Gugatan Partai Ummat soal Presidential Threshold Mulai Disidangkan MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gugatan Partai Ummat soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold mulai disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (9/2/2022). Partai Ummat meminta agar presidential threshold 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah pemilu dihapuskan.
Diketahui, uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diajukan oleh sejumlah pemohon. Pada hari ini, MK menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang UU Pemilu, yang diajukan oleh Partai Ummat yang diwakili Ridho Rahmadi sebagai Ketua Umum dan A. Muhajir selaku Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Ummat.
Sekjen Partai Ummat A Muhajir menyebut sejumlah kerugian yang dialami Partai Ummat sebagai partai politik dengan diberlakukannya Pasal 222 UU Pemilu. Pertama, Partai Ummat khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya tidak dapat memilih kandidat yang lebih banyak dan lebih selektif, sehingga menimbulkan deadlock yakni kebuntuan dalam menentukan pasangan calon, contohnya terjadi pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 dan 2019.
Kedua, Partai Ummat tidak dapat mengusulkan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Pemilihan mendatang dikarenakan partai politik baru, tidak memiliki kursi di DPR dan tidak memiliki suara pada Pemilihan sebelumnya.
Ketiga, Partai Ummat tidak mendapatkan keadilan dan persamaan dalam pemilihan dibandingkan dengan partai politik lama yang telah memiliki kursi di DPR dan telah berpartisipasi pada pemilihan sebelumnya.
"Keempat, Partai Ummat terhambat untuk merealisasikan manifesto politik sebagai sebuah partai demi turut terlibat dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara," ujarnya.
Dikutip dari laman mkri.id, dalam persidangan Perkara Nomor 11/PUU-XX/2022 ini, kuasa hukum pemohon, Muhamad Raziv Barokah, menyampaikan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah open legal policy dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Menurut pemohon, Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 merupakan delegasi yang mengamalkan hal-hal terkait dengan teknis. Sementara, ambang batas 20% bukan berbicara mengenai teknis dan malah menghambat terjadinya demokrasi yang fair dan kompetitif.
Sementara mengenai pengusungan, sambung Raziv, seharusnya telah diatur secara limitatif dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurutnya, keberadaaan Pasal 222 UU Pemilu ini diyakini pemohon bukan merupakan open legal policy, melainkan close legal policy. "Sehingga seharusnya Pasal 222 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Raziv melanjutkan, presidential threshold juga menghilangkan hak konstitusional pemohon sebagai partai politik untuk mengusulkan calon presiden, mendiskriminasi partai politik kecil, dan bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. "Dengan adanya Pasal 222 yang menambahkan frasa 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional menjadikan hak konstitusional murni yang diberikan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menjadi hilang dan tentunya sangat merugikan pemohon," ujarnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto.
Diketahui, uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diajukan oleh sejumlah pemohon. Pada hari ini, MK menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang UU Pemilu, yang diajukan oleh Partai Ummat yang diwakili Ridho Rahmadi sebagai Ketua Umum dan A. Muhajir selaku Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Ummat.
Sekjen Partai Ummat A Muhajir menyebut sejumlah kerugian yang dialami Partai Ummat sebagai partai politik dengan diberlakukannya Pasal 222 UU Pemilu. Pertama, Partai Ummat khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya tidak dapat memilih kandidat yang lebih banyak dan lebih selektif, sehingga menimbulkan deadlock yakni kebuntuan dalam menentukan pasangan calon, contohnya terjadi pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 dan 2019.
Baca Juga
Kedua, Partai Ummat tidak dapat mengusulkan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Pemilihan mendatang dikarenakan partai politik baru, tidak memiliki kursi di DPR dan tidak memiliki suara pada Pemilihan sebelumnya.
Ketiga, Partai Ummat tidak mendapatkan keadilan dan persamaan dalam pemilihan dibandingkan dengan partai politik lama yang telah memiliki kursi di DPR dan telah berpartisipasi pada pemilihan sebelumnya.
"Keempat, Partai Ummat terhambat untuk merealisasikan manifesto politik sebagai sebuah partai demi turut terlibat dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara," ujarnya.
Dikutip dari laman mkri.id, dalam persidangan Perkara Nomor 11/PUU-XX/2022 ini, kuasa hukum pemohon, Muhamad Raziv Barokah, menyampaikan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah open legal policy dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Menurut pemohon, Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 merupakan delegasi yang mengamalkan hal-hal terkait dengan teknis. Sementara, ambang batas 20% bukan berbicara mengenai teknis dan malah menghambat terjadinya demokrasi yang fair dan kompetitif.
Sementara mengenai pengusungan, sambung Raziv, seharusnya telah diatur secara limitatif dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurutnya, keberadaaan Pasal 222 UU Pemilu ini diyakini pemohon bukan merupakan open legal policy, melainkan close legal policy. "Sehingga seharusnya Pasal 222 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Raziv melanjutkan, presidential threshold juga menghilangkan hak konstitusional pemohon sebagai partai politik untuk mengusulkan calon presiden, mendiskriminasi partai politik kecil, dan bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. "Dengan adanya Pasal 222 yang menambahkan frasa 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional menjadikan hak konstitusional murni yang diberikan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menjadi hilang dan tentunya sangat merugikan pemohon," ujarnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto.