Tanggapi Mahfud MD, DPR Tegaskan FIR RI-Singapura Harus Diratifikasi ke UU
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS Sukamta mengkritisi pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD soal ratifikasi tiga perjanjian Indonesia dengan Singapura. Menurut dia, perjanjian Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau Flight Information Region (FIR), perjanjian Defense Coperation Agreement (DCA) dan ekstradisi mesti diratifikasi dalam bentuk produk hukum yang sama, yaitu undang-undang (UU).
"Perjanjian FIR dengan Singapura ini harus diatur dengan UU. Setidaknya ada 3 alasan : soal kedaulatan wilayah, amanat UUD NRI tahun 1945 dan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Sukamta kepada wartawan, Jumat (18/2/2022).
Alsan pertama, kata Sukamta, FIR merupakan kontrol wilayah udara yang wilayahnya ada dalam wilayah NKRI. Maka ini termasuk urusan strategis, terkait kedaulatan wilayah. Negara asing melakukan kontrol di atas wilayah negara Indonesia itu cukup strategis, jika tidak dikatakan cukup berbahaya.
"Bisa saja ada 55 negara lain yang mendelegasikan FIR-nya kepada negara lain. Tapi kita ingin Indonesia terus berdaulat untuk mengontrol wilayahnya," tegasnya.
Kedua, sambung dia, amanat UUD NRI Tahun 1945 Pasal 11 ayat (1) mengamanatkan Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Ketiga, kata Sukamta, UUNo. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 10 sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2018 yang kemudian MK mengabulkan gugatan tersebut.
Oleh karena itu, Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri DPP PKS ini menjelaskan bahwa amanat UUD NRI Tahun 1945 pasal 11 ayat (1) tadi tegas mengatur perjanjian dengan negara lain harus melalui persetujuan DPR. Perjanjian FIR dengan Singapura termasuk kategori perjanjian dengan negara lain.
Sehingga, dia melanjutkan, MK dalam putusannya tahun 2018 menegaskan, norma hukum Pasal 10 tersebut bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana yang disebut dalam pasal 10 huruf A-F yang di antaranya mencakup bidang kedaulatan, pertahanan, dan keamanan negara yang harus mendapat persetujuan DPR, sehingga hanya jenis perjanjian internasional tersebut yang diatur dengan UU.
"Selain itu, UUD NRI Tahun 1945 Pasal 11 ayat (2) mengamanatkan Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. Pun, menurut pasal ini, jika perjanjian internasional lainnya dilakukan dengan selain negara, misalnya lembaga internasional, tetap harus melalui konsultasi dan persetujuan DPR," paparnya.
Oleh karena itu, Sukamta menambahkan, dari berbagai aspek ini sudah jelas perjanjian FIR harus dikonsultasikan dengan DPR untuk diatur dengan UU. Jika pemerintah menentukan sendiri bahwa ini diatur dengan Perpres, tanpa konsultasi dan persetujuan DPR, itu sembrono namanya.
Legislator Dapil Yogyakarta menegaskan, semua perjanjian internasional sebaiknya memang diperlukan konsultasi dengan DPR, khususnya Komisi I, untuk dimintai persetujuan, apakah nanti akan diatur dengan UU atau Perpres. Komisi I harus selalu berperan aktif dalam setiap perjanjian internasional. Jika perjanjian internasional tersebut terkait bidang komisi yang lain, Komisi I tetap sebagai leading sectornya, karena Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang mengurusi perjanjian internasional merupakan mitra Komisi I.
"Jadi, kami berharap pemerintah menunda dulu keputusan pengaturan FIR lewat Perpres ini, mereka harus konsultasi dengan DPR untuk mendapat persetujuan lewat UU," harap doktor lulusan Inggris ini.
Mahfud sebelumnya menyatakan bahwa FIR akan diratifikasi ke dalam peraturan presiden, sedangkan perjanjian DCA dan ekstradisi diratifikasi dalam bentuk UU.
"Perjanjian FIR dengan Singapura ini harus diatur dengan UU. Setidaknya ada 3 alasan : soal kedaulatan wilayah, amanat UUD NRI tahun 1945 dan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Sukamta kepada wartawan, Jumat (18/2/2022).
Alsan pertama, kata Sukamta, FIR merupakan kontrol wilayah udara yang wilayahnya ada dalam wilayah NKRI. Maka ini termasuk urusan strategis, terkait kedaulatan wilayah. Negara asing melakukan kontrol di atas wilayah negara Indonesia itu cukup strategis, jika tidak dikatakan cukup berbahaya.
"Bisa saja ada 55 negara lain yang mendelegasikan FIR-nya kepada negara lain. Tapi kita ingin Indonesia terus berdaulat untuk mengontrol wilayahnya," tegasnya.
Kedua, sambung dia, amanat UUD NRI Tahun 1945 Pasal 11 ayat (1) mengamanatkan Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Ketiga, kata Sukamta, UUNo. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 10 sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2018 yang kemudian MK mengabulkan gugatan tersebut.
Oleh karena itu, Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri DPP PKS ini menjelaskan bahwa amanat UUD NRI Tahun 1945 pasal 11 ayat (1) tadi tegas mengatur perjanjian dengan negara lain harus melalui persetujuan DPR. Perjanjian FIR dengan Singapura termasuk kategori perjanjian dengan negara lain.
Sehingga, dia melanjutkan, MK dalam putusannya tahun 2018 menegaskan, norma hukum Pasal 10 tersebut bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana yang disebut dalam pasal 10 huruf A-F yang di antaranya mencakup bidang kedaulatan, pertahanan, dan keamanan negara yang harus mendapat persetujuan DPR, sehingga hanya jenis perjanjian internasional tersebut yang diatur dengan UU.
"Selain itu, UUD NRI Tahun 1945 Pasal 11 ayat (2) mengamanatkan Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. Pun, menurut pasal ini, jika perjanjian internasional lainnya dilakukan dengan selain negara, misalnya lembaga internasional, tetap harus melalui konsultasi dan persetujuan DPR," paparnya.
Oleh karena itu, Sukamta menambahkan, dari berbagai aspek ini sudah jelas perjanjian FIR harus dikonsultasikan dengan DPR untuk diatur dengan UU. Jika pemerintah menentukan sendiri bahwa ini diatur dengan Perpres, tanpa konsultasi dan persetujuan DPR, itu sembrono namanya.
Legislator Dapil Yogyakarta menegaskan, semua perjanjian internasional sebaiknya memang diperlukan konsultasi dengan DPR, khususnya Komisi I, untuk dimintai persetujuan, apakah nanti akan diatur dengan UU atau Perpres. Komisi I harus selalu berperan aktif dalam setiap perjanjian internasional. Jika perjanjian internasional tersebut terkait bidang komisi yang lain, Komisi I tetap sebagai leading sectornya, karena Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang mengurusi perjanjian internasional merupakan mitra Komisi I.
"Jadi, kami berharap pemerintah menunda dulu keputusan pengaturan FIR lewat Perpres ini, mereka harus konsultasi dengan DPR untuk mendapat persetujuan lewat UU," harap doktor lulusan Inggris ini.
Mahfud sebelumnya menyatakan bahwa FIR akan diratifikasi ke dalam peraturan presiden, sedangkan perjanjian DCA dan ekstradisi diratifikasi dalam bentuk UU.
(muh)