Dorong Parliamentary Threshold 7%, Golkar Usulkan 9 Hal di RUU Pemilu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Golkar mengusulkan sembilan hal dalam Rancangan Undang-Undang tentang revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ( RUU Pemilu ). Bukan hanya menaikkan parliamentary threshold dari 4% menjadi 7%, Golkar juga mengusulkan adanya penambahan daerah pemilihan (dapil), sistem pemilu legislatif (pileg) campuran dan metode konversi suara yang berbeda.
“Ada sembilan isu sebetulnya yang kita anggap penting sementara ini untuk membuat atau menyempurnakan UU Pemilu ini. Nah, sebenarnya kita tidak hanya berkutat pada isu teknis kepemiluan yang selama ini menjadi perdebatan. Nah sembilan itu, lima jadi isu kontemporer,” ujar Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tanjung kepada SINDO Media, Kamis (11/6/2020). ( ).
Doli menguraikan, pertama, soal sistem pemilu, dalam isu ini Golkar ini sedang mengkaji opsi ketiga. Yang menjadi perdebatan selama ini adalah sistem proporsional terbuka seperti sekarang atau kembali tertutup. Golkar sedang mengkaji serius sistem ketiga yakni sistem campuran yakni, gabungan antara proporsional dengan majotarian.
“Sistem ini yang misalnya di satu dapil, misalnya ada 10 kursi, tergantung nanti kesepakatannya berapa persen kita mau proporsional berapa persen dan yang majotarian. Misalnya 10 kursi dipilih secara proporsional, 3-nya dipilih secara distrik langsung,” terangnya.
Kedua, Doli melanjutkan, soal parliamentary threshold Golkar mendorong adanya kenaikan hingga 7%. Alasannya, Golkar ingin mendorong sistem pemerintahan yang selama ini menganut sistem presidensial semakin efektif dan selaras karena menganut sistem multipartai sederhana. Secara kultural, Indonesia sudah mengikuti proses seleksi ini karena sudah 22 tahun reformasi dan 5 kali pemilu, ambang batasnya pun naik secara perlahan mulai dari 2,5%.
“Nah, kemarin kenapa sempat berpikir 7%, karena kita menginginkan UU ini adalah UU yang fix dalam waktu yang cukup panjang, tidak berubah dalam waktu 5 tahun sekali berubah, bahwa 15 tahun atau 20 tahun sekali kita akan uji. Maka kita harus cari angka yang fix dan terus ini. Dan itu sedang juga kami kaji dengan cara itu,” jelas Doli.
Yang ketiga, sambung Ketua Komisi II DPR ini, untuk presidential threshold Golkar tetap seperti sekarang yakni, 20% kursi dan 25% suara. Dan keempat soal district magnitude atau besaran kursi per dapil. Golkar mendorong adanya penambahan dapil sehingga distrik magnitudenya lebih kecil, yang sekarang 3-10 secara nasional dan 3-12 daerah, Golkar mendorong menjadi 3-8 dan 3-10. Hal ini dimaksudkan agar wakil rakyat dengan konstituennya menjadi lebih dekat. (Baca juga: Parliamentary Threshold Naik, Diprediksi Tak Lebih 3 Parpol Duduk di Parlemen)
Kelima, lanjut Doli, soal sistem penghitungan suara atau konversi suara ke kursi. Golkar sepakat bahwa sistem konversi ini menggunakan metodologi Devisor. Tapi, pihaknya sedang mengkaji Devisor dengan metode De Honne. Dalam De Honne itu, angka pembaginya yakni 1,2,3,4,5,6,7, dan seterusnya.
Sementara itu, kata dia, ada empat isu klasik lagi yang Golkar anggap penting. Pertama, Golkar sedang mencari rumusan pasal-pasal yang memungkinkan atau paling tidak meminimalisir moral hazard pemilu. Seperti, money politic, political transactional dan isu lainnya. Kedua, soal efektivitas dan koordinasi institusi penyelenggara pemilu yang selama ini sering seperti ada overlapping, bahkan sering berhadap-hadapan antara tiga institusi penyelenggara ini.
