Perjuangan 3 Jenderal saat Pendidikan Kopassus, Kulit Kaki Lepas hingga Disiksa Layaknya Tawanan
loading...
A
A
A
Setelah lolos seleksi, Sutiyoso kemudian dikirim ke Pusdiklatpassus, Batujajar untuk mengikuti pendidikan dan latihan sebagai prajurit Komando. Di situ, Sutiyoso dilatih teknik tempur, membaca peta, patroli, survival atau bertahan hidup, mendaki gunung, pendaratan amfibi, termasuk perang kota, pertempuran jarak dekat, gerilya lawan gerilya, selam militer dan antiteror.
Setidaknya, ada tiga tahap pembinaan yang harus dilalui para prajurit Komando yakni, tahap basis atau dasar. Pada tahap ini, selama sepuluh minggu semua prajurit Komando termasuk Sutiyoso diajarkan menembak, teknik dan taktik bertempur maupun bantuan tempur, operasi raid dan perebutan cepat, navigasi darat, serangan unit komando, dasar-dasar pertempuran kota dan sebagainya.
Selanjutnya, tahap hutan gunung. Pada tahap ini prajurit Komando akan menghadapi tantangan yang semakin sulit baik alam maupun rekayasa dari para instruktur. Di sini, Sutiyoso diajarkan bagaimana melakukan perang hutan, mendaki serbu, menembak, navigasi, penjejakan dan antipenjejakan serta survival yakni bertahan hidup di kawasan hutan di Situ Lembang. Tanpa bekal, Sutiyoso menjelajah hutan dan gunung di daerah tersebut.
Salah satu rute terberat adalah longmarch menyusuri rel kereta api. Foto/Ist
Pada tahap ini, Sutiyoso harus kuat menahan rasa lapar sebab mereka tidak selalu menemukan binatang liar seperti ular sehingga Sutiyoso terpaksa hanya makan daun-daunan dan batang inti pisang untuk mengganjal perut. Tahap ini diakhiri dengan longmarch atau jalan kaki dari Situ Lembang, Bandung ke Pantai Permisan Cilacap yang berjarak 500 kilometer selama 10 hari dengan membawa beban seberat 20 Kg.
Setiap harinya, Sutiyoso harus berjalan sejauh 50 Km melalui hutan. Akibat latihan keras tersebut kedua kaki Sutiyoso bengkak sehingga tidak bisa memakai sepatu lagi dan hanya menggunakan sandal jepit. ”Saya tidak mau menjadi tentara yang tanggung-tanggung. Sudah terlanjut bonyok jadi sekalian saja,” ucap mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini.
Terakhir adalah tahap rawa laut. Selama dua bulan, Sutiyoso dilatih kemampuan patroli ilmu medan rawa dan diuji pembebasan tokoh di kamp tawanan. Pada tahap ini, prajurit Komando setiap hari berenang dan mendayung, praktik pendaratan, survival laut, renang ponco di laut, pelolosan. “Salah satu yang paling edan adalah berenang satu kilometer, penyusupan malam hari dari Cilacap menuju Nusakambangan. Sungguh berat dan menakutkan,” kata Bang Yos panggilan akrab Sutiyoso.
Bukan hanya itu, tahap paling mendebarkan menurut Sutiyoso adalah saat para prajurit Komando satu persatu dilepas di sebuah tempat di Nusakambangan dan harus tiba di save house di Pantai Permisan paling lambat pukul 22.00 WIB. Tanpa bekal apapun, mereka harus menembus segala rintangan baik alam maupun kejaran dari instruktur. Jika tertangkap maka akan dijebloskan ke dalam kamp tahanan, diinterogasi dan disiksa supaya buka mulut. ”Persis seperti perang sungguhan. Pada fase pelolosan hanya mereka yang tertangkap saja yang merasakan siksaan sebagai tawanan,” kenang Sutiyoso.
Setelah fase pelolosan, dilanjutkan dengan kamp tawanan. Selama tiga hari tiga malam seluruh calon prajurit Komando diinterogasi dan disiksa sehingga merasakan bagaimana menjadi tawanan. Mereka yang lolos akan mendapatkan Baret Merah, baju loreng darah mengalir dan pisau Komando.
