Aturan Shift Jam Kerja, Efektifkah?

Jum'at, 12 Juni 2020 - 06:16 WIB
loading...
Aturan Shift Jam Kerja, Efektifkah?
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Pemerintah mematangkan rencana pengaturan jam kerja bagi pegawai negeri, BUMN, dan swasta demi mencegah penumpukan di transportasi massal dan kerumunan di tempat rawan paparan Covid-19. Model dua jam kerja (shift) disiapkan, yakni pukul 07.30-15.00 dan 10.00-17.30.

Dengan masuk dan pulang kantor di jam yang tidak sama seluruh pekerja, kerumunan massa diharapkan dapat diminimalisasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Kementerian BUMN, dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah satu suara terkait dua jam kerja dalam satu hari ini. Namun, sebelum kebijakan ini diberlakukan, pemerintah akan menguatkan dengan simulasi dan survei lapangan terlebih dahulu.

Apakah pola baru pengaturan jam kerja model shift ini akan bisa efektif? Pakar kebijakan publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Asep Sumaryana mengatakan, jika pemerintah hendak menerapkan pola jam kerja dua shift, khususnya untuk PNS, harus melihat jenis pekerjaannya. Apakah pekerjaan PNS tersebut berhubungan dengan kebutuhan dasar masyarakat atau tidak. “Kalau pekerjaannya berhubungan dengan kebutuhan dasar, berarti ada kebutuhan dan keharusan bersentuhan dengan masyarakat yang dilayani. Harus ke kantor,” ucapnya. (Baca: Polda Metro Jaya Tambah Personel di Titik Rawan Macet)

Menurut Asep, jika tujuan kebijakan itu untuk menghindari kerumunan, maka pelaksanaannya bisa efektif karena membagi jam kerja akan mengurangi jumlah orang yang ada di satu kantor atau ruangan. Namun, jika dilihat dari tujuan efisiensi, hal itu tergantung jenis pekerjaannya.

Dalam kondisi saat ini, kata Asep, pemerintah harus berhitung, apakah mempertimbangkan aspek medis dengan aspek ekonomis atau efisiensi. “Karena kalau misalnya secara ekonomi efisien, belum tentu secara medis aman,” terang dosen di Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (FISIP) Unpad ini.

Asep mengungkapkan, agar kebijakan ini efektif dan efisien, juga aman bagi pegawai, pemerintah perlu menyediakan angkutan antar-jemput pegawai seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan swasta atau pabrik. “Tentu angkutan pegawai ini juga harus menerapkan protokol kesehatan ketat. Seperti, sebelum naik ke dalam angkutan antar-jemput, pegawai harus dicek suhu tubuh, cuci tangan, mengenakan masker, dan jaga jarak fisik,” tegas Asep.

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno berpendapat, saat ini sumber permasalahan seperti ada penumpukan penumpang bukan pada sistem transportasinya, melainkan pada bagaimana pengaturan kegiatan manusianya. Untuk itu, dia mengapresiasi kebijakan dalam mengelola mobilitas masyarakat misalnya dengan pengaturan pola kerja dari rumah (WFH) maupun di kantor. “Pola ini (WFH dan kerja di kantor) dapat dipadukan,” katanya.

Djoko menyarankan, agar transportasi umum tidak menumpuk, perusahaan seperti BUMN atau instansi pemerintah bisa memanfaatkan bus antar-jemput untuk pegawainya. “Ini bisa kerja sama dengan perusahaan transportasi agar mereka juga tetap hidup bisnisnya,” ujarnya.

