Bunda, Didongengi Itu Dibohongi?
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Buruh perbukuan di Penerbit Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah
Konon, ujung kulon Sumatera hingga ujung timur Papua, ujung utara Sulawesi hingga ujung selatan NTT, lumbung dongeng nusantara mengarsip. Nusantara mahakaya cerita. Dongeng mengecambah. Dongeng bersembunyi meraja di belantara dan di puri kerajaan sakti. Pedalaman adalah lumbung dongeng, dongeng klasik.
baca juga: Mencari Bunda Empu Mendongeng
Kini, dari tepi kampung sampai tengah kota, sudut dusun sampai pusar metropolitan, dongeng menjelma menjadi kurcaci parlente. Muncullah satu sindiran ketus “berhala literasi kancil dalam dongeng”. Pesona megabintang kancil menjadi arkais-artefak. Kancil tak lagi tampil parabel dengan pak tani. Ini menghindari penistaan kaum tani yang selalu kalah dan salah. Kancil kekinian trendi, kelimis berkerah dan berdasi. Ada apa di balik konon dan kini tradisi pewarisan dongeng nusantara?
Ada berhala laten yang menyusupi dongeng kita. Prof Suminto A Sayuti mulai terbata-bata meskipun dijatah jadi endorsement. Kak Seto Mulyadi minggir. Si Bunda tak suka membacakan dongeng menjelang si buah hati bobok. Benarlah adagium “didongengi itu dibohongi”! Bohong itu dosa. Edukatifkah? Padahal, mendongeng itu ibadah.
Era global atau zaman canggih serbadigital ini telah membunuh tradisi membacakan dongeng (mendongeng) untuk anak. Konten Youtube dengan varian tampilannya dan tayangan televisi seperti air bah tak terbendung, aneka game dalam gawai ibarat monster, produksi buku-buku makin menyampah, hingga tergencetnya waktu demi tuntutan kesibukan kerja, menambah derita keprihatinan untuk membacakan dongeng anak.
baca juga: Promosikan Bahasa Indonesia, 12 Negara Ikut Kompetisi Mendongeng SEAQIL
Jika mengulik kitab Mendidik Anak Lewat Dongeng (bonus 100 dongeng), misalnya, hendak menyatukan tekad seperti dicanangkan Prof Suminto, “Membacakan dongeng (mendongeng) adalah ibadah, jihad orang tua untuk membentuk generasi masa depan.” Masih ampuhkah? Bukankah kini tinggal ampas dongeng! Dongeng tidak mesti harus kancil. Dongeng kancil adalah berhala. Kini saat jitu merombak mitos si kancil.
Begitu hebat dan istimewakah dongeng? Kegiatan membacakan dongeng adalah satu media komunikasi yang ampuh ketika mentransfer ide kepada anak dengan kemasan menawan. Mendongeng semudah menggosip. Merangkai kata-kata persuasif, deskriptif, naratif, lalu menguarlah imajinasi menjadi sebentuk kisahan yang atraktif, sekadar untuk berbagi makna cerita.
Manfaat terbesar yang akan dirasakan anak seumur hidup adalah perasaan selalu dicintai. Mendongeng akan mempererat hubungan orang tua dengan anak. Orang tua dapat memahami kemampuan anak melalui komunikasi dan interaksi yang terjalin selama mendongeng. Anak merasa dihargai, karitatif.
baca juga: Inilah Sosok Pida, Gadis Manis Pejuang Literasi yang Pintar Mendongeng
Sayang, tradisi membacakan dongeng belum disambut baik dalam mata pelajaran sekolah. Kelas awal baik KB, TK, SD kelas I-II merupakan ladang pengalaman anak bersekolah pertama kali. Ini usia emas sang anak, the golden age. Apabila tahap awal ini anak sudah senang menikmati dongeng, anak pun akan bergairah menuntut ilmu pengetahuan sekaligus ilmu kehidupan. Nah, sosok guru berperan utama dalam memberi kesan, sekolah itu menyenangkan. Sekolah ramah anak, ramah lingkungan. Sekolah dapat memuaskan rasa ingin tahu anak dan menggemukkan kreativitas. Guru harus cerdik menerapkan metode mendidik. Lagi-lagi, gunakan metode mendongeng, bercerita.