“Misalnya terakhir, DKPP memberhentikan Komisioner KPU RI yang sekarang sedang dibawa ke ranah hukum nah, juga soal integritas dan kapasitas dari komisioner 3 lembaga ini. Ini kan harus, dengan kemarin yang ada terjerat masalah hukum, ini harus jadi koreksi kita juga,” urai Doli.
Kemudian, Doli menjelaskan soal digitalsiasi pemilu. Golkar menginginkan semakin ke depan pemilu ini semakin ramah dengan pemilihnya, jadi bukan semakin rumit. Caranya yakni dengan memasukkan perkembangan teknologi informasi, misalnya perlu dipertimbangakan elektrinisasi di sejumlah tahapan pemilu. Saat ini, KPU sudah berusaha merumuskan konsep e-rekap. Nantinya, apakah dimungkinkan menggunakan e-voting.
Terakhir, dia menuturkan, soal keserentakan pemilu. Dalam revisi UU Pemilu sekarang ini ada upaya untuk mendorong pemilu menjadi satu rezim saja atau menggabungkan pilpres, pileg dan pilkada dalam satu waktu. Golkar berpandangan bahwa ini harus dibagi, dan pihaknya mengusulkan konsep pemilu nasional dan pemilu daerah yang serentak.
Pelaksanaan pemilu daerah ini dilaksanakan antara 2 pemilu nasional. Misalnya, 2024 pemilu nasional, pemilu daerahnya 2027, baru nasionalnya 2029 lagi dan seterusnya. (Baca juga: Kenaikan Parliamentary Threshold Tak Pengaruhi Perbaikan Kinerja DPR)
“Pembagiannya kami sedang mengkaji dua opsi. opsi yang pertama seperti yang sekarang. Pemilu nasional terdiri tetap dari lima kotak, pilpres, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kemudian pemilu daerahnya pemilihan gubernur dan kabupaten/kota. Opsi yang kedua, pemilu nasionalnya pilpres, DPR RI dan DPD RI, pemilu daeranya pemilihan gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi dan kabupaten/kota,” pungkasnya.
“Ada sembilan isu sebetulnya yang kita anggap penting sementara ini untuk membuat atau menyempurnakan UU Pemilu ini. Nah, sebenarnya kita tidak hanya berkutat pada isu teknis kepemiluan yang selama ini menjadi perdebatan. Nah sembilan itu, lima jadi isu kontemporer,” ujar Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tanjung kepada SINDO Media, Kamis (11/6/2020). ( ).
Doli menguraikan, pertama, soal sistem pemilu, dalam isu ini Golkar ini sedang mengkaji opsi ketiga. Yang menjadi perdebatan selama ini adalah sistem proporsional terbuka seperti sekarang atau kembali tertutup. Golkar sedang mengkaji serius sistem ketiga yakni sistem campuran yakni, gabungan antara proporsional dengan majotarian.
“Sistem ini yang misalnya di satu dapil, misalnya ada 10 kursi, tergantung nanti kesepakatannya berapa persen kita mau proporsional berapa persen dan yang majotarian. Misalnya 10 kursi dipilih secara proporsional, 3-nya dipilih secara distrik langsung,” terangnya.
Kedua, Doli melanjutkan, soal parliamentary threshold Golkar mendorong adanya kenaikan hingga 7%. Alasannya, Golkar ingin mendorong sistem pemerintahan yang selama ini menganut sistem presidensial semakin efektif dan selaras karena menganut sistem multipartai sederhana. Secara kultural, Indonesia sudah mengikuti proses seleksi ini karena sudah 22 tahun reformasi dan 5 kali pemilu, ambang batasnya pun naik secara perlahan mulai dari 2,5%.
