Era Baru Akreditasi
loading...
A
A
A
Ketiga, observasi mengajar menjadi pembeda model LAM dengan BAN PT. Hasil observasi mengajar dosen tertentu tidak bisa digeneralisir karena hanya uji petik. Apa pun hasilnya, baik atau buruk. Prodi akan mempersiapkan pembelajaran yang ideal saat kunjungan asesor, mulai dari dosen hingga fasilitas mengajarnya.
Mengapa tidak memanfaatkan dan menilai hasil evaluasi dosen oleh mahasiswa secara daring pada setiap akhir semester? Ini bisa menjadi alternatif, ketimbang membuat instrumen yang tidak praktis dan substantif. Jika profil dan kinerja dosen, mahasiswa, dan lulusan prodi sudah sangat baik misalnya, apakah perlu melihat proses pembelajarannya?
Data Tunggal
Keempat, instrumen penilaian yang lebih praktis. Sepertinya LAM masih menggunakan paradigma lama yang menilai input, proses, dan output Prodi sehingga melahirkan banyak indikator penilaian. Padahal ibarat masakan, LAM cukup menilai hasil masakannya tanpa perlu tahu persis dan mendetil bagaimana bahan-bahan disiapkan dan diolah, serta berapa biayanya.
Dari sekian banyak indikator penilaian akreditasi sesungguhnya yang utama adalah kompetensi dan kinerja lulusan. Bekerja di mana saja dan bagaimana kinerjanya. Apakah memuaskan pengguna lulusan. Karena tujuan kuliah sarjana adalah menghasilkan lulusan yang menguasai keterampilan khusus tertentu untuk bekerja.
Maka tracer study wajib dilakukan oleh setiap Prodi untuk mendapatkan data tersebut. Jika LAM memegang prinsip kepraktisan dan esensialisme dibanding model BAN PT, maka harus berani keluar dari paradigma lama instrumen BAN PT secara maksimal.
Kelima, penyusunan borang yang menyita waktu. Untuk mengumpulkan dokumen-dokumen dari ratusan indikator akreditasi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Mengapa? Karena kita tidak punya single data atau kita tidak mau memanfaatkan single data yang sudah ada?
Contoh kita punya Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) Kemendikbudristek untuk data dosen dan mahasiswa, Sinta dan Google Scholar untuk karya ilmiah mahasiswa dan dosen, dan Beban Kerja Dosen (BKD) untuk kinerja dosen yang mencakup tri darma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan penunjang). Kita lemah dalam sistem dokumentasi yakni menyimpan apa yang kita kerjakan dalam satu aplikasi untuk aneka keperluan atau kebutuhan.
Apa yang ditagih akreditasi sesungguhnya adalah data-data kinerja dosen dan mahasiswa yang seharusnya sudah ada di aneka aplikasi di atas. Maka bagaimana LAM atau Prodi memanfaatkan aplikasi-aplikasi tersebut untuk kepentingan akreditasi? Misal, kinerja akademik seorang dosen bisa diakses melalui Google Scholar. Sesungguhnya penyusunan borang adalah ibarat pengulangan kerja Prodi atau dosen saat mengisi PD Dikti dan BKD.
Beban Biaya
Keenam, beban biaya. Simalakama LAM adalah biaya akreditasi yang dibebankan kepada kampus, yang sebelumnya ditanggung oleh pemerintah. Contoh biaya akreditasi Prodi di bawah LAM Kependidikan sebesar Rp52.000.000,00 (lima puluh dua juta rupiah); dan biaya banding sebesar Rp29.700.00,00 (dua puluh sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah).
Ini belum termasuk biaya internal Prodi dalam menyiapkan borang, dan biaya-biaya tak terduga lainnya. Dana akreditasi bersumber dari Prodi ini akan menjadi godaan integritas, kejujuran, dan objektivitas pengurus dan asesor LAM. Di satu sisi ia mengatasi keterbatasan dana pemerintah, di sisi lain menjadi ujian integritas asesor.
Pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab sama sekali. Demi menjaga marwah LAM dan mutu pendidikan, pemerintah harus tetap mendukung pendanaan akreditasi model baru ini. Meski tidak 100 persen, pemerintah membantu akreditasi kampus-kampus yang minim dana. Termasuk membantu pendanaan LAM, agar bisa bekerja maksimal dan profesional.
Mengapa tidak memanfaatkan dan menilai hasil evaluasi dosen oleh mahasiswa secara daring pada setiap akhir semester? Ini bisa menjadi alternatif, ketimbang membuat instrumen yang tidak praktis dan substantif. Jika profil dan kinerja dosen, mahasiswa, dan lulusan prodi sudah sangat baik misalnya, apakah perlu melihat proses pembelajarannya?
Data Tunggal
Keempat, instrumen penilaian yang lebih praktis. Sepertinya LAM masih menggunakan paradigma lama yang menilai input, proses, dan output Prodi sehingga melahirkan banyak indikator penilaian. Padahal ibarat masakan, LAM cukup menilai hasil masakannya tanpa perlu tahu persis dan mendetil bagaimana bahan-bahan disiapkan dan diolah, serta berapa biayanya.
Dari sekian banyak indikator penilaian akreditasi sesungguhnya yang utama adalah kompetensi dan kinerja lulusan. Bekerja di mana saja dan bagaimana kinerjanya. Apakah memuaskan pengguna lulusan. Karena tujuan kuliah sarjana adalah menghasilkan lulusan yang menguasai keterampilan khusus tertentu untuk bekerja.
Maka tracer study wajib dilakukan oleh setiap Prodi untuk mendapatkan data tersebut. Jika LAM memegang prinsip kepraktisan dan esensialisme dibanding model BAN PT, maka harus berani keluar dari paradigma lama instrumen BAN PT secara maksimal.
Kelima, penyusunan borang yang menyita waktu. Untuk mengumpulkan dokumen-dokumen dari ratusan indikator akreditasi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Mengapa? Karena kita tidak punya single data atau kita tidak mau memanfaatkan single data yang sudah ada?
Contoh kita punya Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) Kemendikbudristek untuk data dosen dan mahasiswa, Sinta dan Google Scholar untuk karya ilmiah mahasiswa dan dosen, dan Beban Kerja Dosen (BKD) untuk kinerja dosen yang mencakup tri darma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan penunjang). Kita lemah dalam sistem dokumentasi yakni menyimpan apa yang kita kerjakan dalam satu aplikasi untuk aneka keperluan atau kebutuhan.
Apa yang ditagih akreditasi sesungguhnya adalah data-data kinerja dosen dan mahasiswa yang seharusnya sudah ada di aneka aplikasi di atas. Maka bagaimana LAM atau Prodi memanfaatkan aplikasi-aplikasi tersebut untuk kepentingan akreditasi? Misal, kinerja akademik seorang dosen bisa diakses melalui Google Scholar. Sesungguhnya penyusunan borang adalah ibarat pengulangan kerja Prodi atau dosen saat mengisi PD Dikti dan BKD.
Beban Biaya
Keenam, beban biaya. Simalakama LAM adalah biaya akreditasi yang dibebankan kepada kampus, yang sebelumnya ditanggung oleh pemerintah. Contoh biaya akreditasi Prodi di bawah LAM Kependidikan sebesar Rp52.000.000,00 (lima puluh dua juta rupiah); dan biaya banding sebesar Rp29.700.00,00 (dua puluh sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah).
Ini belum termasuk biaya internal Prodi dalam menyiapkan borang, dan biaya-biaya tak terduga lainnya. Dana akreditasi bersumber dari Prodi ini akan menjadi godaan integritas, kejujuran, dan objektivitas pengurus dan asesor LAM. Di satu sisi ia mengatasi keterbatasan dana pemerintah, di sisi lain menjadi ujian integritas asesor.
Pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab sama sekali. Demi menjaga marwah LAM dan mutu pendidikan, pemerintah harus tetap mendukung pendanaan akreditasi model baru ini. Meski tidak 100 persen, pemerintah membantu akreditasi kampus-kampus yang minim dana. Termasuk membantu pendanaan LAM, agar bisa bekerja maksimal dan profesional.