Perkawinan Anak dan Pendidikan

Selasa, 28 Desember 2021 - 12:11 WIB
loading...
A A A
Kedua, jalur pendidikan. Diperlukan komitmen dan konsistensi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan UUD 1945, UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 80/2013. Sesuai dengan Permendikbud 80/2013, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan menengah universal (PMU) di antaranya wajib belajar 12 tahun. Melalui PMU diharapkan 97% warga negara Indonesia yang berusia 16-18 tahun menamatkan pendidikan tingkat menengah. Pemenuhan pendidikan menengah dapat meningkatkan kualitas manusia Indonesia menuju generasi emas 2045 dan dapat menurunkan angka perkawinan anak karena mereka masih duduk di bangku sekolah. Sangat disayangkan, komitmen dan konsistensi pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemenuhan wajib belajar 12 tahun masih sangat rendah.

Jalur pendidikan yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kesempatan dan akses mereka yang menikah pada usia dini untuk menempuh studi di jalur pendidikan nonformal. Berkeluarga tidak boleh menjadi halangan bagi mereka untuk mendapatkan hak pendidikan. Kesempatan belajar pada pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dalam bentuk pendidikan kesetaraan dan kursus akan sangat bermakna. Ijazah pendidikan kesetaraan memungkinkan seseorang belajar di jenjang pendidikan tinggi. Sertifikat kursus membuka akses memasuki dunia kerja di sektor formal dan profesional. Perlu afirmasi agar perkawinan anak tidak memupus harapan anak meraih pendidikan dan masa depan yang gemilang.

Ketiga, jalur media massa dan media sosial. Peran media massa dalam sosialisasi berbagai regulasi dan literasi perkawinan sangatlah penting. Media juga dapat berperan sebagai institusi kontrol dan advokasi terhadap praktik perkawinan anak. Terakhir, jalur keagamaan. Fikih perkawinan lama yang sudah usang, tidak zamani, dan out of date perlu direvisi, khususnya yang terkait dengan nikah siri dan definisi aqil-baligh. Reinterpretasi dan rekonstruksi atas kedua masalah tersebut begitu diperlukan. Ajaran Islam tentang keharusan adanya saksi pernikahan dan anjuran menyelenggarakan walimatul’ursy dan kewajiban menghadirinya mengandung pesan bahwa pernikahan harus dilaksanakan secara terbuka dan tercatat dalam memori kolektif masyarakat sebagai “dokumen publik”. Aqil-baligh adalah definisi kecerdasan intelektual, mental, moral, dan spiritual, bukan sebatas reproduksi seksual. Pandangan aqil-baligh sebagai proses reproduksi bertentangan dengan hakikat dan tujuan syariat (maqashid al-syariah) perkawinan.

Perkawinan anak adalah masalah bangsa. Diperlukan penanganan yang saksama oleh seluruh elemen bangsa. Perkawinan adalah lembaga yang menentukan ketahanan keluarga dan kemajuan bangsa. Saatnya bergerak bersama melalui penegakan regulasi, lembaga sosial, kegiatan keagamaan, media, dan pendidikan. Mencegah perzinaan dan menyelamatkan moral bangsa sangatlah penting dan harus diutamakan. Akan tetapi, solusi yang tepat bukanlah perkawinan anak. Solusi yang sangat penting adalah memperkuat pendidikan agama di lembaga pendidikan, masyarakat, dan keluarga.
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1411 seconds (0.1#10.140)