NU dan Visi Global-Kosmopolit Gus Yahya
loading...
A
A
A
Nur Faizin Darain
Wakil Sekjen Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Meski sempat tarik-ulur ihwal tanggal pelaksanaan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU), akhirnya suara mufakat dicapai juga. Hajatan terbesar NU ini akan berlangsung lebih singkat daripada biasanya, yaitu antara 22–23 Desember 2021 di Lampung.
Seperti yang sudah-sudah, biasanya akan muncul beberapa nama yang siap maju sebagai calon ketua umum organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini. KH. Marzuqi Mustamar dan KH. As’ad Said Ali merupakan dua nama yang lamat-lamat terlihat mendapat dukungan. Namun hingga sekarang, yang paling nyaring terdengar mengerucut kepada dua kandidat: KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf .
Keputusan Kiai Said untuk mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum pada periode ketiga ini sebenarnya agak mengejutkan. Sebab sebelumnya, beliau pernah memaklumatkan secara publik bahwa dirinya tidak akan maju lagi sebagai calon ketua umum karena dua hal: demi kepentingan regenerasi dan niatan fokus mengajar di pesantren.
Meski akhirnya berubah pikiran, langkah Kiai Said tidak salah. AD/ART NU memang tidak membatasi masa kepemimpinan. Keputusan beliau sudah prosedural. Namun, aspek regenerasi patut menjadi pertimbangan serius dalam muktamar sekarang. Perubahan ke arah yang lebih visioner sangat dibutuhkan oleh organisasi yang tidak lama lagi akan berusia satu abad ini.
Harus diakui, keduanya adalah kader terbaik NU. Jika pertimbangannya murni personal, barangkali muktamirin akan sangat sulit menjatuhkan pilihan, tetapi kebimbangan semacam itu dapat diperkecil dengan cara menggeser poin kriteria personal ke arah visi dan pandangan konkret mereka untuk NU ke depan. Kita sudah tahu bagaimana kepemimpinan Kiai Said selama dua periode terakhir menakhodai NU. Apa yang akan dilakukan Kiai Said tidak akan jauh dari yang telah berjalan satu dekade terakhir. Tetapi bagaimana dengan Gus Yahya?
Gus Yahya sebetulnya memiliki pandangan yang sangat visioner tentang NU. Bahkan dari saking visionernya, bisa dibilang, perspektifnya mungkin terlalu maju untuk standar zamannya. Pandangan-pandangan ini, sedikit atau banyak, pasti terilhami oleh Gus Dur. Itu tampak sekali pada judul buku terbaru A.S. Laksana, Menghidupkan Gus Dur, buku yang meminjam kacamata Gus Yahya sebagai sudut pandang.
Buku yang baru diluncurkan kemarin itu cukup menggambarkan percik-percik pemikiran Gus Yahya. Namun argumentasi solid dan sistematis Gus Yahya sesungguhnya tertuang rapi di buku yang ditulisnya sendiri, PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020). Dari buku ini kita menjadi tahu, Gus Yahya memiliki perspektif yang sama sekali baru, dan mungkin, tidak pernah terpikirkan oleh elite-elite NU lainnya.
Gus Yahya berhasil merekonstruksi akar genealogis NU dengan cara pandang yang sangat segar. Ia sampai pada kesimpulan bahwa pendirian NU tidak mungkin hanya sebatas respons terhadap naiknya Wahabi ke panggung geopilitik global. Karena jika demikian, NU telah jatuh pada liang sektarianisme yang sama dengan ideologi yang hendak dilawannya.
Faktor paling mendasar yang melatarbelakangi berdirinya NU, menurut Gus Yahya, justru adalah visi global NU untuk menjawab tantangan peradaban. Ketika kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 1924, praksis simbol politik peradaban Islam juga buyar. Wajah dunia Islam pun berubah secara total. Dan dua tahun setelah itu, NU didirikan. Sekuensi ini menyiratkan visi NU yang mau ambil bagian dalam upaya menjawab tatangan zaman.
