Mudarat PTN Badan Hukum

Rabu, 16 Februari 2022 - 11:56 WIB
loading...
Mudarat PTN Badan Hukum
Jejen Musfah (Foto: Ist)
A A A
Jejen Musfah
Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KEMENTERIAN Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengadakan diskusi terbatas masukan revisi draf Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional secara virtual (Kamis, 10/2/2022) dengan mengundang beberapa organisasi profesi guru dan pendidikan. Sebenarnya, RUU Sisdiknas tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2022. RUU ini merupakan Omnibus Law karena menyatukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Di antara pasal yang perlu diberikan catatan kritis adalah perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum (PTN BH).

Pasal 66, ayat (1) berbunyi perguruan tinggi diselenggarakan oleh pemerintah pusat berbentuk badan hukum. (2) Perguruan tinggi berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki: kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan; wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup program studi.

Banyak PTN yang mengejar status badan hukum karena berbagai otonomi di atas meski syaratnya cukup berat. Jika pasal ini disetujui, para rektor tidak perlu lagi berkeringat dan susah payah mengejar impian PTN BH karena sudah otomatis (taken for granted) diberikan pemerintah. Hingga saat ini sudah ada 15 PTN BH di Indonesia sehingga bisa dinilai kelebihan dan kekurangannya.

Komersialisasi Pendidikan
PTN berstatus badan hukum cenderung melahirkan komersialisasi pendidikan dan mengecilkan peran atau kewajiban negara atas pendidikan. Pengalaman beberapa kampus negeri besar menunjukkan bahwa biaya pendidikan menjadi lebih mahal dibanding sebelum berstatus PTN BH. Misal, pada seleksi jalur mandiri orang tua ditanya kesanggupan membayar uang masuk yang jumlahnya bervariasi.

Tujuannya jelas menjaring masyarakat golongan kelas menengah dan atas atau kalangan berduit. Akhirnya kelulusan anak bukan karena kompetensi, tetapi uang. Yang terjadi adalah persaingan keuangan orang tua, bukan persaingan kapasitas intelektual anak. Praktik komersialisasi pendidikan model uang pangkal ini dianggap legal sehingga dibiarkan oleh pemerintah.

Pasal 143, ayat (5), a dinyatakan perguruan tinggi negeri yang: menjaring mahasiswa baru bukan berdasarkan potensi akademik tinggi, melainkan dengan tujuan komersial; … dikenakan sanksi administratif. Pasal ini akan ompong karena selama ini pemerintah membiarkan PTN BH menjadi kampus elite yang mahal dan tidak terjangkau masyarakat luas.

Buktinya, tidak sedikit mahasiswa yang sudah lulus perguruan tinggi negeri mengundurkan diri atau harus membayar mahal. Sistem uang kuliah tunggal (UKT) yang ditetapkan kampus kerap tidak sesuai dengan kemampuan riil orang tua mahasiswa. Orangtua diberi waktu untuk menyanggah tetapi jikapun turun, hanya sedikit sehingga masih tetap memberatkan mereka. UKT adalah besaran biaya kuliah yang harus dibayar mahasiswa setiap semester sesuai dengan perekonomian orang tua.

PTN BH dan PT negeri secara umum tidak memberikan ruang bagi mahasiswa miskin dan kurang cerdas. Kuota 20% bagi siswa miskin pada praktiknya bagi mereka yang cerdas alias pintar. Padahal, pendidikan adalah alat yang akan mengubah nasib individu untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera. Dengan demikian, ia tidak mewarisi kemiskinan kultural.

Variabel Kualitas
Secara normatif, tujuan PTN BH mulia yaitu meningkatkan kualitas kampus. Otonomi akademik dan nonakademik memberikan kampus leluasa bergerak dan berkembang. Faktanya, tidak semudah membalik telapak tangan. Jika otonomi menjadi alasan kualitas, seharusnya banyak kampus swasta yang berkualitas dan maju.

Status badan hukum bukan variabel tunggal peningkatan kualitas kampus, melainkan akumulasi kepemimpinan, sumber daya manusia, fasilitas, dan budaya kerja. Untuk menjadi kampus negeri yang berkualitas, tidak harus menunggu status PTN BH. Apapun status kampus akan berkualitas jika ada di tangan rektor dengan kepemimpinan yang transformatif, visioner, demokratis, dan berjiwa wirausaha.

Kecuali itu, para pemimpin kampus harus sadar bahwa terlalu fokus pada indikator publikasi ilmiah bertaraf internasional, namun mengabaikan peran akademisi atas masyarakat adalah keliru. Sudah lama kampus-kampus kita—juga Kemendikbudristek dan Kementerian Agama—mengejar publikasi ilmiah, namun tak terdengar kontribusinya bagi masyarakat.

Tom Nichols (2021: 6) dalam bukunya, Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya, menulis: banyak pakar, dan khususnya mereka yang berada di lembaga pendidikan, mengabaikan tugas mereka untuk berhubungan dengan masyarakat. Mereka menarik diri ke dalam jargon dan hal-hal yang tidak relevan, memilih untuk berinteraksi dengan sesamanya saja.

Lagi pula tak ada hasil berarti dari konsentrasi penuh kampus kita dalam riset kecuali publikasi internasional, nama baik penulis, dan peringkat universitas. Hasil-hasil riset itu berhenti sebatas ide, namun tidak diproduksi untuk kepentingan masyarakat luas. Terhalang oleh birokrasi, politik, dan iklim investasi yang buruk. Vaksin Merah Putih dan industri pesawat terbang Nusantara tutup misalnya. Maka ilmuwan Indonesia berkembang di luar negeri, tapi mati di dalam negeri.

Keseimbangan Ilmu dan Usaha
Tidak mudah menjadi rektor yang dituntut mengembangkan ilmu sekaligus mencari dana melalui usaha untuk pengembangan kualitas kampus. Dibutuhkan kapasitas dan kepemimpinan rektor yang di atas rata-rata. Andai pun berhasil, harus ada keseimbangan keduanya: ilmu dan usaha.

Jangan sampai dosen ilmuwan kita berubah profesi menjadi pengusaha. Dosen disibukan dengan mencari proyek-proyek kerja sama dibanding mengembangkan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Para pejabat kampus berkerumun dan berdebat membicarakan untung-rugi, bukannya adu argumen melahirkan ilmu dan inovasi baru.

Di samping itu, otonomi keuangan membuka celah untuk korupsi. Uang pangkal seperti dijelaskan di atas sebagai salah satu pintunya. Kerja sama dengan pengusaha membuka peluang KKN jika pimpinan kampus tidak amanah dan jujur. Kampus-kampus kita selama ini terbukti tidak steril dari korupsi.

Otonomi pengelolaan keuangan jangan sampai menjadikan biaya pendidikan semakin tinggi dan masyarakat menjadi korbannya karena rektor dan jajarannya tak cukup kompeten dan lihai dalam bidang usaha dan penggalangan dana. Dana kampus harus dipastikan untuk pengembangan kualitas, bukan sarana mengambil keuntungan segelintir elite kampus.

(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2297 seconds (0.1#10.140)