Milieu kancil lampau akan menjadi kontradiktif dengan semangat zaman milenial 4.0. Namun, virus karakternya yang destruktif itulah yang semula dijadikan fantasi-fantasi kreatif dan kecakapan memecahkan masalah, kini justru memanen masalah. Virus karakter kancil adalah tuah dan buah yang harus kita tanggung bersama. Anak-anak milenial kita menyaksikan kiprah kancil-kancil modern yang sejatinya gagap bersikap. Ada perayaan besar tentang dongeng kehidupan, tetapi sekadar ritual. Justru core-dongeng tentang hidup saleh, hidup sosial, hidup bersinergi aku memberi kamu menerima, adalah fantasi hidup yang disingkirkan.
baca juga: Mendongeng Dapat Membantu Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
Tujuan mendongeng adalah seni menuang gagasan dalam pikiran, tidak saja menghibur pendengar, tetapi justru menularkan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas hidup yang terkandung dalam inti cerita. Nilai-nilai moral hakiki meliputi kejujuran, keadilan, tanggung jawab, peduli, tolong-menolong, kebersamaan, kenegarawanan, keberanian, dan persahabatan berperan besar dalam melatih kepekaan sosial anak terhadap lingkungannya.
Satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Dongeng digemari anak karena menyuguhkan aneka nasihat, petuah, teladan, atau hikmah melalui figur tokoh cerita. Satu sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun selalu kita rawat. Tantangan bagi para orang tua terkini wajib mengemas dongeng-dongeng yang mendidik, sehingga anak-anak aman meneladan kisah-kisah tersebut.
Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Buatlah dongeng modifikasi. Revitalisasi dongeng. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng. Jadi, tidak ada alasan pesimistis untuk mengatakan kepada anak, “Aduh, Bunda nggak bisa mendongeng, Nak! Sana sama ayahmu saja.”
baca juga: Satgas TMMD 111 Obati Kerinduan Anak-akan Cerita Dongeng
Berani mencukilkan berhala pencitraan kancil? Dongeng kancil mencuri mentimun atau kancil dan buaya, misalnya, masih menjadi “iman” cerita. Kancil mematrikan ajaran negatif. Si cerdik nan licik kancil diamini bahwa begitulah cara keluar atau solusi dari masalah yang dihadapi. Menghalalkan segala cara menjadi terpuji. Kancil menjadi hipokrit. Inilah musuh laten untuk kecakapan abad XXI yang wajib menilik variasi literasi.
Pergeseran tafsir pun terjadi. Kritisi pendidikan mengklaim bahwa dongeng yang baheula sangat intim dengan fase kanak-kanak kita, dikorek-korek ikut membidani runyamnya moralitas anak bangsa. Dekadensi. Kancil-kancil kontemporer meraja. Ujung dusun hingga pusar kota dikuasai pejabat dan penjahat. Kita selaku gawang dongeng justru menjadi pecundang.
Banyak pejabat bermoral pencuri karena kepincut mentimun ranum. Pejabat tidak berpikir mentimun itu milik siapa, yang penting bisa mendapatkannya. Kita diajari menghalalkan segala cara: menipu, membohongi, menindas, dan berbagai perilaku culas lain. Yang penting bebas, menang walau dengan cara licik.
baca juga: Inilah Dongeng-Dongeng yang Berhasil Dibuat oleh Member BTS
Mungkin ini satu argumen mengapa para pakar pendidikan menyatakan telah terjadi pemberhalaan dongeng. Secara psikologis, anak-anak yang masih dalam siklus pertumbuhan memiliki karakter yang cenderung imitatif dan plagiasi. Mereka akan meniru apa saja yang didengar, dilihat, atau ditonton. Kepekaan dan daya simpan memori mereka menakjubkan. Mereka belum mengenal salah dan benar. Dalam benaknya, yang penting menarik dan menyenangkan (dulce et utile).
Berhala kontemporer menggejala ketika mereka dewasa. Nilai-nilai buruk dari tiruan tokoh idola dongeng, sekali waktu menjelma dalam kehidupan mereka. Barangkali para politisi kita yang bertabiat licik, korup, dan suka menipu rakyat, pernah didongengi moyangnya tentang kancil. Imbasnya, perilaku mereka pun laiknya kancil.
Betapa dongeng anak memiliki pengaruh dahsyat bagi pertumbuhan mental. Tak elak, satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Digemari anak karena menyuguhkan aneka petuah, teladan, atau hikmah melalui tokoh cerita. Sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun kita rawat.
baca juga: Heboh Harta Karun Palembang, Inikah Pulau Emas dalam Dongeng Indonesia?
