Negara dan tempe

Sabtu, 28 Juli 2012 - 11:08 WIB
Negara dan tempe
Negara dan tempe
A A A
Kelangkaan tahu dan tempe di pasaran menjadi hal yang teramat ironis. Bagaimana mungkin di negara agraris seperti Indonesia tercinta ini tempe menjadi barang langka. Padahal tempe adalah makanan favorit masyarakat Indonesia yang kaya protein, harganya murah, dan bergizi tinggi.
Tapi kenapa tempe yang setiap hari jadi menu utama masyarakat itu bisa hilang dari peredaran? Kenapa sampai para perajin tempe begitu marah dan serentak melakukan gerakan menghentikan produksi? Kenapa harga kedelai bisa melambung tinggi seperti tidak ada yang mampu mengendalikannya.Lantas di mana peran negara? Bukankah negara wajib melindungi kepentingan warganya? Bukankah tugas negara menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyatnya?

Dalam kasus kelangkaan tempe bisa dirunut banyak alasan. Harga kedelai melambung tinggi karena 60% kebutuhan kedelai nasional harus dipasok dari luar negeri. Lahan pertanian yang makin menyempit atau harga kedelai yang tidak kompetitif juga bisa menyebabkan para petani kita enggan menanam kedelai. Gagal panen karena perubahan iklim dan kekeringan di negara eksportir kedelai juga memberi kontribusi signifikan mahalnya harga komoditas ini di Tanah Air.

Tapi apakah masalah-masalah itu tidak bisa dipecahkan oleh pemegang otoritas? Bukankah pemerintah memiliki semua sumber daya untuk mengantisipasi, melakukan mitigasi agar bencana tempe ini tidak terjadi seperti sekarang? Negara memiliki perangkat yang lengkap: Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bulog, ribuan ahli pertanian yang sebenarnya bisa mencegah atau mengantisipasi kejadian ini. Tapi lagi-lagi, pemerintah tidak akan bergerak jika masyarakat belum teriak.

Seharusnya tanpa diteriaki, didesak, ataupun dicaci maki,aparat negara wajib menanggulangi masalah ini. Tidak hanya soal bencana tempe. Negara juga sering abai dengan kewajiban-kewajiban reguler yang selalu berulang.

Contoh soal manajemen menghadapi Lebaran dan mudik yang sebenarnya sudah menjadi ritual tahunan yang sangat bisa diukur dan diprediksi. BPS sudah bisa membeberkan angka berapa jumlah pemudik pada Lebaran tahun ini dengan detail sesuai moda transportasi yang dipilih.

Tapi tetap saja, calon pemudik kesulitan mendapatkan tiket kendaraan umum yang sesuai pilihannya. Harga tiket juga jauh melambung tanpa batas sehingga tidak bisa dijangkau masyarakat. Jumlah pemudik dengan motor dan kendaraan pribadi tidak bisa dicegah sebagai konsekuensi mahalnya tiket bus,kereta api, pesawat terbang, maupun kapal laut. Semua urusan dilepaskan begitu saja pada mekanisme pasar.

Dalam urusan-urusan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti mudik dan tempe,negara pasrah.Kalau pun ada upaya,semua masih sektoral dan parsial. Di mana negara saat rakyat menjerit membutuhkan kehadiran mereka? Kita juga miris melihat persiapan infrastruktur menjelang arus mudik dan balik Lebaran yang semakin dekat.Perbaikan jalan di jalur pantai utara Jawa dan jalur selatan sudah pasti belum selesai pada saat mudik nanti.

Bisa dibayangkan kemacetan luar biasa akan terjadi tanpa bisa dicegah.Kenapa perbaikan jalan selalu mepet dengan saat mudik tiba? Kenapa tidak dilakukan jauh hari? Kenapa saat puasa dan Lebaran harga sembako selalu naik drastis? Apakah semua tidak bisa diantisipasi oleh negara yang memiliki segalanya untuk melakukan tindakan? Kelangkaan tempe adalah pelajaran berharga bagi kita.

Jika tahun depan hal ini terulang kembali dan cara-cara mengatasinya tetap sama, pemerintah tidak boleh tersinggung jika disebut negara ini dijalankan dengan fungsi autopilot.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7664 seconds (0.1#10.140)