Keputusan Koboi Inggris

Jum'at, 28 Januari 2022 - 15:21 WIB
loading...
Keputusan Koboi Inggris
Iqbal Mochtar (Foto: Ist)
A A A
Iqbal Mochtar
Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah

ADA berita menarik. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson baru-baru ini mengumumkan keputusan mengejutkan di tengah badai Omicron. Per 27 Januari, masyarakat Inggris tidak perlu lagi menggunakan masker, tidak melakukan work from home dan tidak memerlukan sertifikat vaksin untuk menghadiri acara. Keputusan ini memantik beragam tanggapan. Sebagian masyarakat Inggris senang karena tidak perlu lagi terbatasi beragam restriksi. Sebagian lainnya gusar, menganggap keputusan ini berbahaya dan mencederai penatalaksanaan pandemi yang telah dilakukan. Kelompok anti-vaksin juga girang; ini kesempatan untuk menggiring opini bahwa masker tidak perlu dan Covid-19 memang tidak berbahaya. Beberapa negara lain buru-buru ingin mencontoh keputusan yang sama. Di Indonesia, banyak meminta pemerintah segera meniru Inggris. Setop masker, setop pembatasan, setop vaksin.

Kelompok guru dan petugas kesehatan di Inggris termasuk elemen yang memprotes keputusan ini. Menurut mereka, keputusan ini terlalu mendadak; diambil saat Omicron lagi merebak luas. Juga tidak dilakukan bertahap. Kesannya, sangat terburu-buru. Ibarat keputusan koboi; berani, cepat, tanpa pikir panjang. Menurut mereka, harusnya ada relaksasi bertahap sesuai kondisi pandemi. Sebagian menduga keputusan koboi ini dilandasi kepentingan politik, yaitu untuk mempertahankan posisi PM Inggris.

Keputusan pandemi yang rasional mesti didasarkan pada bukti sains yang solid dan adekuat, terutama morbiditas dan mortalitas. Terkait morbiditas, jumlah kasus Covid-19 di Inggris masih terus tinggi. Saat ini, rate-nya 1.349 per 1 juta populasi, lebih 70% dari puncak tahun lalu. Beberapa minggu sebelumnya malah 2.681 per 1 juta populasi. Positive rate-nya malah kembali meningkat di atas 5% dalam minggu terakhir. Artinya, dari segi morbiditas, Covid-19 masih terus bersirkulasi dan meluas di negara tersebut. Menariknya, mortalitasnya membaik. Angka kematian sudah sangat menurun; saat ini 3,9 per 1 juta penduduk. Puncak sebelumnya 18 per 1 juta penduduk. Case fatality rate-nya juga sudah sangat merendah dan kini hanya 0,21%. Saat yang sama, cakupan vaksinasi mereka cemerlang. Sudah lebih 70% penduduk menerima dosis lengkap. Herd-immunity telah tercapai. Sistem pelayanan kesehatan mereka juga amat tanggap dan excellent; bisa dengan cepat dan efektif menangani kasus yang timbul. Sebagai tambahan, lebih 99% varian yang ada di sana adalah Omicron, sebuah varian yang dianggap memiliki tingkat kefatalan yang rendah.

Melihat data singkat di atas, tampak bahwa keputusan relaksasi Inggris bukan tanpa alasan. Ada landasan sainsnya. Jumlah kasus dan positive rate memang masih tinggi; namun ini di-trade-off dengan tingkat kematian dan case fatality rate yang terus merendah. Tentu banyak faktor memengaruhi kondisi ini. Salah satunya, cakupan vaksinasi yang tinggi. Dengan ini, masyarakatnya telah diproteksi dari kefatalan dan kematian Covid-19. Kalaupun ada yang sakit, sistem kesehatan mereka siap meng-handle. Saat bersamaan, Omicron mendominasi peta Covid-19 di sana. Varian ini dipercaya bertransmisi luas dan cepat namun tingkat kefatalannya rendah. Dominasi Omicron ini dianggap blessing in disguise; berkah tersembunyi. Datangnya Omicron telah menyapu varian Delta yang lebih berbahaya, yang sebelumnya mendominasi Inggris. Sederhananya, Omicron menggantikan varian Delta yang berbahaya dan menstimulus fenomena pandemi luas tetapi ringan (widespread but mild). Kira-kira menyerupai fenomena flu biasa.

Setiap keputusan tentu memiliki risiko. Banyak faktor memengaruhi. Bisa saja nanti ternyata efek Omicron justru luas dan fatal. Alasannya, data yang dikumpulkan terkait Omicron selama ini masih terbatas. Belum komprehensif, solid dan adekuat. Bisa saja nanti muncul varian baru yang lebih berat dari Omicron dan membuat vaksin amat berkurang kemanjurannya. Saat ini saja telah ada studi yang melaporkan bahwa dua dosis vaksin yang tersedia tidak cukup melawan Omicron. Makanya program booster digelar. Tujuannya untuk meng-cover Omicron yang cukup resisten terhadap vaksin. Artinya, banyak kemungkinan alternatif bisa terjadi.

Pemerintah Inggris tentu telah menghitung kemungkinan dan risiko ini. Mereka bukan negara “kaleng-kaleng”; mereka telah matur dalam menghadapi konflik termasuk wabah. Semua kemungkinan buruk tentu telah masuk hitungan mereka. Makanya mereka selalu datang dengan beragam plan; plan A, B atau C. Mereka juga sudah siap dengan beberapa exit-plan bila ternyata keputusan mereka saat tidak tepat. Artinya, keputusan mereka fleksibel, bisa berubah tergantung perkembangan epidemiologis, politik dan ekonomi. Perubahannya pun bisa saja dalam hitungan minggu atau bulan. Makanya, keputusan ini lebih tepat disebut keputusan koboi-plus. Berani, cepat, tanpa pikir panjang; namun bisa berubah sesuai kondisi.

Indonesia tidak perlu buru-buru ikut model Inggris. Apalagi sampai menyetop penggunaan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Alasannya, walaupun dilanda pandemi yang sama, kondisi epidemiologis Indonesia amat beda dengan Inggris. Di Indonesia, case fatality rate-nya masih 1,18%; lima kali lipat lebih tinggi dari Inggris. Cakupan vaksinasi dosis kedua juga masih 43% dari total populasi; jauh dari Inggris. Reproduction rate juga masih 2,12; lebih dua kali lipat dari Inggris. Dengan rate ini, seorang yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia masih dapat menularkan kepada lebih dua orang lain. Dengan kondisi demikian apakah kita ingin menghentikan penggunaan masker dan menjaga jarak? Tentu saja tidak. Kalau itu dilakukan, sama dengan kita melakukan keputusan koboi. Benar-benar koboi.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1309 seconds (0.1#10.140)