Pupuk, Benih, dan ICMI

Jum'at, 04 Februari 2022 - 09:14 WIB
loading...
Pupuk, Benih, dan ICMI
Aceng Hidayat (Foto: Ist)
A A A
Aceng Hidayat
Sekretaris Institut/Kepala Kantor Manajemen Risiko; Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM-IPB

SABTU, 29 Januari 2022, bertempat di IPB International Convention Center (IICC), Bogor, Majlis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (MPP-ICMI) resmi dikukuhkan. Perhelatan tersebut diselenggarakan secara daring dan luring (hybrid). Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir dan memberikan sambutan secara daring langsung dari Istana Bogor. Pada perhelatan tersebut juga disisipkan penandatangan MoU antara ICMI, Kementerian Pertanian (Kementan) dan mitra-mitra ICMI lainnya.

Dalam sambutannya, Presiden Jokowi menyampaikan banyak pesan. Di antaranya, urgensi transformasi dalam menghadapi dunia yang cepat berubah; ibu kota negara baru (IKN) dan inovasi bidang pertanian. Presiden menekankan pada pertanian mungkin karena ketua umum ICMI, Prof. Arif Satria, juga rektor IPB. Terkait pertanian, ia menyinggung soal pupuk dan benih. Selain hilirisasi.

Pesan presiden tersebut diperkuat pula oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, dalam sambutannya usai penandantanganan MoU antara Kementan dan ICMI. Mentan menyampaikan keinginannya mencapai swa sembada beras seperti pada masa Orde Baru pada 1984. Namun terhadang kendala besar. Baik Presiden maupun Mentan, berharap ICMI dapat membantu menyelesaikannya. Lalu, apa sejatinya persoalan itu dan bagaimana pula ICMI mengatasinya?

Persoalan Kronis
Berkaitan dengan pupuk dan benih telah banyak dibahas. Para pakar IPB University telah menyampaikan sketsa persoalan pupuk secara gamblang kepada kementan. Pun demikian para pengamat ekonomi pertanian telah pula menuliskannya dalam ragam opini di media cetak. Selain juga wawancara langsung di televisi. Dalam artikel ini, saya mencoba mengulas kembali secara singkat.

Pertama, kita sudah sama-sama mafhum peran pupuk dalam meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian sangat penting. Mengingat urgensi pupuk tersebut, demi membantu para petani, pemerintah memilih strategi pemberian subsidi. Subsidi diberikan kepada industri pupuk dalam bentuk subsidi harga, terutama harga gas yang merupakan komponen biaya terbesar dalam pembuatan pupuk urea dan ZA.

Dengan subsidi tersebut, industri pupuk dapat menekan biaya produksi. Sehingga harga pupuk dapat terjankau petani. Khususnya petani padi, jagung, kedelai (pajale), dan sayur-sayuran. Maka, keluarlah pupuk bersubsidi khusus untuk para petani tadi. Permasalahannya, pupuk tersebut sering hilang di pasaran, terutama pada saat musim tanam. Petani kerap mengalami kesulitan mendapatkannya. Konon, kelangkaan tersebut akibat adanya kebocoran distribusi. Pupuk jatuh kepada pihak yang tidak berhak.

Kedua, setelah sekian tahun kebijakan subsidi pupuk tersebut dijalankan tak terlihat dampaknya pada peningkatan produksi pangan pokok nasional. Pun tidak nampak dampaknya pada peningkatan kesejahteraan para petani. Kondisi kesejahteraan para petani tidak beranjak membaik.

Ketiga, ketergantungan petani pada pupuk unorganik (pupuk industri) sangat tinggi. Penggunaan pupuk berulang dalam jangka panjang mengakibatkan kerusakan tanah. Tanah miskin unsur hara dan kemampuan recovery kesuburan tanah secara alami hilang akibat penggunaan pupuk, obat-obatan kimia secara massif. Baik sebagai pembasmi hama maupun pengendalian gulma. Kejadian ini telah berlangsung sekitar 40 tahunan sejak revolusi hijau. Sejak itu pula, para petani tak dapat beroperasi tanpa pupuk dan obat-obatan. Ketergantungan pada pupuk membuat para petani menanggung beban biaya produksi tinggi.

