Kutip Pernyataan Ketua KPK, LaNyalla: Presidential Threshold Sumber Korupsi
loading...
A
A
A
LaNyalla meminta kepada seluruh peserta training PB HMI-MPO untuk mengingat kembali tujuan kita berbangsa, tujuan lahirnya bangsa ini, sekaligus mengingat kembali cita-cita para pendiri bangsa ini. Terbentuknya negara ini, kata LaNyalla, tentu memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Di mana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya.
Menurut LaNyalla, untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara membentuk pemerintahan dan aparatur. Termasuk lembaga negara dalam fungsi legislatif, yudikatif dan auditif. Ketika dalam pelaksanaan tugasnya, LaNyalla menilai lembaga dan aparatur tersebut berbuat untuk kepentingan sendiri atau kelompok, bukan untuk tujuan negara, itu adalah korupsi.
"Jadi, ketika lahir sebuah undang-undang yang menguntungkan segelintir orang atau kelompok dan menyengsarakan rakyat kebanyakan, maka sejatinya Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang yang koruptif!" paparnya.
LaNyalla melanjutkan, perilaku tersebut, apakah kebijakan itu berupa undang-undang atau peraturan daerah atau kebijakan lainnya, apakah itu Keputusan Presiden, Gubernur atau Bupati dan Wali Kota, atau bahkan Peraturan Menteri atau Kepala Dinas, yang ternyata bukan untuk tujuan negara, bukan saja patut kita sebut sebagai praktik korupsi, tetapi juga pelanggaran terhadap konstitusi.
Dikatakannya, oleh karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti termaktub di dalam Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat (1), maka sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan. Sehingga, katanya, kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama.
"Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama, yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar konstitusi," ujarnya.
Lalu, katanya, bagaimana dengan kebijakan Presidential Threshold atau penerapan ambang batas pada pencalonan kepala daerah? Apakah produk Undang-Undang tersebut juga melanggar konstitusi?
"Jawabnya adalah tidak, karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden. Apalagi terhadap kepala daerah, sama sekali tidak ada di dalam konstitusi," tandasnya.
Lalu, tambah LaNyalla, apakah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah sesuai dengan keinginan masyarakat, terutama menyangkut Presidential Threshold? "Jelas Presidential Threshold mengerdilkan potensi bangsa, karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin, tetapi kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya," katanya.
Lantas apakah Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah?
Menurut LaNyalla, untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara membentuk pemerintahan dan aparatur. Termasuk lembaga negara dalam fungsi legislatif, yudikatif dan auditif. Ketika dalam pelaksanaan tugasnya, LaNyalla menilai lembaga dan aparatur tersebut berbuat untuk kepentingan sendiri atau kelompok, bukan untuk tujuan negara, itu adalah korupsi.
"Jadi, ketika lahir sebuah undang-undang yang menguntungkan segelintir orang atau kelompok dan menyengsarakan rakyat kebanyakan, maka sejatinya Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang yang koruptif!" paparnya.
LaNyalla melanjutkan, perilaku tersebut, apakah kebijakan itu berupa undang-undang atau peraturan daerah atau kebijakan lainnya, apakah itu Keputusan Presiden, Gubernur atau Bupati dan Wali Kota, atau bahkan Peraturan Menteri atau Kepala Dinas, yang ternyata bukan untuk tujuan negara, bukan saja patut kita sebut sebagai praktik korupsi, tetapi juga pelanggaran terhadap konstitusi.
Dikatakannya, oleh karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti termaktub di dalam Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat (1), maka sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan. Sehingga, katanya, kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama.
"Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama, yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar konstitusi," ujarnya.
Lalu, katanya, bagaimana dengan kebijakan Presidential Threshold atau penerapan ambang batas pada pencalonan kepala daerah? Apakah produk Undang-Undang tersebut juga melanggar konstitusi?
"Jawabnya adalah tidak, karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden. Apalagi terhadap kepala daerah, sama sekali tidak ada di dalam konstitusi," tandasnya.
Lalu, tambah LaNyalla, apakah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah sesuai dengan keinginan masyarakat, terutama menyangkut Presidential Threshold? "Jelas Presidential Threshold mengerdilkan potensi bangsa, karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin, tetapi kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya," katanya.
Lantas apakah Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah?