Kenaikan Parliamentary Threshold Tak Pengaruhi Perbaikan Kinerja DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyatakan usulan kenaikan ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold (PT) yang muncul dalam proses revisi Undang-undang Pemilu saat ini tak mempunyai kaitan langsung dengan perbaikan kinerja DPR.
Dia menganggap percuma wacana kenaikan PT hingga 7% seperti yang diusulkan beberapa partai politik. "Berapa pun PT yang akan diberlakukan, berapa pun jumlah parpol yang akan masuk ke Parlemen tak berhubungan langsung dengan perbaikan kinerja DPR," jelas Lucius saat dihubungi SINDOnews, Rabu (10/6/2020). (Baca juga: Parliamentary Threshold Naik, Diprediksi Tak Lebih 3 Parpol Duduk di Parlemen)
"PT hanya urusan nafsu parpol saja untuk membatasi keleluasaan semua parpol masuk Parlemen," sambung dia.
Menurut Lucius, selagi tak ada perubahan terkait dengan tata kelola partai politik dan juga tata kelola Parlemen yang akuntabel maka kinerja DPR akan sama saja dengan berapa pun parpol dan anggota yang menjadi bagian di dalamnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan, yang membuat kinerja Parlemen amburadul adalah parpol yang selalu saja gagap melakukan kaderisasi, sehingga anggota terpilih lebih melihat perannya dalam relasinya dengan parpol ketimbang dengan konstituen.
"Watak oligarki parpol yang juga terus menerus dipelihara secara sistemik tak akan merubah wajah Parlemen yang lebih bekerja untuk partai ketimbang untuk konstituen," tandasnya.
Maka itu, sambung Lucius, persoalan sesungguhnya ada di partai politik dan juga tata kelola Parlemen yang tak akuntabel. Anggota DPR akan sulit diharapkan memberikan warna positif pada kinerja Parlemen karena mereka akan lebih banyak berurusan dengan kepentingan partai ketimbang menjalankan peran dan fungsi Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
"Dengan demikian urusan kenaikan Threshold sama sekali tak bisa dikaitkan dengan urusan peningkatan atau perbaikan kinerja," katanya.
Dia menambahkan mestinya revisi UU Pemilu mulai terlebih dahulu membereskan tata kelola parpol yang akuntabel dan demokratis, menghapus wajah oligarki di parpol, membereskan problem finansial parpol, barulah kemudian bicara Threshold yang akan menjadi perkara teknis untuk memperkuat sistem presidensial.
Baginya, urusan menaikkan ambang batas Parlemen saat ini hanya soal bagaimana membatasi jumlah pesaing yang akan masuk ke Parlemen. Bagaimana membatasi parpol kecil dan baru agar tidak begitu saja sama dengan parpol lama. (Baca juga: Perludem Anggap Presidential Threshold Tak Relevan dengan Pemilu Serentak)
"Ambang batas Parlemen yang dinaikkan lebih terlihat sebagai ekspresi ketakutan oligarki untuk memperbanyak jumlah elite penentu dalam lingkaran kekuasaan. Itu saja," pungkas dia.
Lihat Juga: Bung Tomo dan Gebrakan Politik Usia 17 Tahun di Parindra Antarkan Tokoh Muda ke Parlemen Belanda
Dia menganggap percuma wacana kenaikan PT hingga 7% seperti yang diusulkan beberapa partai politik. "Berapa pun PT yang akan diberlakukan, berapa pun jumlah parpol yang akan masuk ke Parlemen tak berhubungan langsung dengan perbaikan kinerja DPR," jelas Lucius saat dihubungi SINDOnews, Rabu (10/6/2020). (Baca juga: Parliamentary Threshold Naik, Diprediksi Tak Lebih 3 Parpol Duduk di Parlemen)
"PT hanya urusan nafsu parpol saja untuk membatasi keleluasaan semua parpol masuk Parlemen," sambung dia.
Menurut Lucius, selagi tak ada perubahan terkait dengan tata kelola partai politik dan juga tata kelola Parlemen yang akuntabel maka kinerja DPR akan sama saja dengan berapa pun parpol dan anggota yang menjadi bagian di dalamnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan, yang membuat kinerja Parlemen amburadul adalah parpol yang selalu saja gagap melakukan kaderisasi, sehingga anggota terpilih lebih melihat perannya dalam relasinya dengan parpol ketimbang dengan konstituen.
"Watak oligarki parpol yang juga terus menerus dipelihara secara sistemik tak akan merubah wajah Parlemen yang lebih bekerja untuk partai ketimbang untuk konstituen," tandasnya.
Maka itu, sambung Lucius, persoalan sesungguhnya ada di partai politik dan juga tata kelola Parlemen yang tak akuntabel. Anggota DPR akan sulit diharapkan memberikan warna positif pada kinerja Parlemen karena mereka akan lebih banyak berurusan dengan kepentingan partai ketimbang menjalankan peran dan fungsi Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
"Dengan demikian urusan kenaikan Threshold sama sekali tak bisa dikaitkan dengan urusan peningkatan atau perbaikan kinerja," katanya.
Dia menambahkan mestinya revisi UU Pemilu mulai terlebih dahulu membereskan tata kelola parpol yang akuntabel dan demokratis, menghapus wajah oligarki di parpol, membereskan problem finansial parpol, barulah kemudian bicara Threshold yang akan menjadi perkara teknis untuk memperkuat sistem presidensial.
Baginya, urusan menaikkan ambang batas Parlemen saat ini hanya soal bagaimana membatasi jumlah pesaing yang akan masuk ke Parlemen. Bagaimana membatasi parpol kecil dan baru agar tidak begitu saja sama dengan parpol lama. (Baca juga: Perludem Anggap Presidential Threshold Tak Relevan dengan Pemilu Serentak)
"Ambang batas Parlemen yang dinaikkan lebih terlihat sebagai ekspresi ketakutan oligarki untuk memperbanyak jumlah elite penentu dalam lingkaran kekuasaan. Itu saja," pungkas dia.
Lihat Juga: Bung Tomo dan Gebrakan Politik Usia 17 Tahun di Parindra Antarkan Tokoh Muda ke Parlemen Belanda
(kri)