Ini 7 Usulan Pemerintah dalam RUU TPKS, Perkawinan Paksa Jadi Tindak Pidana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gugus Tugas Pemerintah untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah menghasilkan 588 daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk dibahas dengan DPR mulai besok, Rabu (23/2/2022).
Sedikitnya ada tujuh hal baru usulan Pemerintah dalam DIM yang diungkap oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam temu media di kantornya, Selasa (22/2/2022). Berikut ringkasannya:
1. Pemprov, Pemkot, dan Pemkab wajib membentuk Unit Pelaksana Tugas Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) sebagai one stop crisis center untuk para korban kekerasan seksual.
2. RUU TPKS mengatur rinci kejahatan seksual yang timbul karena relasi kuasa. Misalnya antara dosen dan mahasiswa, guru dan murid, majikan dan anak buah, bos dan sekretaris, dll.
"Usulan ini muncul antara lain karena Indonesia kental budaya patriarki. Lazimnya terjadi tanpa paksaan meski korban terpaksa," kata Eddy Hiariej.
3. RUU TPKS mengatur pelecehan seksual berdasarkan budaya atau adat dengan korban orang dewasa sebagai delik aduan. Apabila korbannya anak-anak dan disabilitas, maka menjadi delik biasa.
4. Perkawinan paksa dan perbudakan seksual menjadi tindak pidana. Ini menambah usulan DPR mengenai pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi dan penyiksaan seksual.
Baca juga: Pemerintah Tolak Usul DPR Soal Perlindungan Saksi dan Korban di RUU TPKS
5. Restitusi menjadi kewajiban. Selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi untuk pemulihan korban. Pelaku yang tak mampu membayar restitusi, hartanya akan disita atau subsider hukuman penjara. Pemulihan korban akan ditanggung negara dengan kompensasi. Restitusi akan dihitung oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Polisi pun bisa langsung melakukan sita jaminan agar tersangka tidak sempat mengalihkan hartanya yang akan digunakan untuk restitusi," kata Eddy Hiariej.
6. Penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual tidak boleh dengan pendekatan restorative justice atau jalan damai. "Selama ini banyak terjadi pelaku atau keluarga pelaku dari kalangan mampu mengajak damai korban pemerkosaan atau pencabulan dari kalangan tidak mampu. Ini tidak bisa dibiarkan," ujar Eddy Hiariej.
7. RUU TPKS mengatur rinci perlindungan terhadap keluarga korban kekerasan seksual yang belum ada di aturan lain.
Sedikitnya ada tujuh hal baru usulan Pemerintah dalam DIM yang diungkap oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam temu media di kantornya, Selasa (22/2/2022). Berikut ringkasannya:
1. Pemprov, Pemkot, dan Pemkab wajib membentuk Unit Pelaksana Tugas Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) sebagai one stop crisis center untuk para korban kekerasan seksual.
2. RUU TPKS mengatur rinci kejahatan seksual yang timbul karena relasi kuasa. Misalnya antara dosen dan mahasiswa, guru dan murid, majikan dan anak buah, bos dan sekretaris, dll.
"Usulan ini muncul antara lain karena Indonesia kental budaya patriarki. Lazimnya terjadi tanpa paksaan meski korban terpaksa," kata Eddy Hiariej.
3. RUU TPKS mengatur pelecehan seksual berdasarkan budaya atau adat dengan korban orang dewasa sebagai delik aduan. Apabila korbannya anak-anak dan disabilitas, maka menjadi delik biasa.
4. Perkawinan paksa dan perbudakan seksual menjadi tindak pidana. Ini menambah usulan DPR mengenai pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi dan penyiksaan seksual.
Baca juga: Pemerintah Tolak Usul DPR Soal Perlindungan Saksi dan Korban di RUU TPKS
5. Restitusi menjadi kewajiban. Selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi untuk pemulihan korban. Pelaku yang tak mampu membayar restitusi, hartanya akan disita atau subsider hukuman penjara. Pemulihan korban akan ditanggung negara dengan kompensasi. Restitusi akan dihitung oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Polisi pun bisa langsung melakukan sita jaminan agar tersangka tidak sempat mengalihkan hartanya yang akan digunakan untuk restitusi," kata Eddy Hiariej.
6. Penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual tidak boleh dengan pendekatan restorative justice atau jalan damai. "Selama ini banyak terjadi pelaku atau keluarga pelaku dari kalangan mampu mengajak damai korban pemerkosaan atau pencabulan dari kalangan tidak mampu. Ini tidak bisa dibiarkan," ujar Eddy Hiariej.
7. RUU TPKS mengatur rinci perlindungan terhadap keluarga korban kekerasan seksual yang belum ada di aturan lain.
(abd)