Beberapa Skenario

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo kemarin mengungkapkan bahwa usulan shift kerja ini merupakan hasil rapat antara Kemenpan-RB bersama Kementerian BUMN, Kemnaker, Kemenko PMK, dan BNPB kemarin. Shift kerja ini didasari oleh kepadatan dan penumpukan di transportasi massal seperti kereta rel listrik (KRL) di masa pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBBB) atau transisi di DKI Jakarta. (Baca juga: Doni Monardo Apresiasi Cara Kapolda Aceh Edukasi Masyarakat Soal Covid-19)

Ada beberapa alternatif kebijakan yang dirumuskan dalam pertemuan tersebut. Di antaranya pemberlakuan shift untuk aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, dan pegawai swasta. Alternatif kebijakan lainnya adalah pemberlakuan shift hanya untuk swasta saja karena pegawai ASN yang naik KRL dinilai sangat sedikit. Lalu, ada alternatif pemberlakuan shift pada Senin hingga Jumat atau Senin dan Jumat saja. “Kemudian alternatif lainnya kombinasi dari beberapa alternatif tersebut. Misalnya shift untuk seluruh jenis pegawai, namun hanya untuk hari Senin,” ungkap Tjahjo.

Tjahjo mengaku pada prinsipnya pihaknya setuju ada sistem kerja shift. Di mana akan ada dua jam kerja dalam satu hari, yakni pukul 07.30-15.00 dan 10.00-17.30. Menurutnya, jika nanti sistem kerja shift ini disetujui, akan diatur secara terpisah. Dalam hal ini untuk pegawai ASN diatur dengan SE Menpan-RB, pegawai BUMN dengan SE Menteri BUMN, dan pegawai swasta dengan SE Menteri Ketenagakerjaan.

Menurutnya, PT KAI akan melakukan survei yang lebih cermat tentang proporsi jumlah penumpang berdasarkan pekerjaan. Tjahjo mengusulkan kebijakan ini nanti diberlakukan untuk daerah yang memberlakukan PSBB dan/atau status merah menurut Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

9 Provinsi Nihil Kasus Baru

Juru bicara pemerintah penanganan virus corona (Covid-19) Achmad Yurianto melaporkan penambahan kasus positif Covid-19 hingga kemarin, total kasus positif sebanyak 35.295 orang dengan penambahan sebanyak 979 kasus positif. (Baca juga: 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat Belum Ajukan AKB)

Dari akumulasi penambahan tersebut, sebanyak 18 provinsi dilaporkan nihil atau nol kasus Covid-19. “Kita mendapatkan 18 provinsi yang melaporkan kasusnya di bawah 10. Bahkan ada sembilan provinsi dengan kasus 0 artinya tidak ada laporan kasus baru,” kata Yuri di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, kemarin.

Yuri juga melaporkan ada beberapa provinsi yang tingkat kesembuhannya meningkat. Akumulasi kasus positif yang sembuh saat ini sebanyak 12.636 orang. Di antaranya Sumatera Selatan, meskipun kemarin melaporkan ada 42 kasus baru, dilaporkan juga 55 orang sembuh. Kemudian Nusa Tenggara Barat yang kemarin melaporkan 11 kasus atau lebih rendah dibanding sehari sebelumnya dan melaporkan kasus yang sembuh ada 44 orang. Kalimantan Barat kemarin tidak ada kasus baru dan dilaporkan ada tujuh kasus sembuh. (Lihat Videonya: Petugas Tes Corona Diusir Ratusan Pedagang Pasar Cileung Bogor)

Sementara itu, penambahan kasus positif kali ini paling tinggi masih terjadi di Jawa Timur. “Jawa Timur hari ini melaporkan ada 297 kasus positif baru meskipun juga dilaporkan ada 112 kasus yang sembuh,” sebut Yuri.

Kemudian Sulawesi Selatan kemarin terdapat kasus konfirmasi positif sebanyak 141 orang dan tidak ada laporan yang sembuh. “Kemudian DKI Jakarta 128 kasus baru dan 144 kasus sembuh. Kalimantan Selatan 69 kasus baru dan 36 kasus sembuh. Sumatera Utara 45 kasus baru dan 12 kasus sembuh,” tambah Yuri. (Dita Angga/Agus Warsudi/Ichsan Amin/Binti Mufarida)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1019 seconds (0.1#10.140)