Sains yang Nirmakna
loading...
A
A
A
Slamet makhsun
Mahasiswa jurusan studi agama-agama uin sunan kalijaga
Di era modern ini, telah dicapai seabrek kemajuan teknologi yang diklaim sebagai penemuan dan revolusi sains terbaik sepanjang sejarahnya. Bagaimana tidak, jika dulu manusia hidup dalam kesederhanaan dalam artian teknologi tidak terlalu mendominasi mereka, sekarang, dengan banyaknya penemuan itu kian mempermudah kehidupan.
Namun, bagi beberapa kalangan, justru kemudahan tersebut dianggap telah menjatuhkan manusia pada egoisme akut, yang mengeksploitasi alam dalam jumlah yang tak lagi wajar. Kerusakan alam, bencana yang secara beruntun terus terjadi, terancamnya ekosistem kehidupan yang, kesemuanya itu akan memusnahkan manusia secara bertahap, merupakan efek langsung dari ulah manusia atas eksploitasi yang berlebihan.
Adalah Seyyed Hossein Nasr—pemikir Islam kontemporer—turut menyoroti permasalahan tersebut. Menurutnya, bahwa kecenderungan manusia di abad ini untuk terus mengeksploitasi alam, bukan lain karena hilangnya ruh daripada sains sendiri. Di abad pertengahan dan era sebelum-sebelumnya, sains memiliki keterikatan dengan simbolisme agama.
Seperti dari beberapa kepercayaan kuno, misalnya meyakini bahwa alam semesta adalah ejawantah dari wujud Realitas Mutlak (Tuhan). Maka para pengikut kepercayaan tersebut akan berhati-hati, agar ulahnya tidak merusak alam. Karena dengan merusak, sama halnya tidak taat dan ingkar terhadap perintah Tuhan. Misal pun mereka menciptakan teknologi, akan dipertimbangkan sedemikian cermatnya supaya tidak menyebabkan kerusakan alam. Bagi mereka, alam adalah sakral, sama halnya dengan kesakralan Tuhan.
Pandangan seperti itu, jelas nampak pada tradisi-tradisi masyarakat timur. Misalnya agama Budha yang menekankan keseimbangan hidup dengan alam agar dapat mencapai moksha, atau Islam yang menyatakan bahwa manusia adalah khalifah fil ‘ard yang bertugas untuk mengatur, menyeimbangkan, menyejahterakan, serta menjaga bumi dan seisinya agar tetap dalam ekosistem yang baik. Pun demikian dengan taoisme di China yang mengajarkan bila manusia ingin hidup tenteram dan damai, maka harus bersahabat dengan alam.
Nasr menjelaskan bahwa akar dari permasalahan ini karena terjadinya revolusi sains di Eropa. Hal itu bermula di era renaisans, para filsuf dan pemikir di Eropa kala itu, membuang pemikiran teistik menuju logika yang empiris, yakni segala sesuatu harus berjalan sesuai bukti fisik, yang indera manusia sendiri secara nyata harus merasakannya.
Alhasil, corak pemikiran dan kepercayaan yang bertolak dari empirisme dibuang. Maka wajar, jika di Eropa, terjadi gelombang ateisme besar-besaran. Mereka beranggapan bahwa agama hanya kesia-siaan belaka karena Tuhan tidak pernah muncul di hadapan mata mereka. Padahal, agama sendiri berisi seperangkat nilai yang mengatur jalannya keseimbangan antara sesama manusia, alam, maupun dengan Realitas Mutlak.
Pada tahap selanjutnya, revolusi itu mengerucut pada penemuan rumus dan bermacam teori yang sangat empiris, yang tidak memiliki tanggung jawab dan signifikansi terhadap norma-norma kehidupan. Asalkan secara nalar dianggap benar, maka sah-sah saja untuk diterima. Sehingga, sains tidak lagi memiliki tugas untuk mencari hakikat nyata sebuah benda—yang pada hilirnya mengantarkan kepada Realitas Mutlak—melainkan berfungsi untuk membangun hubungan antar tanda matematis dan fisik.
Konsepan ini yang akhirnya menentukan arah manusia modern dalam menentukan makna total hakikat benda, maupun pandangannya terhadap alam semesta. Sains modern menyatakan bahwa alam hanyalah kumpulan dari materi-materi yang dapat diukur dan dipelajari. Bukan sebagai satu kesatuan yang epistemik, alam semesta menjadi sesuatu yang beda, pisah-terdikotomi dari bagian manusia itu sendiri—the others. Karena alam menyediakan materi-materi yang manusia butuhkan untuk menyambung kehidupan, maka alam dilihat sebagai sesuatu yang harus digunakan dan dinikmati semaksimal mungkin.
