Founder PT Bina Investama Global

‘No matter what political reasons are given for war, the underlying reason is always economic’
Kutipan di atas keluar dari mulut Alan John Percivale Taylor, seorang wartawan terkemuka asal Inggris , puluhan tahun silam. Kendati demikian, kata-kata Taylor relevan setiap ada perangan yang terjadi antarnegara maupun antaraliansi di dunia seperti yang terjadi saat ini di Ukraina .

Jika diterjemahkan secara bebas, kutipan Taylor kurang lebih begini:Apapun alasan politik yang mendasari sebuah peperangan, alasan sebenarnya selalu ekonomi.

Bicara soal perang dan ekonomi sebagai imbas dari invasi Rusia ke Ukraina, maka tidak dapat dilepaskan dari satu kata, yaitu ketidakpastian. Peperangan di timur Eropa telah menambah deretan ketidakpastian perekonomian global yang sebelumnya dipicu oleh revolusi industri 4.0 hingga pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Ketidakpastian global sudah barang tentu akan membuat ketidakpastian negara-negara dunia, termasuk Indonesia, kian meningkat.

Muara dari itu semua terlihat pada pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Pada Januari lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) sudah memangkas proyeksi pertumbuhan perekonomian global 2022 dari 4,9% menjadi 4,4%. Pemangkasan itu tidak terlepas dari pandemi Covid-19, khususnya hambatan akibat penyebaran virus Corona galur Omicron di berbagai negara termasuk Indonesia.

IMF belum merilis proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Akan tetapi, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva telah memberikan sinyal melalui sebuah pernyataan pada 24 Februari lalu apabila perang di Ukraina bakal memberikan risiko yang signifikan terhadap kawasan dan juga dunia.

Dunia yang semakin terhubung tentu dapat membuat penurunan PDB perekonomian global turut berimbas kepada ekonomi Indonesia. Pada Januari lalu, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,6% atau lebih rendah 0,3% dibandingkan perkiraan sebelumnya.

Sementara itu, target yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 tercatat 5,2%. Sedangkan untuk kuartal pertama ini, Kementerian Keuangan memproyeksikan perekonomian bakal tumbuh 4,5% hingga 5,2% secara tahunan.

Efek kedua dari perang di Ukraina adalah kenaikan harga sejumlah komoditas. Mulai dari gandum, batu bara hingga minyak mentah. Dalam tulisan ini, penulis hanya fokus terhadap harga "emas hitam" terhadap ekonomi dunia dan Indonesia.

Ketika tulisan ini dibuat, harga minyak telah berada di atas USD100 per barel. Padahal, harga "emas hitam" sebelumnya hanya berada di kisaran USD50-60 per barel.

Sejumlah negara pun mulai menaikkan harga BBM. Di Indonesia, kenaikan harga mulai tampak pada BBM yang dijual SPBU asing seperti Shell. Sementara itu, PT Pertamina (Persero) belum menaikkan harga lantaran penaikan harga baru dilakukan per 12 Februari 2022 untuk jenis-jenis BBM nonsubsidi seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex. Hal itu didasarkan oleh Keputusan Menteri ESDM di mana rentang kenaikan berbeda-beda di setiap wilayah tanah air, mulai dari Rp 1.500 hingga Rp 2.650 per liter.

Ketika harga minyak naik, maka biaya produksi barang maupun jasa akan mengalami kenaikan. Begitu juga dengan ongkos logistiknya. Rambatannya akan terlihat di level konsumen hingga memicu inflasi atau bahasa sederhananya kenaikan harga barang dan jasa.

Harga-harga yang naik tentu harus diantisipasi lantaran beban masyarakat berpotensi bertambah. Padahal, masalah kelangkaan hingga mahalnya harga minyak goreng pun belum terselesaikan hingga saat ini.

ResponsPemerintah
Mengacu kepada dinamika yang ada, lantas apa yang harus dilakukan pemerintah merespons situasi saat ini? Yang pertama dan utama adalah menjaga konsumsi masyarakat. Seperti diketahui, perekonomian tanah air masih bertumpu kepada konsumsi rumah tangga, apabila mengacu kepada penghitungan produk domestik bruto (PDB) versi Badan Pusat Statistik (BPS). Proporsinya mencapai 56-58% dari total PDB.

Itu artinya, pemerintah perlu memastikan agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Dalam keterangan pers secara virtual, Selasa (1/3), BPS melaporkan terjadi deflasi pada bulan Februari 2022 sebesar 0,02%. Namun, inflasi inti mencapai 0,2% atau berarti permintaan terhadap komoditas masih tinggi.

Selain memastikan agar program-program populer macam Program Keluarga Harapan (PKH) hingga Bantuan Sosial Tunai (BST) tetap berjalan baik, pemerintah juga dapat menjaga agar harga bahan bakar minyak (BBM) tidak naik meskipun harga minyak dunia melesat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan menjaga harga keekonomian BBM subsidi.

Patut diingat, mengacu kepada penghitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kenaikan USD1 dolar per barel minyak berdampak kepada beban kompensasi BBM Rp2,65 triliun dan elpiji Rp1,47 triliun. Sementara itu total subsidi BBM dan elpiji dalam APBN 2022 sebesar Rp77,5 triliun dengan harga patokan Indonesian Crude Price (ICP) USD63 per barel.

Langkah kedua yang tidak kalah penting adalah optimalisasi peran Tim Pengendali Inflasi Nasional (TPIN) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). TPIN dan TIPD merupakan tim yang bertugas memantau dan menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan inflasi khususnya di daerah. Tim pengendalian inflasi di tingkat pusat sendiri sudah ada sejak 2005.

Seperti diketahui, kenaikan harga barang juga dapat dipicu oleh aksi penimbunan. Berkaca kepada kasus penimbunan jutaan liter minyak goreng di Sumatera Utara beberapa waktu lalu, tim harus memastikan agar tidak ada penimbunan BBM maupun elpiji. Sebab, ketika ada yang menimbun, maka pasokan di pasar tradisional maupun modern terhambat hingga berujung kepada kenaikan harga di level konsumen.

Untuk itu, langkah hukum tegas perlu diambil kepada para penjahat yang hanya memikirkan keuntungan bisnis semata alih-alih kepentingan masyarakat luas. Dengan begitu, timbul efek jera sehingga peristiwa serupa tidak terulang kembali. Di titik inilah peran serta masyarakat juga dapat diikutkan demi inflasi dan daya beli yang terjaga.

Pada akhirnya, kita semua tentu berharap agar perdamaian segera terjadi di Ukraina. Sebab, perang tidak hanya memakan korban warga tidak berdosa semata, melainkan juga perekonomian dunia yang menjadi taruhan. Di saat perang terhadap Covid-19 belum berakhir, bukankah lebih elok peperangan dalam wujud invasi Rusia ke Ukraina diakhiri?
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2024 seconds (0.1#10.140)