Siapa Yang Membutuhkan RUU HIP?

Senin, 15 Juni 2020 - 05:47 WIB
loading...
A A A
Isu berikutnya menyangkut akomodasi paham komunisme dalam RUU HIP. Hal ini dapat dianalisis dari bagian Pembukaan RUU HIP mengenai dasar hukum, yang tidak menyantumkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/ Marxisme-Leninisme (disebut: TAP MPRS XXV/1966).

Bahwa judul RUU HIP adalah menyangkut ideologi, maka secara normatif, diharuskan menyantumkan dasar hukum mengenai ideologi yang dilarang. Apabila tidak dicantumkan dasar hukum yang melarang ideologi lain selain Pancasila, maka RUU HIP sangat kental kepentingan akomodasi politik untuk mengkompromikan ideologi komunis dalam berbangsa dan bernegara. Dan dasar hukum Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dinyatakan “Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang telah diundangkan pada Pasal 59 ayat (4) huruf c, “Ormas dilarang: menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”.

Negara dalam hal ini telah membatasi ruang gerak tersebarnya paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dalam konteks Ormas. Karena itu, RUU HIP yang secara terang benderang menyantumkan ideologi Pancasila harus menegaskan dirinya bahwa seluruh dasar hukum yang mengatur tentang ideologi terlarang haruslah dimasukkan ke dalam dasar hukum bagian Pembukaan RUU HIP.

Distorsi Makna Ketuhanan

Di dalam RUU HIP terdapat empat konsep “Tuhan”, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, “ketuhanan”, “ketuhanan yang berkebudayaan”, dan “berketuhanan”.

Di dalam Pasal 1 butir 2 RUU HIP, pengertian ideologi Pancasila masih mendasarkan pada frasa Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi pada Pasal 1 butir 10 yang mendefinisikan Masyarakat Pancasila, frasa Yang Maha Esa menjadi hilang, hanya tertulis Pancasila yang berketuhanan. Pada pasal-pasal selanjutya seluruh makna Ketuhanan Yang Maha Esa hanya dapat ditemukan dalam Pasal 8 huruf f, Pasal 12 ayat (3) huruf a, huruf d, selebihnya hanya frasa “ketuhanan”, “berketuhanan” dan “ketuhanan yang berkebudayaan”, sebagaimana yang bisa kita cermati pada Pasal 3 ayat 1 huruf a, Pasal 4 huruf b, Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) “ketuhanan yang berkebudayaan”.

Penyusun RUU HIP nampak jelas memiliki kepentingan lain untuk dapat menyisipkan keyakinan ketuhanan yang di luar dari maksud Pancasila. Jika konsep ketuhanan itu bersifat abstrak, maka RUU HIP mengakomodasi berbagai jenis tuhan yang juga termasuk tuhan bersifat materil atau nampak. Di sinilah letak masalah miskonsepsi ketuhanan versi RUU HIP yang sudah jauh melenceng dari Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 itu sendiri, sebagai konsensus bangsa Indonesia.

Menjatuhkan Derajat Pancasila; Kontradiksi Naskah Akademik dengan RUU HIP Kontradiksi Naskah Akademik dengan RUU nya nampak sangat jelas, penulis menilai RUU HIP bukanlah RUU “yang diharapkan kelahirannya” oleh NA nya. Mengapa? Karena penyusun RUU HIP sudah menyadari bahwa Pancasila itu sumber dari segala sumber hukum negara. Tetapi karena ada kepentingan politik di belakangnya, Pancasila dipaksakan diturunkan derajatnya menjadi UU. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa UU bersifat dinamis, sedangkan Pancasila bersifat statis. UU seperti area terbuka untuk diuji, dicabut, diubah, dan dibatalkan. Sedangkan Pancasila yang ada sekarang sudah berada pada tempatnya yang luhur.

Naskah Akademiknya pada halaman 11-12 telah mengutip secara jelas Putusan Mahkamah Konstitusi, “Mendasarkan pada alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 100/PUU-XI/2013, menyatakan bahwa secara konstitusional Pembukaan UUD 1945 tersebut mendudukkan apa yang terkandung di dalam Pancasila adalah sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara, Pancasila secara normatif harus menjadi fundamen penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia yang berfungsi memberikan perlindungan, penyejahteraan, pencerdasan, dan berpartisipasi dalam ketertiban dunia. Disisi lain Mahkamah Konstitusi melalui Putusan yang sama menyatakan bahwa Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka berpikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu di samping sebagai dasar negara, juga sebagai dasar filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum negara.”

Maka, sejatinya Pancasila haruslah tetap menjadi sumber segala sumber hukum negara, tanpa perlu dijadikan UU. Karena sebagai dasar negara, penafsiran Pancasila telah dijabarkan dalam batang tubuh UUD NRI 1945. Sehingga Pembukaan UUD NRI 1945 dan batang tubuh UUD NRI 1945 adalah haluan negara, haluan berbangsa dan bernegara, haluan seluruh pemerintahan dalam mengambil kebijakan. Pancasila lebih tinggi dari batang tubuh UUD NRI 1945. Mengapa Pancasila harus diuraikan secara rinci lagi ke dalam RUU HIP. DPR RI telah dengan sengaja menjatuhkan derajat Pancasila dari kedudukannya yang luhur, sebagai sumber nilai, pedoman, haluan dan dasar negara. Karena Pembukaan UUD NRI 1945 tidak bisa diamandemen, hanya batang tubuhnya yang dapat diamandemen.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1679 seconds (0.1#10.140)