Jadi Pondasi Ekonomi Keluarga, Pemerintah Diminta Perhatikan Perempuan Pesisir
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pendiri Perempuan Progresif Indonesia Timur Nathalia Mahudin mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk memperhatikan perempuan pesisir . Hal itu penting mengingat perempuan pesisir khususnya Provinsi Maluku juga merupakan pondasi ekonomi keluarga.
Nathalia menyebut sejumlah catatan dan opsi solusi yang bisa ditempuh pemerintah dan lintas kementerian untuk mengatasi persoalan ini. Pertama, terkait kelaparan dan kemiskinan di Maluku. Menurut Nathalia, hal ini sulit dihadapi jika nelayan hanya bergantung pada tangkapan ikan. Maka solusinya, perempuan pesisir sebagai tonggak ekonomi dalam keluarga harus mampu mengembangkan strategi lain demi stabilitas finansial keluarga.
"Misalnya bercocok tanam sayur. Perempuan pesisir juga bisa melakukan pengelolaan hasil penangkapan ikan yang diawetkan dan bisa dijual dalam bentuk produk kemasan dengan nilai jual yang dinaikkan," kata dia.
Untuk itu, kata Nathalia, perlu ada bantuan untuk para perempuan pesisir berupa program pelatihan kewirausahaan, bantuan dari pemerintah untuk penyedian alat produksi, partisipasi dari perguruan tinggi, organisasi maupun korporasi untuk pendampingan pelaksanaan program wirausaha mulai dari produksi, marketing, hingga distribusi, demi menunjang optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir dan pengelolaan ikan.
Kedua, persoalan kelangsungan kehidupan laut sebagai tempat mata pencaharian warga pesisir. Terkait hal ini, pemerintah perlu mengedukasi konsep ekonomi yang ramah lingkungan pesisir dan tidak berhenti di tataran teori. Konkretnya, perlu ada pelatihan dan pendampingan riil terhadap perempuan pesisir soal pengembangan dan pemeliharaan wilayah perairan.
”Langkah itu juga harus dilanjutkan oleh pemerintah dengan pengawasan agar pemeliharaan dapat berkesinambungan dan memberikan efek nyata terhadap keberlangsungan kehidupan laut,” ucapnya.
Senada, Pendiri Toma Maritime Center Rima Baskoro menyampaikan setidaknya dua catatan terkait hal ini. Pertama, terkait bencana alam di daerah pesisir. Menurutnya, diperlukan peran pemerintah yang tidak hanya berupa bantuan pada saat bencana alam telah terjadi, namun juga dalam bentuk pendampingan dan pelatihan rutin dan berkesinambungan dalam hal menghadapi bencana alam di daerah pesisir.
"Contoh riil adalah memberikan pelatihan penyelamatan diri dalam hal terjadi bencana alam, tata cara penyimpanan bahan makanan pokok untuk berjaga-jaga jika terjadi bencana alam agar kebutuhan pokok tetap terpenuhi setelah bencana, dan informasi tentang nomor penting yang dapat dihubungi untuk pencarian keluarga yang hilang atau permintaan bantuan jika terjadi bencana alam," kata Rima.
Kedua, terkait pendekatan kebijakan ekonomi lokal yang seharusnya berbasis gender dan kemaritiman. Menurut Rima, semakin dekat kebijakan yang diambil dengan orientasi tersebut maka akan semakin efektif juga peningkatan pengelolaan sumber daya alam dilihat dari sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam itu sendiri.
"Dapat kita lihat bahwa pendekatan kebijakan yang diambil lebih berorientasi ke daratan dan bukan ke laut sementara Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan yang mustahil menerapkan kebijakan berbasis daratan (land biased policy)" kata Rima.
Pemerintah daerah, kata Rima, seharusnya dapat memetakan kebutuhan dan keunggulan dari potensi daerah dalam pembangunan daerah. Misalnya saja pendekatan kebijakan ketenagakerjaan atau pembangunan sumber daya manusia dari sisi kelautan. Pelatihan yang dibuat oleh pemerintah harus juga memprioritaskan struktur tenaga kerja dominan seperti nelayan dalam pelatihan-pelatihan.
