Kisruh Harga Pangan yang Selalu Berulang
loading...
A
A
A
Sejumlah barang kebutuhan pokok akhir-akhir ini mengalami kenaikan harga. Di saat harga minyak goreng yang masih belum stabil, bahkan langka di pasaran, kini giliran para produsen tahu tempe yang dipusingkan dengan kenaikan harga kedelai yang dalam beberapa pekan terakhir.
Kenaikan bahan baku sumber protein paling murah ini terjadi di sejumlah wiilayah. Harga kedelai yang semula di bawah Rp9.000 per kg menjadi Rp11.000 bahkan ada yang mencapai Rp12.000 per kg. Para produsen tahu tempe pun mengeluhkan kondisi ini karena imbasnya mereka kehilangan keuntungan cukup besar.
Bahkan, ada pula yang mengaku merugi sehingga mereka terpaksa memperkecil ukuran tempe kendati buntutnya diprotes pelanggan. Sebagai bentuk kekecewaan, para produsen tempe-tahun berencana menggelar aksi mogok kerja pada 21-23 Februari ini.
Masalah tataniaga pangan di negeri ini memang seolah tidak ada habisnya. Kisruh kenaikan harga bahan pokok selalu saja terjadi hampir setiap tahun dan di musim-musim tertentu. Begitupun soal kedelai. Kejadian ini bukan kali pertama terjadi.
Pertanyannya, bagaimana sesungguhnya tata kelola pangan di negeri ini? Mengapa rentan sekali terjadi fluktuasi harga yang akhirnya merugikan pedagang kecil dan konsumen kelas bawah?
Berbagai pertanyaan yang kerap mengemuka tersebut pantas disampaikan. Namun, respons otoritas terkait sepertinya nyaris sama dari tahun ke tahun.
Soal tata niaga, produksi dan distribusi sering kali menjadi kambing hitamnya. Solusinya pun instan saja, seperti operasi pasar. Padahal, operasi pasar itu sesungguhnya bukan solusi fundamental karena jika diibaratkan hanya sebagai pemadam kebakaran. Bertindak apabila ada api yang harus dipadamkan. Justru, yang dibutuhkan adalah solusi jangka panjang yanag terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.
Masalah kenaikan harga pangan yang lainnya juga tidak mustahil bakal terjadi pada beberapa pekan mendatang. Apalagi tidak kurang dari 40 hari ke depan umat Muslim di Tanah Air akan menjalankan ibadah puasa Ramadan. Momen ini biasanya diikuti naiknya harga-harga kebutuhan pokok karena melonjaknya permintaan.
Lalu bagaimana agar persoalan harga komoditas pangan tidak selalu berulang? Ini penting agar masyarakat tak lagi was-was dan khawatir bahan pangan melonjak tiba-tiba.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki perangkat institusi untuk menjaga stabilitas harga bahan pangan dan ketersediannya. Untuk kedelai misalnya, ada Kementerian Pertanian di sisi hulu alias produksi, kemudian Kementerian Perdagangan yang mengurusi tata niaganya. Sementara untuk produk minyak goreng, ada sisi midstream yakni industri pengolahan yang kewenangannta ada di Kementerian Perindustrian.
Instansi-instansi tersebut sudah barang tentu punya mekanisme masing-masing dalam menjalanjan tugas dan tanggung jawabnya. Nah, yang jadi pertanyaan adalah sejauh mana mekanisme masing-masing berjalan agar bisa memastikan ketersediaan komoditas yang dimaksud dengan harga normal dan tak bergejolak.
Pemerintah juga semestinya bisa memitigasi agar pergerakan harga barang kebutuhan pokok masyarakat bisa terkendali. Mitigasi yang dimaksud mulai dari perhitungan suplai dan demand yang tepat, neraca masing-masing komoditas/produk.
Yang tak kalah penting adalah pemerintah mesti bisa mengantisipasi dan memproyeksikan kapan tren kenaikan harga bakal terjadi. Untuk bagian ini, mestinya otoritas terkait sudah mengetahuinya apalagi Indonesia sangat terkait erat dengan rantai pasok global.
Di samping itu, pengawasan juga sangat penting dilakukan. Mulai dari tata niaga di hulu hingga hilirnya. Jangan sampai terjadi kelangkaan barang hanya karena ada oknum yang sengaja menimbun pasokan seperti yang terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Di wilayah itu, ditemukan 1,1 juta kilogram minyak goreng yang sengaja tidak diedarkan karena pemiliknya enggan merugi akibat kebijakan harga yang ditetapkan Kementerian Perdagangan.
Dalam hal ini, apresiasi patut diberikan kepada Satgas Pangan setempat yang berhasil mengungkap praktik kecurangan di tengah jeritan masyarakat yang begitu mendamba minyak goreng yang langka di negeri kaya sawit ini.