“Nah, kemarin kenapa sempat berpikir 7%, karena kita menginginkan UU ini adalah UU yang fix dalam waktu yang cukup panjang, tidak berubah dalam waktu 5 tahun sekali berubah, bahwa 15 tahun atau 20 tahun sekali kita akan uji. Maka kita harus cari angka yang fix dan terus ini. Dan itu sedang juga kami kaji dengan cara itu,” jelas Doli.
Yang ketiga, sambung Ketua Komisi II DPR ini, untuk presidential threshold Golkar tetap seperti sekarang yakni, 20% kursi dan 25% suara. Dan keempat soal district magnitude atau besaran kursi per dapil. Golkar mendorong adanya penambahan dapil sehingga distrik magnitudenya lebih kecil, yang sekarang 3-10 secara nasional dan 3-12 daerah, Golkar mendorong menjadi 3-8 dan 3-10. Hal ini dimaksudkan agar wakil rakyat dengan konstituennya menjadi lebih dekat. (Baca juga: Parliamentary Threshold Naik, Diprediksi Tak Lebih 3 Parpol Duduk di Parlemen)
Kelima, lanjut Doli, soal sistem penghitungan suara atau konversi suara ke kursi. Golkar sepakat bahwa sistem konversi ini menggunakan metodologi Devisor. Tapi, pihaknya sedang mengkaji Devisor dengan metode De Honne. Dalam De Honne itu, angka pembaginya yakni 1,2,3,4,5,6,7, dan seterusnya.
Sementara itu, kata dia, ada empat isu klasik lagi yang Golkar anggap penting. Pertama, Golkar sedang mencari rumusan pasal-pasal yang memungkinkan atau paling tidak meminimalisir moral hazard pemilu. Seperti, money politic, political transactional dan isu lainnya. Kedua, soal efektivitas dan koordinasi institusi penyelenggara pemilu yang selama ini sering seperti ada overlapping, bahkan sering berhadap-hadapan antara tiga institusi penyelenggara ini.
“Misalnya terakhir, DKPP memberhentikan Komisioner KPU RI yang sekarang sedang dibawa ke ranah hukum nah, juga soal integritas dan kapasitas dari komisioner 3 lembaga ini. Ini kan harus, dengan kemarin yang ada terjerat masalah hukum, ini harus jadi koreksi kita juga,” urai Doli.
Kemudian, Doli menjelaskan soal digitalsiasi pemilu. Golkar menginginkan semakin ke depan pemilu ini semakin ramah dengan pemilihnya, jadi bukan semakin rumit. Caranya yakni dengan memasukkan perkembangan teknologi informasi, misalnya perlu dipertimbangakan elektrinisasi di sejumlah tahapan pemilu. Saat ini, KPU sudah berusaha merumuskan konsep e-rekap. Nantinya, apakah dimungkinkan menggunakan e-voting.
Terakhir, dia menuturkan, soal keserentakan pemilu. Dalam revisi UU Pemilu sekarang ini ada upaya untuk mendorong pemilu menjadi satu rezim saja atau menggabungkan pilpres, pileg dan pilkada dalam satu waktu. Golkar berpandangan bahwa ini harus dibagi, dan pihaknya mengusulkan konsep pemilu nasional dan pemilu daerah yang serentak.
Pelaksanaan pemilu daerah ini dilaksanakan antara 2 pemilu nasional. Misalnya, 2024 pemilu nasional, pemilu daerahnya 2027, baru nasionalnya 2029 lagi dan seterusnya. (Baca juga: Kenaikan Parliamentary Threshold Tak Pengaruhi Perbaikan Kinerja DPR)
“Pembagiannya kami sedang mengkaji dua opsi. opsi yang pertama seperti yang sekarang. Pemilu nasional terdiri tetap dari lima kotak, pilpres, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kemudian pemilu daerahnya pemilihan gubernur dan kabupaten/kota. Opsi yang kedua, pemilu nasionalnya pilpres, DPR RI dan DPD RI, pemilu daeranya pemilihan gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi dan kabupaten/kota,” pungkasnya.
(kri)