Mereka yang Menggugat Presidential Threshold 20%: Petinggi Gerindra hingga Gatot Nurmantyo
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam tempo sepekan, aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) empat kali digugat. Penggugatnya dari berbagai kalangan, antara lain petinggi Partai Gerindra Ferry J Yuliantono dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo .
Diketahui, ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluhpersen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya". Begitu bunyi pasal yang kini digugat.
Gugatan atau permohonan pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu pertama kali dilayangkan Ferry Yuliantono. Didampingi ahli hukum tata negara Refly Harun yang bertindak sebagai kuasa hukumnya, Ferry mendaftarkan gugatannya terkait PT yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (7/12/2021).
Namun, Ferry mengatakan gugatan ini diajukannya sebagai warga negara, bukan sebagai wakil ketua umum Partai Gerindra. "Bukan sebagai wakil ketua umum. Saya menggunakan hak saya, saya orang biasa yang ingin mengubah sistem demokrasi kita yang lebih baik lagi," ujarnya.
Tiga hari kemudian, giliran dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI secara resmi mendaftarkan gugatan terhadap ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Duo senator itu berharap gugatan diterima dan bisa menurunkan ambang batas yang semula 20% menjadi 0%.
Dua anggota DPD RI tersebut adalah Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung. Keduanya didampingi oleh Refly Harun selaku kuasa hukumnya. Pendaftaran gugatan ini dilakukan pada Jumat (10/12/2021).
"Kita doakan kepada Allah SWT semoga tergugah hati Hakim MK memperhatikan dan memutuskan seadil-adilnya dalam rangka yang terbaik terhadap demokrasi Indonesia dan kita harapkan nol persen jawaban terhadap masa depan Indonesia. Salam PT nol persen," kata Fachrul.
Terakhir, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo ikut melayangkan gugatan atas ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) menjadi nol persen.
Dikutip dari laman resmi MKRI di kolom pengajuan permohonan, Senin (13/12/2021), dalam pokok perkaranya, Gatot melayangkan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Gatot dalam perkara ini menjadikan Refly Harun sebagai kuasa hukumnya.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petitum yang dilayangkan Gatot dalam berkas permohonannya.
Gatot juga berpandangan bahwa kondisi faktual Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik. Bahkan, dia melihat Pilpres 2019 kemarin juga menjadikan terbentuknya polarisasi politik yang kuat di antara anak bangsa. "Seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi," jelasnya.
Lihat Juga: Alexander Marwata Gugat Pasal Larangan Pimpinan KPK Berhubungan dengan Pihak Berperkara ke MK
Diketahui, ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluhpersen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya". Begitu bunyi pasal yang kini digugat.
Gugatan atau permohonan pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu pertama kali dilayangkan Ferry Yuliantono. Didampingi ahli hukum tata negara Refly Harun yang bertindak sebagai kuasa hukumnya, Ferry mendaftarkan gugatannya terkait PT yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (7/12/2021).
Namun, Ferry mengatakan gugatan ini diajukannya sebagai warga negara, bukan sebagai wakil ketua umum Partai Gerindra. "Bukan sebagai wakil ketua umum. Saya menggunakan hak saya, saya orang biasa yang ingin mengubah sistem demokrasi kita yang lebih baik lagi," ujarnya.
Tiga hari kemudian, giliran dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI secara resmi mendaftarkan gugatan terhadap ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Duo senator itu berharap gugatan diterima dan bisa menurunkan ambang batas yang semula 20% menjadi 0%.
Dua anggota DPD RI tersebut adalah Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung. Keduanya didampingi oleh Refly Harun selaku kuasa hukumnya. Pendaftaran gugatan ini dilakukan pada Jumat (10/12/2021).
"Kita doakan kepada Allah SWT semoga tergugah hati Hakim MK memperhatikan dan memutuskan seadil-adilnya dalam rangka yang terbaik terhadap demokrasi Indonesia dan kita harapkan nol persen jawaban terhadap masa depan Indonesia. Salam PT nol persen," kata Fachrul.
Terakhir, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo ikut melayangkan gugatan atas ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) menjadi nol persen.
Dikutip dari laman resmi MKRI di kolom pengajuan permohonan, Senin (13/12/2021), dalam pokok perkaranya, Gatot melayangkan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Gatot dalam perkara ini menjadikan Refly Harun sebagai kuasa hukumnya.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petitum yang dilayangkan Gatot dalam berkas permohonannya.
Gatot juga berpandangan bahwa kondisi faktual Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik. Bahkan, dia melihat Pilpres 2019 kemarin juga menjadikan terbentuknya polarisasi politik yang kuat di antara anak bangsa. "Seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi," jelasnya.
Lihat Juga: Alexander Marwata Gugat Pasal Larangan Pimpinan KPK Berhubungan dengan Pihak Berperkara ke MK
(zik)