Gus Yahya, boleh dibilang, adalah satu-satunya elite NU yang memikirkan betul aspek ini dengan sistematis dan meyakinkan. Dalam bukunya, Gus Yahya sudah memiliki platform yang jelas untuk mewujudkan visi global NU dengan mencoba melepas belenggu-belenggu fanatisme firqah yang seringkali mengerangkeng NU sebagai lawan tanding dari organisasi-organisasi keagamaan selainnya. Ini, kata Gus Yahya, justru mempersempit ruang gerak perjuangan NU. NU harus keluar dari tempurung sektarianisme yang membelenggu.
Sebagai orang yang pernah belajar sosiologi secara akademis, Gus Yahya tahu betul bahwa visi global, seperti yang diingatkan Ulrich Beck, dengan sendirinya, tidak mungkin dilepaspisahkan dari pola pikir kosmopolit yang mengikat sistem dunia hari ini. Visi kosmopolitan (cosmopolitan vision) sendiri adalah istilah yang dipakai sosiolog Jerman itu untuk mengembangkan sistem sosiologi modern yang paling sesuai dengan konteks kekinian. Dan Gus Yahya sepertinya meminjam paradigma ini untuk menciptakan NU baru yang siap memperluas reputasinya di tingkat global.
Nomenklatur “kebangkitan ulama” sebagai nama yang dipilih untuk kendaraan yang akan membawa misi global-kosmopolit Islam rahmatan lil ‘alamin meski solah terkesan eksklusif, sebenarnya sangat inklusif. Eksklusivitas itu—jika mau disebut demikian—hanya berlaku pada tataran otoritas pemikir(an) saja. Dengan kata lain, tanggung jawab merespons perubahan zaman pertama-tama memang merupakan pekerjaan ulama, pemikir, ilmuwan, atau cendekiawan.
Namun pada aspek teknikalitas untuk membangun wajah baru peradaban Islam di mata dunia, NU mesti lepas dari status eksklusifnya. NU harus menjadi wadah untuk semua jenis pemikiran, golongan, kelompok, dan afialiasi politik. Itulah kenapa, kata Gus Yahya, simbol tali pada logo NU dibuat longgar. Karena sejak didirikan, NU memiliki visi global-kosmopolit yang hendak diperjuangkan.
Kendati demikian, Gus Yahya cukup adil dalam menilai NU. Alih-alih melakukan glorifikasi, ia berani melakukan kritik internal untuk pelan-pelan melepas cara pandang lama yang insignifikan di tubuh NU. Ia menyadari, jika pola lama terus dilestarikan, NU akan semakin irrelevan. Dalam arti, NU dijauhi karena sektarian atau didekati semata karena menguntungkan.
Konstruksi organisasi NU nyaris tidak ada perubahan sejak 1952, titimangsa ketika NU berubah menjadi partai politik, meski pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo disepakati kembali ke khittah. Dalam praktiknya platform kembali ke khittah tidak pernah terumuskan secara teknis. Problem ini juga dipikirkan oleh Gus Yahya, dan ia telah menyediakan perangkat memadai untuk keluar dari persoalan ini.
Secara internal, Gus Yahya akan membenahi empat hal. Pertama, memperjelas pendapatan dan alokasi modal operasional organisasi. Ini dapat dilakukan dengan cara mengarusutamakan jejaring ekonomi keumatan dengan tata kelola yang profesional. Karena hanya dengan cara ini, kemandirian ekonomi Nahdliyin akan tercapai. Kedua, membangun struktur kepengurusan yang lebih beriorientasi pada cara pandang baru ketimbang cara pandang lama. Termasuk dalam hal ini adalah hubungannya dengan negara. Ketiga, rekrutmen keanggotaan yang lebih merata dan egaliter. Keempat, pola hubungan struktur dengan kultur atau pengurus dengan warga mengikuti asas fellowship, bukan membership.
Empat langkah tersebut selanjutnya akan diikuti oleh pembentukan sistem layanan untuk warga, mobilisasi sumber daya, dan regulasi yang mengatur pemerataan akses terhadap layanan dan sumber daya tersebut. Ini adalah fondasi awal untuk mewujudkan misi global-kosmopolit yang akan menaikkan reputasi NU di tingkat dunia. Dan Gus Yahya adalah garansi paling meyakinkan untuk mewujudkan itu semua. Selamat bermuktamar!