Para orang tua terkini wajib mengemas dongeng yang mendidik. Tujuannya, anak-anak aman meneladan kisah. Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Buatlah dongeng modifikasi. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng. Intinya, mendongenglah secara logika out of box. Ini era 4.0, era disrupsi, era digital yang menuntut mahir dan cakap abad XXI. “Kini saatnya kuasa kompetensi kawin dengan kuasa kapabilitas,” pungkas Prof Djoko Saryono, pakar literasi dari UNM Malang. Betapa tidak! ***
Buruh perbukuan di Penerbit Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah
Konon, ujung kulon Sumatera hingga ujung timur Papua, ujung utara Sulawesi hingga ujung selatan NTT, lumbung dongeng nusantara mengarsip. Nusantara mahakaya cerita. Dongeng mengecambah. Dongeng bersembunyi meraja di belantara dan di puri kerajaan sakti. Pedalaman adalah lumbung dongeng, dongeng klasik.
baca juga: Mencari Bunda Empu Mendongeng
Kini, dari tepi kampung sampai tengah kota, sudut dusun sampai pusar metropolitan, dongeng menjelma menjadi kurcaci parlente. Muncullah satu sindiran ketus “berhala literasi kancil dalam dongeng”. Pesona megabintang kancil menjadi arkais-artefak. Kancil tak lagi tampil parabel dengan pak tani. Ini menghindari penistaan kaum tani yang selalu kalah dan salah. Kancil kekinian trendi, kelimis berkerah dan berdasi. Ada apa di balik konon dan kini tradisi pewarisan dongeng nusantara?
Ada berhala laten yang menyusupi dongeng kita. Prof Suminto A Sayuti mulai terbata-bata meskipun dijatah jadi endorsement. Kak Seto Mulyadi minggir. Si Bunda tak suka membacakan dongeng menjelang si buah hati bobok. Benarlah adagium “didongengi itu dibohongi”! Bohong itu dosa. Edukatifkah? Padahal, mendongeng itu ibadah.
Era global atau zaman canggih serbadigital ini telah membunuh tradisi membacakan dongeng (mendongeng) untuk anak. Konten Youtube dengan varian tampilannya dan tayangan televisi seperti air bah tak terbendung, aneka game dalam gawai ibarat monster, produksi buku-buku makin menyampah, hingga tergencetnya waktu demi tuntutan kesibukan kerja, menambah derita keprihatinan untuk membacakan dongeng anak.
baca juga: Promosikan Bahasa Indonesia, 12 Negara Ikut Kompetisi Mendongeng SEAQIL
Jika mengulik kitab Mendidik Anak Lewat Dongeng (bonus 100 dongeng), misalnya, hendak menyatukan tekad seperti dicanangkan Prof Suminto, “Membacakan dongeng (mendongeng) adalah ibadah, jihad orang tua untuk membentuk generasi masa depan.” Masih ampuhkah? Bukankah kini tinggal ampas dongeng! Dongeng tidak mesti harus kancil. Dongeng kancil adalah berhala. Kini saat jitu merombak mitos si kancil.
Begitu hebat dan istimewakah dongeng? Kegiatan membacakan dongeng adalah satu media komunikasi yang ampuh ketika mentransfer ide kepada anak dengan kemasan menawan. Mendongeng semudah menggosip. Merangkai kata-kata persuasif, deskriptif, naratif, lalu menguarlah imajinasi menjadi sebentuk kisahan yang atraktif, sekadar untuk berbagi makna cerita.
Manfaat terbesar yang akan dirasakan anak seumur hidup adalah perasaan selalu dicintai. Mendongeng akan mempererat hubungan orang tua dengan anak. Orang tua dapat memahami kemampuan anak melalui komunikasi dan interaksi yang terjalin selama mendongeng. Anak merasa dihargai, karitatif.
baca juga: Inilah Sosok Pida, Gadis Manis Pejuang Literasi yang Pintar Mendongeng
Sayang, tradisi membacakan dongeng belum disambut baik dalam mata pelajaran sekolah. Kelas awal baik KB, TK, SD kelas I-II merupakan ladang pengalaman anak bersekolah pertama kali. Ini usia emas sang anak, the golden age. Apabila tahap awal ini anak sudah senang menikmati dongeng, anak pun akan bergairah menuntut ilmu pengetahuan sekaligus ilmu kehidupan. Nah, sosok guru berperan utama dalam memberi kesan, sekolah itu menyenangkan. Sekolah ramah anak, ramah lingkungan. Sekolah dapat memuaskan rasa ingin tahu anak dan menggemukkan kreativitas. Guru harus cerdik menerapkan metode mendidik. Lagi-lagi, gunakan metode mendongeng, bercerita.