Selain soal pupuk, sebagaimana saya sampaikan pada awal tulisan ini, kita juga dihadapkan pada persolan benih. Pertama, benih pajale dan sayur-sayuran. Kemampuan industri dan lembaga riset benih di negara kita dalam menghasilkan benih unggul masih rendah. BUMN Pertanian yang dimandatkan menghasilkan benih padi unggul pun masih jauh dari harapan. Sedikit sekali benih padi unggul dengan produktivitas tinggi, tahan hama dan penyakit serta cita rasa sesuai selera konsumen yang kita miliki. Untuk benih jagung dan kedelai lebih parah lagi. Kita masih tergantung pada benih impor.

Kedua, persoalan kronis juga kita temukan benih tanaman buah. Kita memiliki ragam buah-buahan tropis seperti pisang, mangga, manggis, dukuh, rambutan, alpukat, durian dan lain-lain. Namun, mohon maaf jika saya salah, belum ada lembaga riset dan industri yang sukses menghasilkan benih unggul ragam buah tadi. Bibit yang saat ini dijual di berbagai gerai bukan hasil pemulian dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika atau teknologi canggih lainnya, melainkan hasil sambung stek pucuk dan semai biji oleh para petani penangkar.

Bibit semacam itu pula yang dijajakan di gerai-gerai bibit kampus pertanian. Sangat ironis dan memalukan. Kampus yang mestinya menjadi pusat unggulan (center of excellence) bibit hanya menjadi penjaja bibit hasil tangkaran para petani. Sejatinya kampus pertanian mampu menghasilkan benih unggul dan contoh kebunnya.

Ketiga, keprihatinan serupa juga terjadi pada benih tanaman perkebunan unggulan Indonesia seperti kopi, kakao dan sawit. Memang sudah ada Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, di Jember Jawa Timur. Pun sudah ada pusat penelitian sawit. Mereka sudah berhasil menghasilkan bibit hasil pemuliaan. Tapi masih harus ditingkatkan. Dan, kontribusi kampus pertanian sangat dinantikan.

Mestinya, kampus pertanian memiliki agenda riset inovatif jangka panjang mengenai hal ini. Sekaligus juga mengupayakan sumberdayanya.

Peran ICMI
ICMI diharapkan dapat membantu menemukan solusi persoalan di atas. Namun, perlu kita sadari bersama, ICMI bukan lembaga riset. Pun bukan universitas. ICMI hanyalah kumpulan cerdik pandai muslim yang sejatinya merasa terpanggil bersumbangsih gagasan dan pemikiran untuk mengatasi persoalan bangsa. Termasuk dalam megatasi persoalan pupuk dan benih sebagaimana sekilas diurai di atas. Maka, solusi yang dapat ICMI tawarkan adalah menyampaikan gagasan brilian, komprehensif, mendalam, dan akurat berdasarkan analisis teoiritis dan empiris. Sebab, hanya sebatas itu yang dapat ICMI lakukan.

Lalu, bagaimana ICMI melakukannya? Pertama, ICMI segera melakukan konsolidasi para pakar yang terkait dengan pupuk dan benih tadi. Tidak terbatas pada pakarnya dewan pakar ICMI, melainkan para pakar lintas agama, lembaga, bila perlu lintas negara. ICMI menjadi aktor utamanya.

Kedua, para pakar tersebut segera berkumpul menyusun agenda kajian dan menjalankan agenda tersebut dengan target menghasilkan rekomendasi jitu tanpa ragu kepada pemerintah disertai sedikit tekanan agar pemerintah menjalankannya. Untuk melakukan tekanan, ICMI mesti bebas dari kepentingan politik. Posisioning ICMI harus jelas demi kepentingan bangsa dan negara. Demi kesejahteraan rakyat.

Kendatipun pada akhirnya ada petinggi ICMI yang ditarik ke pusat kekuasaan, itu hanyalah bentuk apresiasi atas prestasi kerja ICMI. Anggaplah sebagai bonus.

Ketiga, ICMI mesti segera menggagas konsorsium riset antaruniversitas dan universitas dengan Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN). Tujuannya demi membangun sinergi dan koordinasi antarpara pakar untuk melakukan agenda riset inovatif bersama. Baik terkait dengan kedua persoalan pertanian kritikal tadi maupun persoalan pertanian lainnya yang juga sama-sama penting untuk diatasi.

Gagasan ini pun mesti didasarkan pada kajian komprehensif agar rekomendasinya argumentatif baik secara teoritis maupun empiris sehingga sulit untuk ditolak. Saya yakin di bawah kepemimpinan Prof Arif Satria, yang juga rektor IPB, ICMI akan mampu mewujudkannya.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3383 seconds (0.1#10.140)