Pemimpin itu pelayan

Rabu, 18 Juli 2012 - 08:36 WIB
Pemimpin itu pelayan
Pemimpin itu pelayan
A A A
Kewajiban seorang pemimpin adalah melayani masyarakat. Kalimat itu diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada puncak peringatan hari lahir ke-78 Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Solo beberapa waktu lalu.

Terdengar klasik dan mudah diucapkan, tapi memang seperti itulah filosofi sebenarnya dari seorang pemimpin. Melayani masyarakat adalah hal yang sulit dan karena bersifat melayani, butuh kerendahan hati untuk melakukannya.

Sayang yang terjadi dan sering kita lihat berbeda. Pemimpin justru dilayani oleh masyarakat atau rakyat. Peraturan bagi pemimpin pun dibuat agar bawahan atau rakyat justru melayani pemimpin.

Alasan protokoler atau prosedur tetap (protap) seakan menghilangkan makna melayani tersebut. Dan pemimpin dibuat nyaman dengan aturan-aturan tersebut.

Dalam praktik sehari-hari, banyak pemimpin yang justru minta dilayani, bahkan disanjung-sanjung. Inilah yang dimaksud bahwa mengatakan perihal pemimpin memiliki kewajiban melayani lebih mudah dibandingkan mempraktikannya.

Selama ini pelayan memang dikonotasikan inferior, kalah dengan profesi atau pekerjaan yang lain. Pelayan adalah pihak yang diperintah untuk melakukan sesuatu, sedangkan banyak masyarakat kita yang mempunyai karakter memerintah.

Menjadi pelayan seolah menjadi sebuah kegagalan, maka dari itu banyak masyarakat yang tak menginginkan menjadi pelayan karena tak mau diperintah, tapi memilih memerintah.

Selain itu, seorang pelayan adalah lebih banyak memberi daripada menerima. Memberi berarti berkurang dan menerima adalah memiliki kelebihan. Karena lebih banyak diperintah dan lebih banyak memberi, seorang pelayan harus mempunyai rasa rendah hati dan jiwa besar.

Dua watak tersebut yang harus dimiliki seorang pemimpin yang mempunyai kewajiban melayani. Jika tidak memiliki dua watak tersebut, berarti seorang pemimpin tidak bisa melakukan kewajibannya untuk melayani.

Apalagi yang dilayani adalah masyarakat yang heterogen dan banyak, tentu membutuhkan kerendahan hati dan jiwa besar yang lebih besar lagi. Sayang, kerendahan hati dan jiwa besar dari seorang pelayan (pemimpin) hadir musiman.

Ketika seseorang tengah butuh atau sedang menapaki tangga pemimpin, mereka menampilkan sosok kerendahan hati dan berjiwa besar.

Ketika musim menjadi pemimpin datang, mereka menjadi pelayan dan mendekat ke masyarakat serta berbuat baik kepada masyarakat. Musim melayani masyarakat itu muncul setiap lima tahun sekali ketika jelang pemilu atau pilkada.

Adapun setelah pemilu atau pilkada, baik yang terpilih atau yang tidak terpilih kembali menanggalkan kerendahan hati dan jiwa besar. Jiwa pelayan ditanggalkan dan akan digunakan lagi ketika nanti dibutuhkan.

Padahal, seharusnya jiwa pelayan tersebut harus terus melekat pada para pemimpin. Seseorang yang kalah atau menang dalam pemilu dan pilkada, di mata masyarakat, tetaplah seorang pemimpin karena akan menjadi anutan.

Sudah semestinya jiwa pelayan itu tak lantas ditinggalkan. Musim melayani ini telah dilalui DKI Jakarta dan akan terjadi di beberapa daerah lainnya. Bahkan di negara ini pada 2014 nanti akan datang musim melayani.

Harapan kita, jiwa melayani tidak terjadi musiman, tapi sudah menjadi keseharian karena memang itu filosofi seorang pemimpin. Melihat karut-marut negeri ini, yang utama dari kita adalah memilih pemimpin yang mempunyai kerendahan hati dan jiwa besar.

Kecerdasan memang penting, tapi untuk saat ini kerendahan hati dan jiwa besar yang dibutuhkan. Karena negeri ini butuh pelayan yang bagus agar masyarakat merasa dimanusiakan. Pemimpin adalah pelayan yang mampu memberikan sesuatu kepada rakyatnya,bukan malah meminta kepada rakyatnya.
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0537 seconds (0.1#10.140)