Normal Baru, Rasionalitas Baru
loading...
A
A
A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org
SEHARI menjelang pemberlakuan transisi dari masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta, oleh satu sebab saya bersalat Zuhur di masjid sebuah institusi.
Mesjid ini besar, nyaman dan terawat baik. Seperti di kebanyakan fasilitas umum yang menyambut masa transisisi, masjid ini juga memasang berbagai tanda. Tujuannya, tetap mewaspadai penularan Covid-19 walaupun disebut new normal oleh pemerintah.
Di antara tanda yang dipasang, saya tertambat pada sebuah pengumuman, masjid hanya mengizinkan maksimal 70 orang, di saat yang sama. Padahal kapasitas normalnya sekitar 140-150 orang. Ini demi menjaga jarak. Isi maksimal masjid dibatasi 50% dari kapasitas. Terlintas di pikiran, kalau ada 150-an orang datang bersamaan setelah adzan dikumandangkan, 70 orang bisa menggunakan masjid bersamaan, mengikuti protokol kesehatan. Lalu sisanya ke mana?
Pertanyaan saya itu, baru terjawab keesokannya, Senin 8 Juni 2020. Kasusnya serupa, tapi bukan di masjid. Dari berita media online maupun posting media sosial terilustrasi, pagi hari pertama perkantoran di Jakarta berkegiatan lagi, terjadi antrean ribuan calon penumpang KRL.
Antrean mencapai ratusan meter di Stasiun Bogor maupun Citayam. Bisa diduga, para pengantre adalah para pekerja yang kantornya di Jakarta. Antre terjadi akibat keharusan jaga jarak di dalam gerbong, maka penumpang yang boleh masuk gerbong dibatasi jumlahnya. Yang tak masuk harus antre.
Sayangnya, jarak pengantre tak setertib protokol. Penggunaan masker pun tak ada jaminan dipatuhi. Petugas tak cukup jumlahnya, mengawasi ribuan pengantre di luar stasiun. Lalu, apa guna protokol ? Di gerbong nampak tertib, tapi dalam proses mengantrenya tidak bisa.
Dari kasus di atas, kampanye new normal tampaknya bukan soal seremoni pemasangan tanda-tanda jaga jarak, gencarnya himbauan kesadaran pakai masker, maupun pengawasan penegakan protokol kesehatan saja. New normal harus membangun rasionalitas para pihak, yakni pemerintah, institusi penyelenggara kesehatan, media, pelaku ekonomi hingga semua warga negara, dari hulu ke hilir.
Hulu adalah rasionaitas hidup normal dengan virus, yang sedikit pun belum berkurang daya tularnya. Pengaturan jumlah jamaah di rumah ibadah, kuota penumpang transportasi umum, jumlah pembelanja di mal adalah hilir. Pengaturan hilir tak terlalu berguna, manakala hulunya tak direncanakan seksama.
Rasionalitas perlu memperhitungkan aktivitas yang menimbulkan penumpukan manusia, sebagai sumber penularan Covid-19. Para penegak protokol akan terjebak dan mengalami kelelahan luar biasa, saat harus mengawasi kapasitas hilir.
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org
SEHARI menjelang pemberlakuan transisi dari masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta, oleh satu sebab saya bersalat Zuhur di masjid sebuah institusi.
Mesjid ini besar, nyaman dan terawat baik. Seperti di kebanyakan fasilitas umum yang menyambut masa transisisi, masjid ini juga memasang berbagai tanda. Tujuannya, tetap mewaspadai penularan Covid-19 walaupun disebut new normal oleh pemerintah.
Di antara tanda yang dipasang, saya tertambat pada sebuah pengumuman, masjid hanya mengizinkan maksimal 70 orang, di saat yang sama. Padahal kapasitas normalnya sekitar 140-150 orang. Ini demi menjaga jarak. Isi maksimal masjid dibatasi 50% dari kapasitas. Terlintas di pikiran, kalau ada 150-an orang datang bersamaan setelah adzan dikumandangkan, 70 orang bisa menggunakan masjid bersamaan, mengikuti protokol kesehatan. Lalu sisanya ke mana?
Pertanyaan saya itu, baru terjawab keesokannya, Senin 8 Juni 2020. Kasusnya serupa, tapi bukan di masjid. Dari berita media online maupun posting media sosial terilustrasi, pagi hari pertama perkantoran di Jakarta berkegiatan lagi, terjadi antrean ribuan calon penumpang KRL.
Antrean mencapai ratusan meter di Stasiun Bogor maupun Citayam. Bisa diduga, para pengantre adalah para pekerja yang kantornya di Jakarta. Antre terjadi akibat keharusan jaga jarak di dalam gerbong, maka penumpang yang boleh masuk gerbong dibatasi jumlahnya. Yang tak masuk harus antre.
Sayangnya, jarak pengantre tak setertib protokol. Penggunaan masker pun tak ada jaminan dipatuhi. Petugas tak cukup jumlahnya, mengawasi ribuan pengantre di luar stasiun. Lalu, apa guna protokol ? Di gerbong nampak tertib, tapi dalam proses mengantrenya tidak bisa.
Dari kasus di atas, kampanye new normal tampaknya bukan soal seremoni pemasangan tanda-tanda jaga jarak, gencarnya himbauan kesadaran pakai masker, maupun pengawasan penegakan protokol kesehatan saja. New normal harus membangun rasionalitas para pihak, yakni pemerintah, institusi penyelenggara kesehatan, media, pelaku ekonomi hingga semua warga negara, dari hulu ke hilir.
Hulu adalah rasionaitas hidup normal dengan virus, yang sedikit pun belum berkurang daya tularnya. Pengaturan jumlah jamaah di rumah ibadah, kuota penumpang transportasi umum, jumlah pembelanja di mal adalah hilir. Pengaturan hilir tak terlalu berguna, manakala hulunya tak direncanakan seksama.
Rasionalitas perlu memperhitungkan aktivitas yang menimbulkan penumpukan manusia, sebagai sumber penularan Covid-19. Para penegak protokol akan terjebak dan mengalami kelelahan luar biasa, saat harus mengawasi kapasitas hilir.