Normal Baru, Rasionalitas Baru

Jum'at, 12 Juni 2020 - 09:59 WIB
loading...
A A A
Sementara aktivitas, sumber penumpukan manusia, tak dihitung. Ketika perkantoran mengaktifkan kembali kegiatannya, sementara di masa pra Covid-19 pun, jumlah fasilitas umum tak memadai. Apalagi ketika kapasistas dibatasi 50% nya demi jarak. Peristiwa antrean Senin pagi tak perlu terjadi, manakala ada simulasi yang seksama.

Saat tulisan ini disusun, bertepatan dengan Hari Media Sosial Nasional. Sebuah hari yang digagas oleh Handy Irawan D, pemilik sebuah firma di bidang pemasaran. Tujuan adanya hari nasional ini, kurang lebih media sosial telah jadi bagian yang lekat dalam peradaban. Keberadaanya perlu dimanfaatkan dengan optimal.

Data We Are Social, 2020, menunjukkan sekurangnya 160 juta rakyat Indonesia telah memanfaatkan medium ini. Sementara di saat yang tak terlampau lama, muncul tuntutan berbagai pihak, agar Presiden Jokowi menertibkan para buzzer. Keberadaan profesi ini mengancam kehidupan berdemokrasi.

Dalam praktik lazim komunikasi, ada model yang disebut sebagai The Two Step Flow of Communication. Teori yang digagas Paul Lazarsfeld di tahun 1944 dan mengalami penyempurnaan oleh Elihu Katz, di tahun 1955, mengandaikan pengirim pesan, termasuk pemerintah merasa berjarak dengan pihak yang jadi sasaran komunikasi.

Jarak itu muncul akibat perbedaan pengetahuan, pengalaman, tata cara dialog maupun istilah yang biasa digunakan. Perlu penengah untuk menjembatani jarak ini. Di era komunikasi digital, lahir penengah yang lazim disebut buzzer, influencer maupun endorser. Cara kerja ketiganya beda, namun berfungsi mendamaikan jarak.

Dalam konteks membangun rasionalitas sebagai jantung kampanye new normal, tentu tak dilarang menggunakan penengah ini. Berbagai penelitian pada komunikasi yang tak diperantarai medium digital, menunjukkan tercapainya tujuan komunikasi manakala ada penengah.

Pada komunikasi bermedium digital pun diharapkan hasil yang sama. Terlebih adanya buzzer, influencer dan endorser berlatar belakang sesuai dengan sasaran komunikasi.

Semua unsur negara, pemerintah, legislatif, yudikatif, maupun TNI-Polri, akademisi, media maupun komunitas yang paham mencegah Covid-19 mutlak terlibat membangun rasionalitas baru ini.

Para pihak ini punya pendukung, fans base yang unik, dengan cara komunikasi masing-masing. Kemenkominfo harus punya daftar, juga aktif membentuk komunitas yang bisa melakukan kampanye kepada berbagai macam sasaran komunikasi.

Pada social comparison theory yang digagas Leon Festinger, 1954 disebut tentang kecenderungan individu yang selalu mengevaluasi pendapat dan kemampuan mereka sendiri, dengan orang lain. Ini tujuannya untuk mengurangi ketidakpastian. Maka, dengan adanya berbagai pihak yang berbeda latar belakang namun menyuarakan pesan yang senada, terkait pencegahan Covid-19, tentu akan menghilangkan keraguan pihak pihak yang menjadi sasaran komunikasi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0585 seconds (0.1#10.140)