"Peningkatan pelatihan tenaga kerja berbasis kemaritiman atau kebutuhan kelautan harus menjadi salah satu prioritas Provinsi Maluku. Hal ini bukan hanya menitik beratkan kepada nelayan laki-laki tetapi juga diperuntukan untuk nelayan perempuan" ucap Rima.
Nathalia menyebut sejumlah catatan dan opsi solusi yang bisa ditempuh pemerintah dan lintas kementerian untuk mengatasi persoalan ini. Pertama, terkait kelaparan dan kemiskinan di Maluku. Menurut Nathalia, hal ini sulit dihadapi jika nelayan hanya bergantung pada tangkapan ikan. Maka solusinya, perempuan pesisir sebagai tonggak ekonomi dalam keluarga harus mampu mengembangkan strategi lain demi stabilitas finansial keluarga.
"Misalnya bercocok tanam sayur. Perempuan pesisir juga bisa melakukan pengelolaan hasil penangkapan ikan yang diawetkan dan bisa dijual dalam bentuk produk kemasan dengan nilai jual yang dinaikkan," kata dia.
Untuk itu, kata Nathalia, perlu ada bantuan untuk para perempuan pesisir berupa program pelatihan kewirausahaan, bantuan dari pemerintah untuk penyedian alat produksi, partisipasi dari perguruan tinggi, organisasi maupun korporasi untuk pendampingan pelaksanaan program wirausaha mulai dari produksi, marketing, hingga distribusi, demi menunjang optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir dan pengelolaan ikan.
Kedua, persoalan kelangsungan kehidupan laut sebagai tempat mata pencaharian warga pesisir. Terkait hal ini, pemerintah perlu mengedukasi konsep ekonomi yang ramah lingkungan pesisir dan tidak berhenti di tataran teori. Konkretnya, perlu ada pelatihan dan pendampingan riil terhadap perempuan pesisir soal pengembangan dan pemeliharaan wilayah perairan.
”Langkah itu juga harus dilanjutkan oleh pemerintah dengan pengawasan agar pemeliharaan dapat berkesinambungan dan memberikan efek nyata terhadap keberlangsungan kehidupan laut,” ucapnya.
Senada, Pendiri Toma Maritime Center Rima Baskoro menyampaikan setidaknya dua catatan terkait hal ini. Pertama, terkait bencana alam di daerah pesisir. Menurutnya, diperlukan peran pemerintah yang tidak hanya berupa bantuan pada saat bencana alam telah terjadi, namun juga dalam bentuk pendampingan dan pelatihan rutin dan berkesinambungan dalam hal menghadapi bencana alam di daerah pesisir.
"Contoh riil adalah memberikan pelatihan penyelamatan diri dalam hal terjadi bencana alam, tata cara penyimpanan bahan makanan pokok untuk berjaga-jaga jika terjadi bencana alam agar kebutuhan pokok tetap terpenuhi setelah bencana, dan informasi tentang nomor penting yang dapat dihubungi untuk pencarian keluarga yang hilang atau permintaan bantuan jika terjadi bencana alam," kata Rima.
Kedua, terkait pendekatan kebijakan ekonomi lokal yang seharusnya berbasis gender dan kemaritiman. Menurut Rima, semakin dekat kebijakan yang diambil dengan orientasi tersebut maka akan semakin efektif juga peningkatan pengelolaan sumber daya alam dilihat dari sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam itu sendiri.
"Dapat kita lihat bahwa pendekatan kebijakan yang diambil lebih berorientasi ke daratan dan bukan ke laut sementara Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan yang mustahil menerapkan kebijakan berbasis daratan (land biased policy)" kata Rima.
Pemerintah daerah, kata Rima, seharusnya dapat memetakan kebutuhan dan keunggulan dari potensi daerah dalam pembangunan daerah. Misalnya saja pendekatan kebijakan ketenagakerjaan atau pembangunan sumber daya manusia dari sisi kelautan. Pelatihan yang dibuat oleh pemerintah harus juga memprioritaskan struktur tenaga kerja dominan seperti nelayan dalam pelatihan-pelatihan.
"Peningkatan pelatihan tenaga kerja berbasis kemaritiman atau kebutuhan kelautan harus menjadi salah satu prioritas Provinsi Maluku. Hal ini bukan hanya menitik beratkan kepada nelayan laki-laki tetapi juga diperuntukan untuk nelayan perempuan" ucap Rima.
(cip)