Argumen Pemilu 2024 Diundur Tak Sejalan dengan Derasnya Penolakan Publik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes menegaskan bahwa argumentasi yang dipakai sejumlah pihak pengusul Pemilu 2024 diundur merupakan hal yang tak logis. Seperti halnya, menjadikan hasil survei tentang kepuasan publik terhadap Presiden yang dijadikan tolak ukurnya.
Jika argumen itu yang digunakan, Arya pun menyinggung soal survei opini publik seperti yang dilakukan Indikator Politik. Di mana, ia mengutip pada September 2021 dan Desember 2021 itu justru menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat atau di atas 70% masyarakat itu tidak setuju terhadap perpanjangan masa jabatan presiden atau masyarakat tetap menginginkan jabatan presiden itu maksimal hanya 5 tahun dan bisa dipilih sekali lagi di periode selanjutnya.
Pada saat yang sama, kata dia, Indikator juga melakukan survei terhadap kelompok elite seperti akademisi, wartawan, pengamat kebijakan, hingga civil society.
"Itu justru penolakan kelompok elite tersebut terhadap wacana perpanjangan masa jabatan itu justru lebih tinggi lagi sekitar 90 atau 93 persen kelompok elite menolak perpanjangan masa jabatan," ujar Arya dalam dukusi publik bertajuk 'Tolak Penundaan Pemilu 2024' yang digelar secara daring, Sabtu (26/2/2022).
Lebih jauh, ia juga merinci hasil survei tersebut. Di mana, berdasarkan pilihan publik ketika Pemilu 2019, sekitar 58,9 hampir 60% publik yang memilih Jokowi dalam Pemilu sebelumnya juga menolak wacana tersebut. Bahkan, porsi yang besar juga terlihat pada pemilihnya Prabowo Subianto yakni 87,8% menolak.
"Apa poinnya? Penggunaan alasan kepuasan publik untuk mendorong perpanjangan masa jabatan itu jelas tidak masuk akal, tidak berdasarkan bukti," paparnya.
"Karena buktinya, berdasarkan survei opini publik tadi mayoritas publik justru tidak menginginkan adanya perpanjangan masa jabatan. Ini bagian pertama, kenapa gagasan penundaan Pemilu itu tidak masuk akal," tegasnya.
Lihat Juga: Tom Lembong Ditahan Kejagung, Pakar Ingatkan Omongan Jokowi Minta Kebijakan Jangan Dikriminalisasi
Jika argumen itu yang digunakan, Arya pun menyinggung soal survei opini publik seperti yang dilakukan Indikator Politik. Di mana, ia mengutip pada September 2021 dan Desember 2021 itu justru menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat atau di atas 70% masyarakat itu tidak setuju terhadap perpanjangan masa jabatan presiden atau masyarakat tetap menginginkan jabatan presiden itu maksimal hanya 5 tahun dan bisa dipilih sekali lagi di periode selanjutnya.
Pada saat yang sama, kata dia, Indikator juga melakukan survei terhadap kelompok elite seperti akademisi, wartawan, pengamat kebijakan, hingga civil society.
"Itu justru penolakan kelompok elite tersebut terhadap wacana perpanjangan masa jabatan itu justru lebih tinggi lagi sekitar 90 atau 93 persen kelompok elite menolak perpanjangan masa jabatan," ujar Arya dalam dukusi publik bertajuk 'Tolak Penundaan Pemilu 2024' yang digelar secara daring, Sabtu (26/2/2022).
Lebih jauh, ia juga merinci hasil survei tersebut. Di mana, berdasarkan pilihan publik ketika Pemilu 2019, sekitar 58,9 hampir 60% publik yang memilih Jokowi dalam Pemilu sebelumnya juga menolak wacana tersebut. Bahkan, porsi yang besar juga terlihat pada pemilihnya Prabowo Subianto yakni 87,8% menolak.
"Apa poinnya? Penggunaan alasan kepuasan publik untuk mendorong perpanjangan masa jabatan itu jelas tidak masuk akal, tidak berdasarkan bukti," paparnya.
"Karena buktinya, berdasarkan survei opini publik tadi mayoritas publik justru tidak menginginkan adanya perpanjangan masa jabatan. Ini bagian pertama, kenapa gagasan penundaan Pemilu itu tidak masuk akal," tegasnya.
Lihat Juga: Tom Lembong Ditahan Kejagung, Pakar Ingatkan Omongan Jokowi Minta Kebijakan Jangan Dikriminalisasi
(kri)