Aturan Pelabelan BPA Pada Galon Polikarbonat Berisiko Diuji Materi ke MA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perubahan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) Nomor 31 tentang Label Pangan Olahan berisiko diajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Sebab, perubahan itu belum sepenuhnya disepakati oleh kementerian/lembaga.
Untuk diketahui, BPOM telah mengubah Peraturan tentang Label Pangan Olah yang mewajibkan pelabelan BPA pada galon polikarbonat. Revisi Peraturan BPOM itu telah masuk harmonisasi pada awal Januari 2022 dan sudah dikirim ke Kantor Sekretariat Kabinet (Seskab). Padahal Kementerian Perindustrian menolak aturan pelabelan BPA tersebut.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi mengatakan, semestinya sebelum ada kesepakatan antarkementerian dan lembaga terkati, maka seharusnya harmonisasi revisi Peraturan BPOM ditunda terlebih dahulu. Selayaknya proses pembentukan suatu peraturan dilakukan secara transparan dan partisipatif. Apalagi jika peraturan itu akan mengikat pihak luar institusi pembentuknya.
Baca juga: Lindungi Konsumen, Label BPA Perlu Dukungan Banyak Pihak
Fajri mengingatkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumhan) terdapat beberapa risiko jika revisi Peraturan BPOM tersebut diloloskan. "Apabila tetap dilanjutkan prosesnya sampai kemudian disahkan, pengujian peraturan menteri/kepala lembaga itu bisa dibawa ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan UU," katanya dalam keterangan tertulis dikutip, Minggu (30/1/2022).
Menurutnya, sangat disayangkan apabila yang mengajukan judicial review Peraturan BPOM berasal dari bagian pemerintah. "Jadi, menurut saya, sebaiknya permasalahan itu diselesaikan dalam proses pembentukannya di internal pemerintah sebelum disahkan," katanya.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo sebelumnya mengatakan, Kemenperin tidak setuju dengan peraturan BPOM mengenai sertifikasi atau labelisasi BPA pada kemasan galon polikarbonat. Menurutnya, sertifikasi BPA itu hanya akan menambah biaya dan mengurangi daya saing Indonesia.
"Jadi, menurut kami sertifikasi BPA saat ini belum diperlukan. Sertifikasi BPA itu hanya akan menambah cost atau mengurangi daya saing Indonesia," katanya.
Baca juga: Ramai Isu Dampak Galon Guna Ulang Bagi Kesehatan, Kak Seto: Waspadai Hoax Bahaya BPA
Menurut Edy, substansi isu mengenai BPA hingga saat ini masih menjadi diperdebatkan. Karena itu, yang diperlukan adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara menggunakan kemasan mengandung BPA dengan benar. Bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri.
"Yang saya herankan, kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak," katanya.
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan BPA. Misalnya, BPOM harus melihat negara mana yang sudah mengatur BPA, adakah kasus menonjol di Indonesia atau di dunia terkait kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
Untuk diketahui, BPOM telah mengubah Peraturan tentang Label Pangan Olah yang mewajibkan pelabelan BPA pada galon polikarbonat. Revisi Peraturan BPOM itu telah masuk harmonisasi pada awal Januari 2022 dan sudah dikirim ke Kantor Sekretariat Kabinet (Seskab). Padahal Kementerian Perindustrian menolak aturan pelabelan BPA tersebut.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi mengatakan, semestinya sebelum ada kesepakatan antarkementerian dan lembaga terkati, maka seharusnya harmonisasi revisi Peraturan BPOM ditunda terlebih dahulu. Selayaknya proses pembentukan suatu peraturan dilakukan secara transparan dan partisipatif. Apalagi jika peraturan itu akan mengikat pihak luar institusi pembentuknya.
Baca juga: Lindungi Konsumen, Label BPA Perlu Dukungan Banyak Pihak
Fajri mengingatkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumhan) terdapat beberapa risiko jika revisi Peraturan BPOM tersebut diloloskan. "Apabila tetap dilanjutkan prosesnya sampai kemudian disahkan, pengujian peraturan menteri/kepala lembaga itu bisa dibawa ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan UU," katanya dalam keterangan tertulis dikutip, Minggu (30/1/2022).
Menurutnya, sangat disayangkan apabila yang mengajukan judicial review Peraturan BPOM berasal dari bagian pemerintah. "Jadi, menurut saya, sebaiknya permasalahan itu diselesaikan dalam proses pembentukannya di internal pemerintah sebelum disahkan," katanya.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo sebelumnya mengatakan, Kemenperin tidak setuju dengan peraturan BPOM mengenai sertifikasi atau labelisasi BPA pada kemasan galon polikarbonat. Menurutnya, sertifikasi BPA itu hanya akan menambah biaya dan mengurangi daya saing Indonesia.
"Jadi, menurut kami sertifikasi BPA saat ini belum diperlukan. Sertifikasi BPA itu hanya akan menambah cost atau mengurangi daya saing Indonesia," katanya.
Baca juga: Ramai Isu Dampak Galon Guna Ulang Bagi Kesehatan, Kak Seto: Waspadai Hoax Bahaya BPA
Menurut Edy, substansi isu mengenai BPA hingga saat ini masih menjadi diperdebatkan. Karena itu, yang diperlukan adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara menggunakan kemasan mengandung BPA dengan benar. Bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri.
"Yang saya herankan, kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak," katanya.
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan BPA. Misalnya, BPOM harus melihat negara mana yang sudah mengatur BPA, adakah kasus menonjol di Indonesia atau di dunia terkait kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.