Mahasiswa jurusan studi agama-agama uin sunan kalijaga
Di era modern ini, telah dicapai seabrek kemajuan teknologi yang diklaim sebagai penemuan dan revolusi sains terbaik sepanjang sejarahnya. Bagaimana tidak, jika dulu manusia hidup dalam kesederhanaan dalam artian teknologi tidak terlalu mendominasi mereka, sekarang, dengan banyaknya penemuan itu kian mempermudah kehidupan.
Namun, bagi beberapa kalangan, justru kemudahan tersebut dianggap telah menjatuhkan manusia pada egoisme akut, yang mengeksploitasi alam dalam jumlah yang tak lagi wajar. Kerusakan alam, bencana yang secara beruntun terus terjadi, terancamnya ekosistem kehidupan yang, kesemuanya itu akan memusnahkan manusia secara bertahap, merupakan efek langsung dari ulah manusia atas eksploitasi yang berlebihan.
Adalah Seyyed Hossein Nasr—pemikir Islam kontemporer—turut menyoroti permasalahan tersebut. Menurutnya, bahwa kecenderungan manusia di abad ini untuk terus mengeksploitasi alam, bukan lain karena hilangnya ruh daripada sains sendiri. Di abad pertengahan dan era sebelum-sebelumnya, sains memiliki keterikatan dengan simbolisme agama.
Seperti dari beberapa kepercayaan kuno, misalnya meyakini bahwa alam semesta adalah ejawantah dari wujud Realitas Mutlak (Tuhan). Maka para pengikut kepercayaan tersebut akan berhati-hati, agar ulahnya tidak merusak alam. Karena dengan merusak, sama halnya tidak taat dan ingkar terhadap perintah Tuhan. Misal pun mereka menciptakan teknologi, akan dipertimbangkan sedemikian cermatnya supaya tidak menyebabkan kerusakan alam. Bagi mereka, alam adalah sakral, sama halnya dengan kesakralan Tuhan.
Pandangan seperti itu, jelas nampak pada tradisi-tradisi masyarakat timur. Misalnya agama Budha yang menekankan keseimbangan hidup dengan alam agar dapat mencapai moksha, atau Islam yang menyatakan bahwa manusia adalah khalifah fil ‘ard yang bertugas untuk mengatur, menyeimbangkan, menyejahterakan, serta menjaga bumi dan seisinya agar tetap dalam ekosistem yang baik. Pun demikian dengan taoisme di China yang mengajarkan bila manusia ingin hidup tenteram dan damai, maka harus bersahabat dengan alam.
Nasr menjelaskan bahwa akar dari permasalahan ini karena terjadinya revolusi sains di Eropa. Hal itu bermula di era renaisans, para filsuf dan pemikir di Eropa kala itu, membuang pemikiran teistik menuju logika yang empiris, yakni segala sesuatu harus berjalan sesuai bukti fisik, yang indera manusia sendiri secara nyata harus merasakannya.
Alhasil, corak pemikiran dan kepercayaan yang bertolak dari empirisme dibuang. Maka wajar, jika di Eropa, terjadi gelombang ateisme besar-besaran. Mereka beranggapan bahwa agama hanya kesia-siaan belaka karena Tuhan tidak pernah muncul di hadapan mata mereka. Padahal, agama sendiri berisi seperangkat nilai yang mengatur jalannya keseimbangan antara sesama manusia, alam, maupun dengan Realitas Mutlak.
Pada tahap selanjutnya, revolusi itu mengerucut pada penemuan rumus dan bermacam teori yang sangat empiris, yang tidak memiliki tanggung jawab dan signifikansi terhadap norma-norma kehidupan. Asalkan secara nalar dianggap benar, maka sah-sah saja untuk diterima. Sehingga, sains tidak lagi memiliki tugas untuk mencari hakikat nyata sebuah benda—yang pada hilirnya mengantarkan kepada Realitas Mutlak—melainkan berfungsi untuk membangun hubungan antar tanda matematis dan fisik.
Konsepan ini yang akhirnya menentukan arah manusia modern dalam menentukan makna total hakikat benda, maupun pandangannya terhadap alam semesta. Sains modern menyatakan bahwa alam hanyalah kumpulan dari materi-materi yang dapat diukur dan dipelajari. Bukan sebagai satu kesatuan yang epistemik, alam semesta menjadi sesuatu yang beda, pisah-terdikotomi dari bagian manusia itu sendiri—the others. Karena alam menyediakan materi-materi yang manusia butuhkan untuk menyambung kehidupan, maka alam dilihat sebagai sesuatu yang harus digunakan dan dinikmati semaksimal mungkin.