Wakil Sekjen Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Meski sempat tarik-ulur ihwal tanggal pelaksanaan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU), akhirnya suara mufakat dicapai juga. Hajatan terbesar NU ini akan berlangsung lebih singkat daripada biasanya, yaitu antara 22–23 Desember 2021 di Lampung.
Seperti yang sudah-sudah, biasanya akan muncul beberapa nama yang siap maju sebagai calon ketua umum organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini. KH. Marzuqi Mustamar dan KH. As’ad Said Ali merupakan dua nama yang lamat-lamat terlihat mendapat dukungan. Namun hingga sekarang, yang paling nyaring terdengar mengerucut kepada dua kandidat: KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf .
Keputusan Kiai Said untuk mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum pada periode ketiga ini sebenarnya agak mengejutkan. Sebab sebelumnya, beliau pernah memaklumatkan secara publik bahwa dirinya tidak akan maju lagi sebagai calon ketua umum karena dua hal: demi kepentingan regenerasi dan niatan fokus mengajar di pesantren.
Meski akhirnya berubah pikiran, langkah Kiai Said tidak salah. AD/ART NU memang tidak membatasi masa kepemimpinan. Keputusan beliau sudah prosedural. Namun, aspek regenerasi patut menjadi pertimbangan serius dalam muktamar sekarang. Perubahan ke arah yang lebih visioner sangat dibutuhkan oleh organisasi yang tidak lama lagi akan berusia satu abad ini.
Harus diakui, keduanya adalah kader terbaik NU. Jika pertimbangannya murni personal, barangkali muktamirin akan sangat sulit menjatuhkan pilihan, tetapi kebimbangan semacam itu dapat diperkecil dengan cara menggeser poin kriteria personal ke arah visi dan pandangan konkret mereka untuk NU ke depan. Kita sudah tahu bagaimana kepemimpinan Kiai Said selama dua periode terakhir menakhodai NU. Apa yang akan dilakukan Kiai Said tidak akan jauh dari yang telah berjalan satu dekade terakhir. Tetapi bagaimana dengan Gus Yahya?
Gus Yahya sebetulnya memiliki pandangan yang sangat visioner tentang NU. Bahkan dari saking visionernya, bisa dibilang, perspektifnya mungkin terlalu maju untuk standar zamannya. Pandangan-pandangan ini, sedikit atau banyak, pasti terilhami oleh Gus Dur. Itu tampak sekali pada judul buku terbaru A.S. Laksana, Menghidupkan Gus Dur, buku yang meminjam kacamata Gus Yahya sebagai sudut pandang.
Buku yang baru diluncurkan kemarin itu cukup menggambarkan percik-percik pemikiran Gus Yahya. Namun argumentasi solid dan sistematis Gus Yahya sesungguhnya tertuang rapi di buku yang ditulisnya sendiri, PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020). Dari buku ini kita menjadi tahu, Gus Yahya memiliki perspektif yang sama sekali baru, dan mungkin, tidak pernah terpikirkan oleh elite-elite NU lainnya.
Gus Yahya berhasil merekonstruksi akar genealogis NU dengan cara pandang yang sangat segar. Ia sampai pada kesimpulan bahwa pendirian NU tidak mungkin hanya sebatas respons terhadap naiknya Wahabi ke panggung geopilitik global. Karena jika demikian, NU telah jatuh pada liang sektarianisme yang sama dengan ideologi yang hendak dilawannya.
Faktor paling mendasar yang melatarbelakangi berdirinya NU, menurut Gus Yahya, justru adalah visi global NU untuk menjawab tantangan peradaban. Ketika kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 1924, praksis simbol politik peradaban Islam juga buyar. Wajah dunia Islam pun berubah secara total. Dan dua tahun setelah itu, NU didirikan. Sekuensi ini menyiratkan visi NU yang mau ambil bagian dalam upaya menjawab tatangan zaman.
