Mudarat PTN Badan Hukum
loading...
A
A
A
Status badan hukum bukan variabel tunggal peningkatan kualitas kampus, melainkan akumulasi kepemimpinan, sumber daya manusia, fasilitas, dan budaya kerja. Untuk menjadi kampus negeri yang berkualitas, tidak harus menunggu status PTN BH. Apapun status kampus akan berkualitas jika ada di tangan rektor dengan kepemimpinan yang transformatif, visioner, demokratis, dan berjiwa wirausaha.
Kecuali itu, para pemimpin kampus harus sadar bahwa terlalu fokus pada indikator publikasi ilmiah bertaraf internasional, namun mengabaikan peran akademisi atas masyarakat adalah keliru. Sudah lama kampus-kampus kita—juga Kemendikbudristek dan Kementerian Agama—mengejar publikasi ilmiah, namun tak terdengar kontribusinya bagi masyarakat.
Tom Nichols (2021: 6) dalam bukunya, Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya, menulis: banyak pakar, dan khususnya mereka yang berada di lembaga pendidikan, mengabaikan tugas mereka untuk berhubungan dengan masyarakat. Mereka menarik diri ke dalam jargon dan hal-hal yang tidak relevan, memilih untuk berinteraksi dengan sesamanya saja.
Lagi pula tak ada hasil berarti dari konsentrasi penuh kampus kita dalam riset kecuali publikasi internasional, nama baik penulis, dan peringkat universitas. Hasil-hasil riset itu berhenti sebatas ide, namun tidak diproduksi untuk kepentingan masyarakat luas. Terhalang oleh birokrasi, politik, dan iklim investasi yang buruk. Vaksin Merah Putih dan industri pesawat terbang Nusantara tutup misalnya. Maka ilmuwan Indonesia berkembang di luar negeri, tapi mati di dalam negeri.
Keseimbangan Ilmu dan Usaha
Tidak mudah menjadi rektor yang dituntut mengembangkan ilmu sekaligus mencari dana melalui usaha untuk pengembangan kualitas kampus. Dibutuhkan kapasitas dan kepemimpinan rektor yang di atas rata-rata. Andai pun berhasil, harus ada keseimbangan keduanya: ilmu dan usaha.
Jangan sampai dosen ilmuwan kita berubah profesi menjadi pengusaha. Dosen disibukan dengan mencari proyek-proyek kerja sama dibanding mengembangkan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Para pejabat kampus berkerumun dan berdebat membicarakan untung-rugi, bukannya adu argumen melahirkan ilmu dan inovasi baru.
Di samping itu, otonomi keuangan membuka celah untuk korupsi. Uang pangkal seperti dijelaskan di atas sebagai salah satu pintunya. Kerja sama dengan pengusaha membuka peluang KKN jika pimpinan kampus tidak amanah dan jujur. Kampus-kampus kita selama ini terbukti tidak steril dari korupsi.
Otonomi pengelolaan keuangan jangan sampai menjadikan biaya pendidikan semakin tinggi dan masyarakat menjadi korbannya karena rektor dan jajarannya tak cukup kompeten dan lihai dalam bidang usaha dan penggalangan dana. Dana kampus harus dipastikan untuk pengembangan kualitas, bukan sarana mengambil keuntungan segelintir elite kampus.
Lihat Juga: Nadiem dan Bintang Puspayoga Absen Sidang Kabinet di IKN, Stafsus Presiden Bilang Begini
Kecuali itu, para pemimpin kampus harus sadar bahwa terlalu fokus pada indikator publikasi ilmiah bertaraf internasional, namun mengabaikan peran akademisi atas masyarakat adalah keliru. Sudah lama kampus-kampus kita—juga Kemendikbudristek dan Kementerian Agama—mengejar publikasi ilmiah, namun tak terdengar kontribusinya bagi masyarakat.
Tom Nichols (2021: 6) dalam bukunya, Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya, menulis: banyak pakar, dan khususnya mereka yang berada di lembaga pendidikan, mengabaikan tugas mereka untuk berhubungan dengan masyarakat. Mereka menarik diri ke dalam jargon dan hal-hal yang tidak relevan, memilih untuk berinteraksi dengan sesamanya saja.
Lagi pula tak ada hasil berarti dari konsentrasi penuh kampus kita dalam riset kecuali publikasi internasional, nama baik penulis, dan peringkat universitas. Hasil-hasil riset itu berhenti sebatas ide, namun tidak diproduksi untuk kepentingan masyarakat luas. Terhalang oleh birokrasi, politik, dan iklim investasi yang buruk. Vaksin Merah Putih dan industri pesawat terbang Nusantara tutup misalnya. Maka ilmuwan Indonesia berkembang di luar negeri, tapi mati di dalam negeri.
Keseimbangan Ilmu dan Usaha
Tidak mudah menjadi rektor yang dituntut mengembangkan ilmu sekaligus mencari dana melalui usaha untuk pengembangan kualitas kampus. Dibutuhkan kapasitas dan kepemimpinan rektor yang di atas rata-rata. Andai pun berhasil, harus ada keseimbangan keduanya: ilmu dan usaha.
Jangan sampai dosen ilmuwan kita berubah profesi menjadi pengusaha. Dosen disibukan dengan mencari proyek-proyek kerja sama dibanding mengembangkan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Para pejabat kampus berkerumun dan berdebat membicarakan untung-rugi, bukannya adu argumen melahirkan ilmu dan inovasi baru.
Di samping itu, otonomi keuangan membuka celah untuk korupsi. Uang pangkal seperti dijelaskan di atas sebagai salah satu pintunya. Kerja sama dengan pengusaha membuka peluang KKN jika pimpinan kampus tidak amanah dan jujur. Kampus-kampus kita selama ini terbukti tidak steril dari korupsi.
Otonomi pengelolaan keuangan jangan sampai menjadikan biaya pendidikan semakin tinggi dan masyarakat menjadi korbannya karena rektor dan jajarannya tak cukup kompeten dan lihai dalam bidang usaha dan penggalangan dana. Dana kampus harus dipastikan untuk pengembangan kualitas, bukan sarana mengambil keuntungan segelintir elite kampus.
Lihat Juga: Nadiem dan Bintang Puspayoga Absen Sidang Kabinet di IKN, Stafsus Presiden Bilang Begini
(bmm)