Fokus pada Peningkatan Kepesertaan Jaminan Sosial di 2022
loading...
A
A
A
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch/Peneliti INSP!R Indonesia
PROGRAM jaminan sosial (jamsos) merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat memenuhi kebutuhan dasar hidup layak, serta menghadapi risiko-risiko sosial-ekonomi yang dapat mengakibatkan terhentinya atau berkurangnya penghasilan.
Menurut Anthony B. Atkinson, ekonom Inggris, dalam bukunya Inequality What Can Be Done (2015), jamsos berfungsi meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi di masyarakat. Namun, syaratnya harus ada perluasan cakupan kepesertaan dan manfaat, sehingga seluruh masyarakat memperoleh manfaatnya. Bila jamsos hanya dirasakan oleh segelintir masyarakat maka tujuan jamsos tidak akan tercapai.
Selama ini pelaksanaan lima program jamsos yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketengakerjaan masih diperhadapkan pada masalah klasik, utamanya yaitu masalah cakupan kepesertaan yang belum maksimal, dan selama pandemi Covid-19 ini kepesertaan cenderung menurun. Tentunya selain kepesertaan, masalah lainnya adalah pelayanan dan fasilitas kesehatan serta pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan masalah pelayanan serta investasi program yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Kepesertaan wajb dan gotong royong sebagai salah satu prinsip sistem jaminan sosial nasional, belum mampu diterapkan dengan baik guna mendukung peningkatan kepesertaan di kedua BPJS. Dengan kepesertaan wajib, seluruh rakyat dapat terlindungi, dan dengan gotong-royong terjadi kebersamaan antarpeserta dalam menanggung beban biaya jamsos, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat penghasilannya.
Kepesertaan Fakir Miskin dan Orang Tak Mampu
Kepesertaan di program JKN cenderung terus turun dalam dua tahun ini. Periode 2019 ke 2020 terjadi penurunan kepesertaan sebanyak 1.687.113 orang. Penurunan ini disumbang oleh penurunan penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah sebanyak 2.678.081 orang (biasa disebut peserta PBI APBD), walaupun di sisi lain ada kenaikan peserta penerima upah badan usaha (termasuk keluarganya) sebanyak 1.867.919 orang.
Penurunan peserta penerima bantuan iuran (PBI) APBD ini lebih disebabkan oleh lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019, yang menaikkan iuran peserta PBI dari Rp23.000 per orang per bulan menjadi Rp42.000. Pemerintah daerah merespons Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tersebut dengan menurunkan peserta, tanpa berusaha menaikan anggaran agar orang miskin di wilayahnya tetap terjamin di program JKN.
Penurunan kepesertaan terjadi juga pada 2021, dan penurunan ini lebih didominasi oleh kepesertaan PBI yang dibiayai APBN. Kementerian Sosial (Kemensos) menurunkan kepesertaan PBI APBN dengan menonaktifkan mereka.
Awal Januari 2021, jumlah peserta PBI APBN sebanyak 96,1 juta orang, yang diturunkan menjadi 87,05 juta orang per 15 September 2021, lalu naik menjadi 88,98 juta orang per 15 Oktober, dan per 15 November turun lagi menjadi 84,14 juta orang. Penurunan kepesertaan PBI ini berpotensi terus terjadi di tahun depan dan tahun berikutnya, seperti yang disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Presiden, yang pada 2024 jumlahnya hanya 40 juta orang.
Alasan Kemensos menonaktifkan kepesertaan PBI ini pun tidak transparan dan tanpa pemberitahuan kepada peserta. Pada September 2021, ada 5.882.243 peserta PBI yang dinonaktifkan dengan alasan peserta tidak terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan tidak padan dengan Dukcapil, namun peserta ini dapat diusulkan kembali apabila sudah diperbaiki datanya. Demikian juga di November lalu, ada 4.069.397 peserta dinonaktifkan dengan alasan mereka tidak ada di DTKS namun tidak dilakukan verifikasi. Alasan tersebut bersifat sepihak dan tidak objektif.
