Guru Besar Hukum Unsoed Sebut 3 Alasan Penting Penerapan PT dalam Pilpres
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Muhammad Fauzan menilai, ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) bukan sesuatu yang dilarang. Persoalan sebenarnya hanya terkait dengan besaran jumlah persentase dari PT.
”Hal itu merupakan kebijakan hukum terbuka atau opened legal policy. Ada beberapa alasan atau dasar argumentasi kebijakan presidential threshold dalam penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden," ujar Fauzan, Selasa (28/12/2021).
Pertama memperkuat sistem presidensial. Di mana presiden dan wakil presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kedudukan yang kuat sehingga tidak dapat diberhentikan secara mudah karena faktor politik. Kedua, untuk memastikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Jika tidak ada kebijakan presidential threshold sangat mungkin presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung “hanya” diusulkan oleh partai politik yang tidak memiliki wakil dengan jumlah yang tidak signifikan di parlemen.
”Jika hal ini terjadi, maka akan ada potensi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh presiden dan wakil presiden terpilih akan selalu diganggu oleh partai-partai politik yang memiliki wakil di parlemen dengan jumlah yang signifikan (mayoritas) yang kebetulan calon presiden dan wakil presidennya kalah dalam pemilihan umum,” ucapnya.
Ketiga, dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian melalui mekanisme alami. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pemerintahan presidensial dalam era demokrasi juga harus memberikan ruang kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik. Namun demikian, sistem presidensial tidak akan berjalan efektif jika disandingkan dengan sistem multipartai. "Oleh karena itu menjadi penting untuk mewujudkan sistem presidensial dengan sistem multipartai sederhana," jelas dia.
Menurutnya, perdebatan mengenai presidential threshold telah banyak terjadi di tengah masyarakat. Bahkan, perdebatan tersebut juga telah dibawa melalui mekanisme yang telah disediakan oleh hukum tata Negara yakni melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 16/PUU-V/2007 dan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 serta Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 menyatakan kebijakan presidential threshold dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. "Dan merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh UUD yang bersifat terbuka," singkatnya.
Berdasarkan UUD, memberikan kualifikasi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan mengikat, hal tersebut sebagaimana diamanatkan dapak ketentuan Pasal 24C ayat (1). "Memerhatikan hal tersebut di atas, maka perdebatan tentang perlu tidaknya atau boleh tidaknya kebijakan presidential threshold secara yuridis melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi telah final dan mengikat, artinya terlepas dari setuju atau tidaknya atas kebijakan presidential threshold maka setiap anak bangsa sudah selayaknya menghormati putusan Mahkamah Konstitusi," tutupnya.
”Hal itu merupakan kebijakan hukum terbuka atau opened legal policy. Ada beberapa alasan atau dasar argumentasi kebijakan presidential threshold dalam penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden," ujar Fauzan, Selasa (28/12/2021).
Pertama memperkuat sistem presidensial. Di mana presiden dan wakil presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kedudukan yang kuat sehingga tidak dapat diberhentikan secara mudah karena faktor politik. Kedua, untuk memastikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Jika tidak ada kebijakan presidential threshold sangat mungkin presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung “hanya” diusulkan oleh partai politik yang tidak memiliki wakil dengan jumlah yang tidak signifikan di parlemen.
”Jika hal ini terjadi, maka akan ada potensi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh presiden dan wakil presiden terpilih akan selalu diganggu oleh partai-partai politik yang memiliki wakil di parlemen dengan jumlah yang signifikan (mayoritas) yang kebetulan calon presiden dan wakil presidennya kalah dalam pemilihan umum,” ucapnya.
Ketiga, dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian melalui mekanisme alami. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pemerintahan presidensial dalam era demokrasi juga harus memberikan ruang kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik. Namun demikian, sistem presidensial tidak akan berjalan efektif jika disandingkan dengan sistem multipartai. "Oleh karena itu menjadi penting untuk mewujudkan sistem presidensial dengan sistem multipartai sederhana," jelas dia.
Menurutnya, perdebatan mengenai presidential threshold telah banyak terjadi di tengah masyarakat. Bahkan, perdebatan tersebut juga telah dibawa melalui mekanisme yang telah disediakan oleh hukum tata Negara yakni melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 16/PUU-V/2007 dan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 serta Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 menyatakan kebijakan presidential threshold dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. "Dan merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh UUD yang bersifat terbuka," singkatnya.
Berdasarkan UUD, memberikan kualifikasi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan mengikat, hal tersebut sebagaimana diamanatkan dapak ketentuan Pasal 24C ayat (1). "Memerhatikan hal tersebut di atas, maka perdebatan tentang perlu tidaknya atau boleh tidaknya kebijakan presidential threshold secara yuridis melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi telah final dan mengikat, artinya terlepas dari setuju atau tidaknya atas kebijakan presidential threshold maka setiap anak bangsa sudah selayaknya menghormati putusan Mahkamah Konstitusi," tutupnya.
(cip)