“Latihan di Nusakambangan merupakan latihan tahap akhir, ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka. Yang paling berat, materi latihan pelolosan dan kamp tawanan,” kata Pramono dalam buku biografinya “Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan yang diterbitkan QailQita Publishing 2014”.
Setidaknya, ada tiga tahap pembinaan yang harus dilalui para prajurit Komando yakni, tahap basis atau dasar. Pada tahap ini, selama sepuluh minggu semua prajurit Komando termasuk Sutiyoso diajarkan menembak, teknik dan taktik bertempur maupun bantuan tempur, operasi raid dan perebutan cepat, navigasi darat, serangan unit komando, dasar-dasar pertempuran kota dan sebagainya.
Selanjutnya, tahap hutan gunung. Pada tahap ini prajurit Komando akan menghadapi tantangan yang semakin sulit baik alam maupun rekayasa dari para instruktur. Di sini, Sutiyoso diajarkan bagaimana melakukan perang hutan, mendaki serbu, menembak, navigasi, penjejakan dan antipenjejakan serta survival yakni bertahan hidup di kawasan hutan di Situ Lembang. Tanpa bekal, Sutiyoso menjelajah hutan dan gunung di daerah tersebut.
Salah satu rute terberat adalah longmarch menyusuri rel kereta api. Foto/Ist
Pada tahap ini, Sutiyoso harus kuat menahan rasa lapar sebab mereka tidak selalu menemukan binatang liar seperti ular sehingga Sutiyoso terpaksa hanya makan daun-daunan dan batang inti pisang untuk mengganjal perut. Tahap ini diakhiri dengan longmarch atau jalan kaki dari Situ Lembang, Bandung ke Pantai Permisan Cilacap yang berjarak 500 kilometer selama 10 hari dengan membawa beban seberat 20 Kg.
Setiap harinya, Sutiyoso harus berjalan sejauh 50 Km melalui hutan. Akibat latihan keras tersebut kedua kaki Sutiyoso bengkak sehingga tidak bisa memakai sepatu lagi dan hanya menggunakan sandal jepit. ”Saya tidak mau menjadi tentara yang tanggung-tanggung. Sudah terlanjut bonyok jadi sekalian saja,” ucap mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini.
Terakhir adalah tahap rawa laut. Selama dua bulan, Sutiyoso dilatih kemampuan patroli ilmu medan rawa dan diuji pembebasan tokoh di kamp tawanan. Pada tahap ini, prajurit Komando setiap hari berenang dan mendayung, praktik pendaratan, survival laut, renang ponco di laut, pelolosan. “Salah satu yang paling edan adalah berenang satu kilometer, penyusupan malam hari dari Cilacap menuju Nusakambangan. Sungguh berat dan menakutkan,” kata Bang Yos panggilan akrab Sutiyoso.
Bukan hanya itu, tahap paling mendebarkan menurut Sutiyoso adalah saat para prajurit Komando satu persatu dilepas di sebuah tempat di Nusakambangan dan harus tiba di save house di Pantai Permisan paling lambat pukul 22.00 WIB. Tanpa bekal apapun, mereka harus menembus segala rintangan baik alam maupun kejaran dari instruktur. Jika tertangkap maka akan dijebloskan ke dalam kamp tahanan, diinterogasi dan disiksa supaya buka mulut. ”Persis seperti perang sungguhan. Pada fase pelolosan hanya mereka yang tertangkap saja yang merasakan siksaan sebagai tawanan,” kenang Sutiyoso.
Setelah fase pelolosan, dilanjutkan dengan kamp tawanan. Selama tiga hari tiga malam seluruh calon prajurit Komando diinterogasi dan disiksa sehingga merasakan bagaimana menjadi tawanan. Mereka yang lolos akan mendapatkan Baret Merah, baju loreng darah mengalir dan pisau Komando.
“Latihan di Nusakambangan merupakan latihan tahap akhir, ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka. Yang paling berat, materi latihan pelolosan dan kamp tawanan,” kata Pramono dalam buku biografinya “Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan yang diterbitkan QailQita Publishing 2014”.