Koordinator Advokasi BPJS Watch/Peneliti INSP!R Indonesia
PROGRAM jaminan sosial (jamsos) merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat memenuhi kebutuhan dasar hidup layak, serta menghadapi risiko-risiko sosial-ekonomi yang dapat mengakibatkan terhentinya atau berkurangnya penghasilan.
Menurut Anthony B. Atkinson, ekonom Inggris, dalam bukunya Inequality What Can Be Done (2015), jamsos berfungsi meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi di masyarakat. Namun, syaratnya harus ada perluasan cakupan kepesertaan dan manfaat, sehingga seluruh masyarakat memperoleh manfaatnya. Bila jamsos hanya dirasakan oleh segelintir masyarakat maka tujuan jamsos tidak akan tercapai.
Selama ini pelaksanaan lima program jamsos yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketengakerjaan masih diperhadapkan pada masalah klasik, utamanya yaitu masalah cakupan kepesertaan yang belum maksimal, dan selama pandemi Covid-19 ini kepesertaan cenderung menurun. Tentunya selain kepesertaan, masalah lainnya adalah pelayanan dan fasilitas kesehatan serta pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan masalah pelayanan serta investasi program yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Kepesertaan wajb dan gotong royong sebagai salah satu prinsip sistem jaminan sosial nasional, belum mampu diterapkan dengan baik guna mendukung peningkatan kepesertaan di kedua BPJS. Dengan kepesertaan wajib, seluruh rakyat dapat terlindungi, dan dengan gotong-royong terjadi kebersamaan antarpeserta dalam menanggung beban biaya jamsos, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat penghasilannya.
Kepesertaan Fakir Miskin dan Orang Tak Mampu
Kepesertaan di program JKN cenderung terus turun dalam dua tahun ini. Periode 2019 ke 2020 terjadi penurunan kepesertaan sebanyak 1.687.113 orang. Penurunan ini disumbang oleh penurunan penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah sebanyak 2.678.081 orang (biasa disebut peserta PBI APBD), walaupun di sisi lain ada kenaikan peserta penerima upah badan usaha (termasuk keluarganya) sebanyak 1.867.919 orang.
Penurunan peserta penerima bantuan iuran (PBI) APBD ini lebih disebabkan oleh lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019, yang menaikkan iuran peserta PBI dari Rp23.000 per orang per bulan menjadi Rp42.000. Pemerintah daerah merespons Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tersebut dengan menurunkan peserta, tanpa berusaha menaikan anggaran agar orang miskin di wilayahnya tetap terjamin di program JKN.
Penurunan kepesertaan terjadi juga pada 2021, dan penurunan ini lebih didominasi oleh kepesertaan PBI yang dibiayai APBN. Kementerian Sosial (Kemensos) menurunkan kepesertaan PBI APBN dengan menonaktifkan mereka.
Awal Januari 2021, jumlah peserta PBI APBN sebanyak 96,1 juta orang, yang diturunkan menjadi 87,05 juta orang per 15 September 2021, lalu naik menjadi 88,98 juta orang per 15 Oktober, dan per 15 November turun lagi menjadi 84,14 juta orang. Penurunan kepesertaan PBI ini berpotensi terus terjadi di tahun depan dan tahun berikutnya, seperti yang disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Presiden, yang pada 2024 jumlahnya hanya 40 juta orang.
Alasan Kemensos menonaktifkan kepesertaan PBI ini pun tidak transparan dan tanpa pemberitahuan kepada peserta. Pada September 2021, ada 5.882.243 peserta PBI yang dinonaktifkan dengan alasan peserta tidak terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan tidak padan dengan Dukcapil, namun peserta ini dapat diusulkan kembali apabila sudah diperbaiki datanya. Demikian juga di November lalu, ada 4.069.397 peserta dinonaktifkan dengan alasan mereka tidak ada di DTKS namun tidak dilakukan verifikasi. Alasan tersebut bersifat sepihak dan tidak objektif.