Ke depan, koordinasi dan pengawasan ini bisa lebih kuat apabila Badan Pangan Nasional yang dibentuk berdasarkan Badan Pangan Nasional melalui Perpres No 66/2021 sudah mulai bekerja secara optimal. Sayangnya, badan yang bertanggung jawab kepada presiden itu hingga kini masih belum aktif karena belum ada struktur dan perangkatnya.
Kenaikan bahan baku sumber protein paling murah ini terjadi di sejumlah wiilayah. Harga kedelai yang semula di bawah Rp9.000 per kg menjadi Rp11.000 bahkan ada yang mencapai Rp12.000 per kg. Para produsen tahu tempe pun mengeluhkan kondisi ini karena imbasnya mereka kehilangan keuntungan cukup besar.
Bahkan, ada pula yang mengaku merugi sehingga mereka terpaksa memperkecil ukuran tempe kendati buntutnya diprotes pelanggan. Sebagai bentuk kekecewaan, para produsen tempe-tahun berencana menggelar aksi mogok kerja pada 21-23 Februari ini.
Masalah tataniaga pangan di negeri ini memang seolah tidak ada habisnya. Kisruh kenaikan harga bahan pokok selalu saja terjadi hampir setiap tahun dan di musim-musim tertentu. Begitupun soal kedelai. Kejadian ini bukan kali pertama terjadi.
Pertanyannya, bagaimana sesungguhnya tata kelola pangan di negeri ini? Mengapa rentan sekali terjadi fluktuasi harga yang akhirnya merugikan pedagang kecil dan konsumen kelas bawah?
Berbagai pertanyaan yang kerap mengemuka tersebut pantas disampaikan. Namun, respons otoritas terkait sepertinya nyaris sama dari tahun ke tahun.
Soal tata niaga, produksi dan distribusi sering kali menjadi kambing hitamnya. Solusinya pun instan saja, seperti operasi pasar. Padahal, operasi pasar itu sesungguhnya bukan solusi fundamental karena jika diibaratkan hanya sebagai pemadam kebakaran. Bertindak apabila ada api yang harus dipadamkan. Justru, yang dibutuhkan adalah solusi jangka panjang yanag terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.
Masalah kenaikan harga pangan yang lainnya juga tidak mustahil bakal terjadi pada beberapa pekan mendatang. Apalagi tidak kurang dari 40 hari ke depan umat Muslim di Tanah Air akan menjalankan ibadah puasa Ramadan. Momen ini biasanya diikuti naiknya harga-harga kebutuhan pokok karena melonjaknya permintaan.
Lalu bagaimana agar persoalan harga komoditas pangan tidak selalu berulang? Ini penting agar masyarakat tak lagi was-was dan khawatir bahan pangan melonjak tiba-tiba.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki perangkat institusi untuk menjaga stabilitas harga bahan pangan dan ketersediannya. Untuk kedelai misalnya, ada Kementerian Pertanian di sisi hulu alias produksi, kemudian Kementerian Perdagangan yang mengurusi tata niaganya. Sementara untuk produk minyak goreng, ada sisi midstream yakni industri pengolahan yang kewenangannta ada di Kementerian Perindustrian.
Instansi-instansi tersebut sudah barang tentu punya mekanisme masing-masing dalam menjalanjan tugas dan tanggung jawabnya. Nah, yang jadi pertanyaan adalah sejauh mana mekanisme masing-masing berjalan agar bisa memastikan ketersediaan komoditas yang dimaksud dengan harga normal dan tak bergejolak.
Pemerintah juga semestinya bisa memitigasi agar pergerakan harga barang kebutuhan pokok masyarakat bisa terkendali. Mitigasi yang dimaksud mulai dari perhitungan suplai dan demand yang tepat, neraca masing-masing komoditas/produk.
Yang tak kalah penting adalah pemerintah mesti bisa mengantisipasi dan memproyeksikan kapan tren kenaikan harga bakal terjadi. Untuk bagian ini, mestinya otoritas terkait sudah mengetahuinya apalagi Indonesia sangat terkait erat dengan rantai pasok global.
Di samping itu, pengawasan juga sangat penting dilakukan. Mulai dari tata niaga di hulu hingga hilirnya. Jangan sampai terjadi kelangkaan barang hanya karena ada oknum yang sengaja menimbun pasokan seperti yang terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Di wilayah itu, ditemukan 1,1 juta kilogram minyak goreng yang sengaja tidak diedarkan karena pemiliknya enggan merugi akibat kebijakan harga yang ditetapkan Kementerian Perdagangan.
Dalam hal ini, apresiasi patut diberikan kepada Satgas Pangan setempat yang berhasil mengungkap praktik kecurangan di tengah jeritan masyarakat yang begitu mendamba minyak goreng yang langka di negeri kaya sawit ini.
Ke depan, koordinasi dan pengawasan ini bisa lebih kuat apabila Badan Pangan Nasional yang dibentuk berdasarkan Badan Pangan Nasional melalui Perpres No 66/2021 sudah mulai bekerja secara optimal. Sayangnya, badan yang bertanggung jawab kepada presiden itu hingga kini masih belum aktif karena belum ada struktur dan perangkatnya.
(ynt)