Soal Presidential Threshold 20%, Demokrat Teringat Upaya Jegal SBY

Rabu, 22 Desember 2021 - 06:27 WIB
loading...
Soal Presidential Threshold...
Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (pencapresan) 20% sudah tidak lagi relevan saat pileg dan pilpres serentak sejak 2019 lalu. Hal ini dikatakan politikus Partai Demokrat , Irwan.



"Pada setiap gelaran pilpres yang dilaksanakan secara langsung sejak tahun 2004, ambang batas pencalonan presiden memang dimaksudkan sebagai barrier to entry bagi setiap calon. Pada saat itu Pak SBY pun hampir tidak dapat mencalonkan diri karena jumlah dukungan yang terbatas," kata Irwan, Rabu (22/12/2021).

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrat ini menjelaskan, lalu pada 2009, kembali ada skenario politik agar SBY tidak dapat dicalonkan dengan mengubah dan menaikkan angka ambang batas pencalonan Presiden menjadi 25% kursi DPR dan 20% suara sah nasional.

Namun kata dia, karena Pileg yang dilaksanakan lebih awal sebelum Pilpres, ternyata Demokrat memenangkan Pileg dengan perolehan kursi 150 atau equivalen dengan 26,4% kursi DPR RI.

"Akhirnya skenario menggagalkan SBY melalui presidential threshold gagal total. Bahkan pak SBY memenangkan Pilpres secara langsung untuk kedua kalinya," ujar Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat ini.

Menurut Irwan, gelaran Pemilu 2004 dan 2009 berbeda dengan Pemilu 2019 kemarin dan Pemilu 2024 yang akan datang. Karena pada Pemilu 2019 dan 2024, Pileg dan Pilpres dilaksanakan secara serentak.
Sehingga, seharusnya secara konstitusional ambang batas pencalonan tidak relevan lagi dijadikan sebagai syarat pencalonan mengingat hasil Pileg 2024 belum diketahui hasilnya.

"Jika menggunakan hasil pemilu 2019, justru alasan presidential threshold untuk penguatan sistem presidential tidak cocok karena hasil pemilu atau resultan politik akan berbeda," tukas pria yang akrab disapa Irwan Fecho ini.

Selanjutnya kata Irwan, fakta politik juga menunjukkan dalam beberapa pemilu terakhir, justru pembentukan koalisi pemerintahan dapat terjadi setelah pileg dam pilpres selesai. Jadi, Presiden terpilih mendapatkan tambahan dukungan dari parlemen setelah pemilu usai.

Bahkan paling mutakhir, justru yang berlawanan dalam Pilpres menjadi sekutu pasca pemilu dan menjalankan pemerintahan bersama-sama.

"Di situlah inti penguatan kabinet presidensial, bukan pada saat proses kandidasi/pencalonan," ucapnya.

Selain itu Irwan menambahkan, desain pilpres konstitusional di Indonesia juga menganut skema second round system (dua ronde) dan simple majority (kemenangan sederhana 50%+1).

Yang artinya, konstitusi memiliki mekanisme saringan terhadap setiap capres-cawapres agar pemilu dapat menghasilkan Presiden yang berkualitas dan memiliki dukungan yang kuat.

"Oleh karena itu, dari pengalaman politik dan konstitusi kita termutakhir harusnya tidak ada lagi presidential threshold. Dengan pemilu yang serentak, setiap partai politik peserta pemilu harusnya memiliki hak untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden," jelasnya.

"Di situlah ada jaminan dan perlindungan terhadap hak untuk memilih dan dipilih setiap partai politik dan warga negara," tutup Irwan Fecho.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1477 seconds (0.1#10.140)