KAI Gelar Refleksi Penegakan Hukum 2021 dan Harapan 2022

Selasa, 11 Januari 2022 - 15:50 WIB
loading...
KAI Gelar Refleksi Penegakan Hukum 2021 dan Harapan 2022
DPP Kongres Advokat Indonesia (KAI) menggelar refleksi penegakan hukum 2021 dan prospek 2022. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (KAI) menyoroti penegakan hukum di Indonesia selama 2021. Konsep setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum sering kali tidak terjadi dalam praktiknya.

"Dalam praktik di lapangan, perilaku diskriminatif dalam penegakan hukum sering terjadi," kata Presiden DPP KAI Erman Umar dalam keterangan tertulis tentang refleksi penegakan hukum 2021 dan prospek 2022 dikutip, Selasa (11/1/2022).

Salah satu contohnya adalah penangkapan terhadap tokoh-tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) seperti Sahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana lantaran mengkritisi pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut Erman, jika dikaji, sikap kritis tokoh terhadap UU Cipta Kerja adalah wujud pelaksanaan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 dan oleh UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Baca juga: Menyoal RPP Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Laut

Dengan demikian memproses dan mengadili para tokoh yang mengkritisi suatu kebijakan pemerintah bertentangan dengan Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 dan UU No 9 tahun 1998. "Akibatnya warga menjadi tidak berani bersuara, tidak berani mengeluarkan pendapatnya atas suatu hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan bernegara, karena takut ditangkap dan dipenjara. Hal ini akan berakibat menurunkan kadar demokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak Reformasi tahun 1998," katanya.

Contoh lain adalah penangkapan Habib Rizieq Shihab dalam kasus dugaan pelanggaran prokes Covid-19. Habib Rizieq telah diadili dalam 3 perkara terpisah; kerumunan di KS Tubun, Kerumunan di Mega Mendung, dan dugaan informasi yang tidak benar atas kesehatan Habib Rizieq Shihab di RS UMI Bogor.

Menurut Erman, dakwaan dengan pasal-pasal dengan ancaman hukuman tinggi tidak tepat dilakukan atas Pelanggaran Prokes Covid-19. Misalnya Pasal 160 KUHP dan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 tahun 1946, memberikan kesan bahwa pemerintah dan aparat hukum berlaku keras dan tidak adil. Sementara banyak tokoh dan pejabat yang terlihat melanggar prokes Covid-19 tidak diproses hukum.

Baca juga: MUI Dukung Penegakan Hukum dan Pemberantasan Terorisme

Sekjen DPP KAI Heytman Jansen menambahkan, diskriminasi hukum lainnya adalah terkait proses hukum terbunuhnya 6 Laskar FPI. Para terdakwa tidak ditahan meski perkaranya sudah disidang di pengadilan.

Pun dalam penanganan perkara Munarman yang disangkakan sebagai teroris. Heytman menduga aparat menanganinya tanpa mengindahkan KUHAP dalam penanganan perkaranya. Sebab, Munarman tidak pernah dipanggil sebagai saksi atau sebagai tersangka, tetapi langsung dijemput paksa padahal bukan dalam perkara tertangkap tangan, yang tidak memerlukan surat panggilan.

"Di masyarakat di sepanjang tahun 2021, sering kita dengar ungkapan hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, yang menggambarkan seakan-akan penegakan hukum yang tidak adil. Jika keadaan ini dibiarkan, kepercayaan rakyat terhadap hukum akan runtuh, prinsip negara Indonesia sebagai negara hukum tidak ada artinya," katanya.

Karena itu, Kongres Advokat Indonesia berharap agar penegakan hukum di Indonesia tahun ini terjadi perbaikan signifikan. Tidak ada lagi perilaku aparat penegak hukum yang arogan, diskriminatif, dan setiap warga negara diperlakukan sama di depan Hukum. Hal tersebut bisa tercapai jika instansi penegak hukum, dan semua stakeholder terkait sama-sama menjaga, mengontrol, dan mengawal eksistensi Indonesia sebagai negara hukum, dan memperjuangkan supremasi hukum.

Hal lain yang menjadi perhatian KAI tahun 2022 adalah menyangkut presidential threshold yang dinilai dengan Pasal UUD 1945, Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2).

"Kita berharap semoga hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan aturan presidential threshold bertentangan dengan UU 1945," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2117 seconds (0.1#10.140)