Kebugaran Orang Indonesia Rendah
loading...
A
A
A
“Itu berbanding lurus dengan tingkat kebugaran. Seseorang yang kebugarannya rendah maka akan sangat rentan berisiko terhadap penyakit,” ujar Ali Maksum yang juga salah satu penyusun Laporan Sport Development Index 2021.
Tingginya penderita penyakit nonmenular di Indonesia juga tergambar pada pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pada 2019, BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran hingga Rp32 triliun di mana porsi penggunaan anggaran terbesar dipakai untuk membiayai penyakit nonmenular.
Ali Maksum juga membenarkan ada kaitan cukup erat antara aktivitas fisik, tingkat kebugaran, dan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk biaya kesehatan. BPJS Kesehatan yang mengalami defisit hingga triliunan rupiah setiap tahun disebabkan karena membiayai penyakit tidak menular.
“Sebagian besar penyakit itu disebabkan kurang gerak. Suplai energi dari makanan tinggi, namun pembakaran energi tidak terjadi dengan bagus sehingga ada penumpukan lemak di dalam tubuh,” ujarnya.
Namun, aktivitas fisik yang rendah tidak melulu berdampak pada risiko penyakit fisik semata. Lebih dari itu, daya ingat atau memori seseorang juga bisa ikut terdampak. Ali menyebutkan jika rutin beraktivitas fisik, seseorang tidak akan gampang pikun atau menderita demensia. “Ketika sering berolahraga, oksigen mengalir secara optimal ke dalam otak. Dengan begitu, regenerasi sel di dalam otak dapat terjadi dengan bagus,” ujarnya.
“Kalau orang tidak bugar, produktivitasnya juga rendah. Misalnya, kalau bekerja gampang capek, mengeluh, sering tidak masuk kerja, maka itu adalah ciri orang dengan kondisi tidak bugar dan berdampak terhadap produktivitas,” katanya melanjutkan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan partisipai aktif berolahraga? Apakah semua aktivitas fisik masuk kategori berolahraga? Menurut Ali Maksum, dalam Laporan SDI 2021 ini, ada kriteria tertentu yang ditetapkan. Seseorang disebut berpartisipasi aktif ketika ia melakukan aktivitas fisik atau berolahraga minimal tiga kali dalam seminggu. Menurutnya, itu sesuai dengan standar dari WHO, yakni sekurang-kurangnya melakukan tiga kali aktivitas fisik dalam sepekan. Sekali latihan minimal sekitar 30 menit.
“Kalau hanya sekali seminggu, tidak berdampak signifikan terhadap kesehatan. Apalagi kadang olahraga, kadang tidak. Kategori olahraga itu dalam artian seseorang bisa melakukan apa saja. Misalnya, jogging, jalan, sepakbola, bulutangkis, dan lainnya,” paparnya.
Sementara itu, tujuan Kemepora menyusun Laporan Nasional Sport Development Index (SDI) 2021 karena data mengenai olahraga masyarakat sejauh ini belum tersedia.
Tingginya penderita penyakit nonmenular di Indonesia juga tergambar pada pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pada 2019, BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran hingga Rp32 triliun di mana porsi penggunaan anggaran terbesar dipakai untuk membiayai penyakit nonmenular.
Ali Maksum juga membenarkan ada kaitan cukup erat antara aktivitas fisik, tingkat kebugaran, dan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk biaya kesehatan. BPJS Kesehatan yang mengalami defisit hingga triliunan rupiah setiap tahun disebabkan karena membiayai penyakit tidak menular.
“Sebagian besar penyakit itu disebabkan kurang gerak. Suplai energi dari makanan tinggi, namun pembakaran energi tidak terjadi dengan bagus sehingga ada penumpukan lemak di dalam tubuh,” ujarnya.
Namun, aktivitas fisik yang rendah tidak melulu berdampak pada risiko penyakit fisik semata. Lebih dari itu, daya ingat atau memori seseorang juga bisa ikut terdampak. Ali menyebutkan jika rutin beraktivitas fisik, seseorang tidak akan gampang pikun atau menderita demensia. “Ketika sering berolahraga, oksigen mengalir secara optimal ke dalam otak. Dengan begitu, regenerasi sel di dalam otak dapat terjadi dengan bagus,” ujarnya.
“Kalau orang tidak bugar, produktivitasnya juga rendah. Misalnya, kalau bekerja gampang capek, mengeluh, sering tidak masuk kerja, maka itu adalah ciri orang dengan kondisi tidak bugar dan berdampak terhadap produktivitas,” katanya melanjutkan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan partisipai aktif berolahraga? Apakah semua aktivitas fisik masuk kategori berolahraga? Menurut Ali Maksum, dalam Laporan SDI 2021 ini, ada kriteria tertentu yang ditetapkan. Seseorang disebut berpartisipasi aktif ketika ia melakukan aktivitas fisik atau berolahraga minimal tiga kali dalam seminggu. Menurutnya, itu sesuai dengan standar dari WHO, yakni sekurang-kurangnya melakukan tiga kali aktivitas fisik dalam sepekan. Sekali latihan minimal sekitar 30 menit.
“Kalau hanya sekali seminggu, tidak berdampak signifikan terhadap kesehatan. Apalagi kadang olahraga, kadang tidak. Kategori olahraga itu dalam artian seseorang bisa melakukan apa saja. Misalnya, jogging, jalan, sepakbola, bulutangkis, dan lainnya,” paparnya.
Sementara itu, tujuan Kemepora menyusun Laporan Nasional Sport Development Index (SDI) 2021 karena data mengenai olahraga masyarakat sejauh ini belum tersedia.