Antara Aturan Toa, Framing dan Suara Anjing

Jum'at, 25 Februari 2022 - 22:07 WIB
loading...
A A A
Menteri Agama diminta memberikan keterangan tentang menertibkan dan mengatur volume suara azan demi menambah manfaat bagi tata laksana ibadah. Sementara suara anjing dan volumenya tentu saja tidak bisa diatur oleh satu edaran pun.

Itu ada dalam konteks ketika dia berbicara perumpamaan kehidupan dalam sebuah komplek. Dari tidak seimbangnya objek yang dituduh dibandingkan atau disamakan saja sudah terlihat ada sesat pikir (logical fallacy) dari mereka yang mencoba mengambil keuntungan atas kegaduhan dan sikap reaksioner yang sudah bisa diprediksi muncul dengan framing tersebut.

Toa dan Aturan Pengeras Suara
Seperti media dan perangkat media sosial yang awam dipakai saat ini, toa adalah inovasi baru yang datang bersama perkembangan teknologi. Toa dan perangkat pengeras suara lainnya tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Keberadaan pengeras suara tentu saja sangat membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang memerlukan keterlibatan banyak individu pada saat bersamaan termasuk dalam praktik ibadah. Penggunaannya yang baharu tentu saja selaras dengan perkembangan zaman.

Pada saat penduduk masih sedikit dan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya masih berjauhan keberadaan pengeras suara sangat diperlukan untuk memberi penanda datangnya waktu shalat, mengumandangkan syiar dan manfaat-manfaat lain bagi umat.

Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat dan bertambahnya rumah-rumah ibadah yang makin berdekatan satu sama lain, di beberapa tempat diperlukan penyesuaian-penyesuaian dalam penggunaan pengeras suara. Seperti disampaikan berulang-ulang oleh Menteri Agama, tidak ada upaya dari pemerintah untuk melarang Umat Islam menggunakan toa dalam rumah ibadah. Yang diatur adalah ketinggian volume suara sehingga jalannya ibadah menjadi lebih khidmat dan bermanfaat bagi sekelilingnya.

Aturan-aturan tentang ketertiban penggunaan pengeras suara sudah beberapa kali diterbitkan sejak berdirinya republik ini. Pada 1978 silam misalnya, sudah ada Instruksi Dirjen Binmas Islam Nomor: KEP/d/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar dan Musala. Aturan tersebut juga dijadikan dasar Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Surat Nomor: B.3940/DJ.III/HK.00.07/2018 yang juga mengatur soal penggunaan pengeras suara. Sehingga aturan yang baru dikeluarkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bukanlah tanpa pijakan dan pertimbangan yang menjadi legacy dari sesepuh-sesepuh di Kemenag sebelumnya.

Di dunia Islam yang lebih luas, aturan-aturan tentang ketertiban dan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah tidak hanya dilembarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim juga lebih awal serta konsisten menerapkan aturan tersebut, bahkan dengan sanksi yang lebih keras. Arab Saudi misalnya, hanya mengizinkan penggunaan speaker dalam mesjid untuk adzan, Shalat Jumat, Shalat Eid, dan Shalat Istisqa (minta hujan). Negara tetangga kita, Malaysia, hanya membolehkan penggunaan toa untuk adzan saja. Tilawah sebelum adzan maupun dzikir setelah shalat tidak boleh dikumandangkan melalui pengeras suara.

Di Mesir juga ada larangan menghidupkan pengeras suara selama Bulan Ramadan dengan tujuan ibadah lebih tenang. Sementara di India penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, termasuk masjid, dilarang dan akan dikenakan sanksi oleh negara.

Beberapa contoh tersebut semakin menunjukkan bahwa penggunaan pengeras suara adalah bukan esensi ibadah melainkan sebuah inovasi yang berkembang seiring teknologi zaman sehingga selalu terbuka untuk diberlakukan regulasi yang tentu saja bertujuan, meminjam kata-kata yang diartikulasikan oleh Menteri Agama, untuk menambah manfaat dan mengurangi mafsadat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1446 seconds (0.1#10.140)