Bunda, Didongengi Itu Dibohongi?
loading...
A
A
A
baca juga: Inilah Sosok Pida, Gadis Manis Pejuang Literasi yang Pintar Mendongeng
Sayang, tradisi membacakan dongeng belum disambut baik dalam mata pelajaran sekolah. Kelas awal baik KB, TK, SD kelas I-II merupakan ladang pengalaman anak bersekolah pertama kali. Ini usia emas sang anak, the golden age. Apabila tahap awal ini anak sudah senang menikmati dongeng, anak pun akan bergairah menuntut ilmu pengetahuan sekaligus ilmu kehidupan. Nah, sosok guru berperan utama dalam memberi kesan, sekolah itu menyenangkan. Sekolah ramah anak, ramah lingkungan. Sekolah dapat memuaskan rasa ingin tahu anak dan menggemukkan kreativitas. Guru harus cerdik menerapkan metode mendidik. Lagi-lagi, gunakan metode mendongeng, bercerita.
Milieu kancil lampau akan menjadi kontradiktif dengan semangat zaman milenial 4.0. Namun, virus karakternya yang destruktif itulah yang semula dijadikan fantasi-fantasi kreatif dan kecakapan memecahkan masalah, kini justru memanen masalah. Virus karakter kancil adalah tuah dan buah yang harus kita tanggung bersama. Anak-anak milenial kita menyaksikan kiprah kancil-kancil modern yang sejatinya gagap bersikap. Ada perayaan besar tentang dongeng kehidupan, tetapi sekadar ritual. Justru core-dongeng tentang hidup saleh, hidup sosial, hidup bersinergi aku memberi kamu menerima, adalah fantasi hidup yang disingkirkan.
baca juga: Mendongeng Dapat Membantu Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
Tujuan mendongeng adalah seni menuang gagasan dalam pikiran, tidak saja menghibur pendengar, tetapi justru menularkan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas hidup yang terkandung dalam inti cerita. Nilai-nilai moral hakiki meliputi kejujuran, keadilan, tanggung jawab, peduli, tolong-menolong, kebersamaan, kenegarawanan, keberanian, dan persahabatan berperan besar dalam melatih kepekaan sosial anak terhadap lingkungannya.
Satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Dongeng digemari anak karena menyuguhkan aneka nasihat, petuah, teladan, atau hikmah melalui figur tokoh cerita. Satu sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun selalu kita rawat. Tantangan bagi para orang tua terkini wajib mengemas dongeng-dongeng yang mendidik, sehingga anak-anak aman meneladan kisah-kisah tersebut.
Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Buatlah dongeng modifikasi. Revitalisasi dongeng. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng. Jadi, tidak ada alasan pesimistis untuk mengatakan kepada anak, “Aduh, Bunda nggak bisa mendongeng, Nak! Sana sama ayahmu saja.”
baca juga: Satgas TMMD 111 Obati Kerinduan Anak-akan Cerita Dongeng
Berani mencukilkan berhala pencitraan kancil? Dongeng kancil mencuri mentimun atau kancil dan buaya, misalnya, masih menjadi “iman” cerita. Kancil mematrikan ajaran negatif. Si cerdik nan licik kancil diamini bahwa begitulah cara keluar atau solusi dari masalah yang dihadapi. Menghalalkan segala cara menjadi terpuji. Kancil menjadi hipokrit. Inilah musuh laten untuk kecakapan abad XXI yang wajib menilik variasi literasi.
Pergeseran tafsir pun terjadi. Kritisi pendidikan mengklaim bahwa dongeng yang baheula sangat intim dengan fase kanak-kanak kita, dikorek-korek ikut membidani runyamnya moralitas anak bangsa. Dekadensi. Kancil-kancil kontemporer meraja. Ujung dusun hingga pusar kota dikuasai pejabat dan penjahat. Kita selaku gawang dongeng justru menjadi pecundang.
Sayang, tradisi membacakan dongeng belum disambut baik dalam mata pelajaran sekolah. Kelas awal baik KB, TK, SD kelas I-II merupakan ladang pengalaman anak bersekolah pertama kali. Ini usia emas sang anak, the golden age. Apabila tahap awal ini anak sudah senang menikmati dongeng, anak pun akan bergairah menuntut ilmu pengetahuan sekaligus ilmu kehidupan. Nah, sosok guru berperan utama dalam memberi kesan, sekolah itu menyenangkan. Sekolah ramah anak, ramah lingkungan. Sekolah dapat memuaskan rasa ingin tahu anak dan menggemukkan kreativitas. Guru harus cerdik menerapkan metode mendidik. Lagi-lagi, gunakan metode mendongeng, bercerita.
Milieu kancil lampau akan menjadi kontradiktif dengan semangat zaman milenial 4.0. Namun, virus karakternya yang destruktif itulah yang semula dijadikan fantasi-fantasi kreatif dan kecakapan memecahkan masalah, kini justru memanen masalah. Virus karakter kancil adalah tuah dan buah yang harus kita tanggung bersama. Anak-anak milenial kita menyaksikan kiprah kancil-kancil modern yang sejatinya gagap bersikap. Ada perayaan besar tentang dongeng kehidupan, tetapi sekadar ritual. Justru core-dongeng tentang hidup saleh, hidup sosial, hidup bersinergi aku memberi kamu menerima, adalah fantasi hidup yang disingkirkan.
baca juga: Mendongeng Dapat Membantu Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
Tujuan mendongeng adalah seni menuang gagasan dalam pikiran, tidak saja menghibur pendengar, tetapi justru menularkan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas hidup yang terkandung dalam inti cerita. Nilai-nilai moral hakiki meliputi kejujuran, keadilan, tanggung jawab, peduli, tolong-menolong, kebersamaan, kenegarawanan, keberanian, dan persahabatan berperan besar dalam melatih kepekaan sosial anak terhadap lingkungannya.
Satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Dongeng digemari anak karena menyuguhkan aneka nasihat, petuah, teladan, atau hikmah melalui figur tokoh cerita. Satu sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun selalu kita rawat. Tantangan bagi para orang tua terkini wajib mengemas dongeng-dongeng yang mendidik, sehingga anak-anak aman meneladan kisah-kisah tersebut.
Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Buatlah dongeng modifikasi. Revitalisasi dongeng. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng. Jadi, tidak ada alasan pesimistis untuk mengatakan kepada anak, “Aduh, Bunda nggak bisa mendongeng, Nak! Sana sama ayahmu saja.”
baca juga: Satgas TMMD 111 Obati Kerinduan Anak-akan Cerita Dongeng
Berani mencukilkan berhala pencitraan kancil? Dongeng kancil mencuri mentimun atau kancil dan buaya, misalnya, masih menjadi “iman” cerita. Kancil mematrikan ajaran negatif. Si cerdik nan licik kancil diamini bahwa begitulah cara keluar atau solusi dari masalah yang dihadapi. Menghalalkan segala cara menjadi terpuji. Kancil menjadi hipokrit. Inilah musuh laten untuk kecakapan abad XXI yang wajib menilik variasi literasi.
Pergeseran tafsir pun terjadi. Kritisi pendidikan mengklaim bahwa dongeng yang baheula sangat intim dengan fase kanak-kanak kita, dikorek-korek ikut membidani runyamnya moralitas anak bangsa. Dekadensi. Kancil-kancil kontemporer meraja. Ujung dusun hingga pusar kota dikuasai pejabat dan penjahat. Kita selaku gawang dongeng justru menjadi pecundang.