Milieu kancil lampau akan menjadi kontradiktif dengan semangat zaman milenial 4.0. Namun, virus karakternya yang destruktif itulah yang semula dijadikan fantasi-fantasi kreatif dan kecakapan memecahkan masalah, kini justru memanen masalah. Virus karakter kancil adalah tuah dan buah yang harus kita tanggung bersama. Anak-anak milenial kita menyaksikan kiprah kancil-kancil modern yang sejatinya gagap bersikap. Ada perayaan besar tentang dongeng kehidupan, tetapi sekadar ritual. Justru core-dongeng tentang hidup saleh, hidup sosial, hidup bersinergi aku memberi kamu menerima, adalah fantasi hidup yang disingkirkan.
baca juga: Mendongeng Dapat Membantu Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
Tujuan mendongeng adalah seni menuang gagasan dalam pikiran, tidak saja menghibur pendengar, tetapi justru menularkan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas hidup yang terkandung dalam inti cerita. Nilai-nilai moral hakiki meliputi kejujuran, keadilan, tanggung jawab, peduli, tolong-menolong, kebersamaan, kenegarawanan, keberanian, dan persahabatan berperan besar dalam melatih kepekaan sosial anak terhadap lingkungannya.
Satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Dongeng digemari anak karena menyuguhkan aneka nasihat, petuah, teladan, atau hikmah melalui figur tokoh cerita. Satu sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun selalu kita rawat. Tantangan bagi para orang tua terkini wajib mengemas dongeng-dongeng yang mendidik, sehingga anak-anak aman meneladan kisah-kisah tersebut.
Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Buatlah dongeng modifikasi. Revitalisasi dongeng. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng. Jadi, tidak ada alasan pesimistis untuk mengatakan kepada anak, “Aduh, Bunda nggak bisa mendongeng, Nak! Sana sama ayahmu saja.”
baca juga: Satgas TMMD 111 Obati Kerinduan Anak-akan Cerita Dongeng
Berani mencukilkan berhala pencitraan kancil? Dongeng kancil mencuri mentimun atau kancil dan buaya, misalnya, masih menjadi “iman” cerita. Kancil mematrikan ajaran negatif. Si cerdik nan licik kancil diamini bahwa begitulah cara keluar atau solusi dari masalah yang dihadapi. Menghalalkan segala cara menjadi terpuji. Kancil menjadi hipokrit. Inilah musuh laten untuk kecakapan abad XXI yang wajib menilik variasi literasi.
Pergeseran tafsir pun terjadi. Kritisi pendidikan mengklaim bahwa dongeng yang baheula sangat intim dengan fase kanak-kanak kita, dikorek-korek ikut membidani runyamnya moralitas anak bangsa. Dekadensi. Kancil-kancil kontemporer meraja. Ujung dusun hingga pusar kota dikuasai pejabat dan penjahat. Kita selaku gawang dongeng justru menjadi pecundang.
Banyak pejabat bermoral pencuri karena kepincut mentimun ranum. Pejabat tidak berpikir mentimun itu milik siapa, yang penting bisa mendapatkannya. Kita diajari menghalalkan segala cara: menipu, membohongi, menindas, dan berbagai perilaku culas lain. Yang penting bebas, menang walau dengan cara licik.
baca juga: Inilah Dongeng-Dongeng yang Berhasil Dibuat oleh Member BTS
Mungkin ini satu argumen mengapa para pakar pendidikan menyatakan telah terjadi pemberhalaan dongeng. Secara psikologis, anak-anak yang masih dalam siklus pertumbuhan memiliki karakter yang cenderung imitatif dan plagiasi. Mereka akan meniru apa saja yang didengar, dilihat, atau ditonton. Kepekaan dan daya simpan memori mereka menakjubkan. Mereka belum mengenal salah dan benar. Dalam benaknya, yang penting menarik dan menyenangkan (dulce et utile).
Berhala kontemporer menggejala ketika mereka dewasa. Nilai-nilai buruk dari tiruan tokoh idola dongeng, sekali waktu menjelma dalam kehidupan mereka. Barangkali para politisi kita yang bertabiat licik, korup, dan suka menipu rakyat, pernah didongengi moyangnya tentang kancil. Imbasnya, perilaku mereka pun laiknya kancil.
Betapa dongeng anak memiliki pengaruh dahsyat bagi pertumbuhan mental. Tak elak, satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Digemari anak karena menyuguhkan aneka petuah, teladan, atau hikmah melalui tokoh cerita. Sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun kita rawat.
baca juga: Heboh Harta Karun Palembang, Inikah Pulau Emas dalam Dongeng Indonesia?
Para orang tua terkini wajib mengemas dongeng yang mendidik. Tujuannya, anak-anak aman meneladan kisah. Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Buatlah dongeng modifikasi. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng. Intinya, mendongenglah secara logika out of box. Ini era 4.0, era disrupsi, era digital yang menuntut mahir dan cakap abad XXI. “Kini saatnya kuasa kompetensi kawin dengan kuasa kapabilitas,” pungkas Prof Djoko Saryono, pakar literasi dari UNM Malang. Betapa tidak! ***
(hdr)