Soal Presidential Threshold 20%, Demokrat Teringat Upaya Jegal SBY
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (pencapresan) 20% sudah tidak lagi relevan saat pileg dan pilpres serentak sejak 2019 lalu. Hal ini dikatakan politikus Partai Demokrat , Irwan.
"Pada setiap gelaran pilpres yang dilaksanakan secara langsung sejak tahun 2004, ambang batas pencalonan presiden memang dimaksudkan sebagai barrier to entry bagi setiap calon. Pada saat itu Pak SBY pun hampir tidak dapat mencalonkan diri karena jumlah dukungan yang terbatas," kata Irwan, Rabu (22/12/2021).
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrat ini menjelaskan, lalu pada 2009, kembali ada skenario politik agar SBY tidak dapat dicalonkan dengan mengubah dan menaikkan angka ambang batas pencalonan Presiden menjadi 25% kursi DPR dan 20% suara sah nasional.
Namun kata dia, karena Pileg yang dilaksanakan lebih awal sebelum Pilpres, ternyata Demokrat memenangkan Pileg dengan perolehan kursi 150 atau equivalen dengan 26,4% kursi DPR RI.
"Akhirnya skenario menggagalkan SBY melalui presidential threshold gagal total. Bahkan pak SBY memenangkan Pilpres secara langsung untuk kedua kalinya," ujar Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat ini.
Menurut Irwan, gelaran Pemilu 2004 dan 2009 berbeda dengan Pemilu 2019 kemarin dan Pemilu 2024 yang akan datang. Karena pada Pemilu 2019 dan 2024, Pileg dan Pilpres dilaksanakan secara serentak.
Sehingga, seharusnya secara konstitusional ambang batas pencalonan tidak relevan lagi dijadikan sebagai syarat pencalonan mengingat hasil Pileg 2024 belum diketahui hasilnya.
"Jika menggunakan hasil pemilu 2019, justru alasan presidential threshold untuk penguatan sistem presidential tidak cocok karena hasil pemilu atau resultan politik akan berbeda," tukas pria yang akrab disapa Irwan Fecho ini.
Selanjutnya kata Irwan, fakta politik juga menunjukkan dalam beberapa pemilu terakhir, justru pembentukan koalisi pemerintahan dapat terjadi setelah pileg dam pilpres selesai. Jadi, Presiden terpilih mendapatkan tambahan dukungan dari parlemen setelah pemilu usai.
Bahkan paling mutakhir, justru yang berlawanan dalam Pilpres menjadi sekutu pasca pemilu dan menjalankan pemerintahan bersama-sama.
Baca Juga
"Pada setiap gelaran pilpres yang dilaksanakan secara langsung sejak tahun 2004, ambang batas pencalonan presiden memang dimaksudkan sebagai barrier to entry bagi setiap calon. Pada saat itu Pak SBY pun hampir tidak dapat mencalonkan diri karena jumlah dukungan yang terbatas," kata Irwan, Rabu (22/12/2021).
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrat ini menjelaskan, lalu pada 2009, kembali ada skenario politik agar SBY tidak dapat dicalonkan dengan mengubah dan menaikkan angka ambang batas pencalonan Presiden menjadi 25% kursi DPR dan 20% suara sah nasional.
Namun kata dia, karena Pileg yang dilaksanakan lebih awal sebelum Pilpres, ternyata Demokrat memenangkan Pileg dengan perolehan kursi 150 atau equivalen dengan 26,4% kursi DPR RI.
"Akhirnya skenario menggagalkan SBY melalui presidential threshold gagal total. Bahkan pak SBY memenangkan Pilpres secara langsung untuk kedua kalinya," ujar Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat ini.
Menurut Irwan, gelaran Pemilu 2004 dan 2009 berbeda dengan Pemilu 2019 kemarin dan Pemilu 2024 yang akan datang. Karena pada Pemilu 2019 dan 2024, Pileg dan Pilpres dilaksanakan secara serentak.
Sehingga, seharusnya secara konstitusional ambang batas pencalonan tidak relevan lagi dijadikan sebagai syarat pencalonan mengingat hasil Pileg 2024 belum diketahui hasilnya.
"Jika menggunakan hasil pemilu 2019, justru alasan presidential threshold untuk penguatan sistem presidential tidak cocok karena hasil pemilu atau resultan politik akan berbeda," tukas pria yang akrab disapa Irwan Fecho ini.
Selanjutnya kata Irwan, fakta politik juga menunjukkan dalam beberapa pemilu terakhir, justru pembentukan koalisi pemerintahan dapat terjadi setelah pileg dam pilpres selesai. Jadi, Presiden terpilih mendapatkan tambahan dukungan dari parlemen setelah pemilu usai.
Bahkan paling mutakhir, justru yang berlawanan dalam Pilpres menjadi sekutu pasca pemilu dan menjalankan pemerintahan bersama-sama.