Gus Yahya, boleh dibilang, adalah satu-satunya elite NU yang memikirkan betul aspek ini dengan sistematis dan meyakinkan. Dalam bukunya, Gus Yahya sudah memiliki platform yang jelas untuk mewujudkan visi global NU dengan mencoba melepas belenggu-belenggu fanatisme firqah yang seringkali mengerangkeng NU sebagai lawan tanding dari organisasi-organisasi keagamaan selainnya. Ini, kata Gus Yahya, justru mempersempit ruang gerak perjuangan NU. NU harus keluar dari tempurung sektarianisme yang membelenggu.
Sebagai orang yang pernah belajar sosiologi secara akademis, Gus Yahya tahu betul bahwa visi global, seperti yang diingatkan Ulrich Beck, dengan sendirinya, tidak mungkin dilepaspisahkan dari pola pikir kosmopolit yang mengikat sistem dunia hari ini. Visi kosmopolitan (cosmopolitan vision) sendiri adalah istilah yang dipakai sosiolog Jerman itu untuk mengembangkan sistem sosiologi modern yang paling sesuai dengan konteks kekinian. Dan Gus Yahya sepertinya meminjam paradigma ini untuk menciptakan NU baru yang siap memperluas reputasinya di tingkat global.
Nomenklatur “kebangkitan ulama” sebagai nama yang dipilih untuk kendaraan yang akan membawa misi global-kosmopolit Islam rahmatan lil ‘alamin meski solah terkesan eksklusif, sebenarnya sangat inklusif. Eksklusivitas itu—jika mau disebut demikian—hanya berlaku pada tataran otoritas pemikir(an) saja. Dengan kata lain, tanggung jawab merespons perubahan zaman pertama-tama memang merupakan pekerjaan ulama, pemikir, ilmuwan, atau cendekiawan.
Namun pada aspek teknikalitas untuk membangun wajah baru peradaban Islam di mata dunia, NU mesti lepas dari status eksklusifnya. NU harus menjadi wadah untuk semua jenis pemikiran, golongan, kelompok, dan afialiasi politik. Itulah kenapa, kata Gus Yahya, simbol tali pada logo NU dibuat longgar. Karena sejak didirikan, NU memiliki visi global-kosmopolit yang hendak diperjuangkan.
Kendati demikian, Gus Yahya cukup adil dalam menilai NU. Alih-alih melakukan glorifikasi, ia berani melakukan kritik internal untuk pelan-pelan melepas cara pandang lama yang insignifikan di tubuh NU. Ia menyadari, jika pola lama terus dilestarikan, NU akan semakin irrelevan. Dalam arti, NU dijauhi karena sektarian atau didekati semata karena menguntungkan.
Konstruksi organisasi NU nyaris tidak ada perubahan sejak 1952, titimangsa ketika NU berubah menjadi partai politik, meski pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo disepakati kembali ke khittah. Dalam praktiknya platform kembali ke khittah tidak pernah terumuskan secara teknis. Problem ini juga dipikirkan oleh Gus Yahya, dan ia telah menyediakan perangkat memadai untuk keluar dari persoalan ini.
Secara internal, Gus Yahya akan membenahi empat hal. Pertama, memperjelas pendapatan dan alokasi modal operasional organisasi. Ini dapat dilakukan dengan cara mengarusutamakan jejaring ekonomi keumatan dengan tata kelola yang profesional. Karena hanya dengan cara ini, kemandirian ekonomi Nahdliyin akan tercapai. Kedua, membangun struktur kepengurusan yang lebih beriorientasi pada cara pandang baru ketimbang cara pandang lama. Termasuk dalam hal ini adalah hubungannya dengan negara. Ketiga, rekrutmen keanggotaan yang lebih merata dan egaliter. Keempat, pola hubungan struktur dengan kultur atau pengurus dengan warga mengikuti asas fellowship, bukan membership.
Empat langkah tersebut selanjutnya akan diikuti oleh pembentukan sistem layanan untuk warga, mobilisasi sumber daya, dan regulasi yang mengatur pemerataan akses terhadap layanan dan sumber daya tersebut. Ini adalah fondasi awal untuk mewujudkan misi global-kosmopolit yang akan menaikkan reputasi NU di tingkat dunia. Dan Gus Yahya adalah garansi paling meyakinkan untuk mewujudkan itu semua. Selamat bermuktamar!
(zik)