Polemik NFT dan Seni Kripto: Celah Eksploitasi Hak Cipta Karya Seni Digital
loading...
A
A
A
Peningkatan pesat NFT sayangnya disertai oleh kehadiran scammers atau penipu semacam kasus Qinni yang mencoba mengambil keuntungan dari tren jual beli karya seni digital ini. Eksistensi mereka diimbangi juga dengan kurangnya regulasi khusus terkait NFT. Ketika sebuah karya seni menjadi NFT, bagian dari penggunaannya adalah untuk membuktikan keasliannya sendiri, artinya tidak lagi dapat dilindungi oleh hak cipta. Di sini letak kelemahan sistem NFT dan kriptografi yang rawan dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab dan dijadikan celah eksploitasi. Secara teori, NFT merupakan alat untuk memberi seniman kontrol lebih besar atas kreasi mereka, namun telah terjadi banyak kasus NFT justru memudahkan aktor jahat untuk menjual karya seni orang lain.
Saat mempertimbangkan implikasi kekayaan intelektual NFT, penting untuk membedakan antara kepemilikan NFT dan kepemilikan atas kekayaan intelektual yang mendasarinya. Hak yang diberikan oleh penjual NFT bergantung pada hak yang dialihkan melalui lisensi atau penugasan, dan hak ini dapat berbeda di setiap NFT. Contoh nyatanya adalah seseorang dapat membeli klip video atau foto dunk LeBron James dalam bentuk NFT, tetapi hak dasarnya adalah milik NBA. Dalam konteks hak cipta, kepemilikan hak yang mendasari hanya akan dialihkan jika pencipta karya asli secara tegas setuju untuk mengalihkan hak tersebut kepada pemilik NFT.
Perkara hak cipta di dunia seni rupa kontemporer adalah perkara yang kompleks dan lebih berpusat pada aspek hukum ketimbang estetika. Permasalahan ini dapat diatasi dengan sarana perlindungan yang menyeluruh dan terharmonisasi antar negara, baik secara hukum ataupun teknologi. Dalam hal seni kripto dan teknologi NFT, penting bagi dunia internasional untuk mengharmonisasikan sistem hukum terkait NFT guna menghindari terjadinya kasus pelanggaran hak cipta yang tidak dapat ditindaklanjuti seperti kasus Kendra dan Qinni.
Sebagai sebuah teknologi yang baru dan berkembang dengan sangat pesat, antusiasme dari penggunanya perlu ditopang oleh regulasi yang akomodatif sehingga dapat memaksimalkan manfaat teknologi itu tersendiri.
Saat mempertimbangkan implikasi kekayaan intelektual NFT, penting untuk membedakan antara kepemilikan NFT dan kepemilikan atas kekayaan intelektual yang mendasarinya. Hak yang diberikan oleh penjual NFT bergantung pada hak yang dialihkan melalui lisensi atau penugasan, dan hak ini dapat berbeda di setiap NFT. Contoh nyatanya adalah seseorang dapat membeli klip video atau foto dunk LeBron James dalam bentuk NFT, tetapi hak dasarnya adalah milik NBA. Dalam konteks hak cipta, kepemilikan hak yang mendasari hanya akan dialihkan jika pencipta karya asli secara tegas setuju untuk mengalihkan hak tersebut kepada pemilik NFT.
Perkara hak cipta di dunia seni rupa kontemporer adalah perkara yang kompleks dan lebih berpusat pada aspek hukum ketimbang estetika. Permasalahan ini dapat diatasi dengan sarana perlindungan yang menyeluruh dan terharmonisasi antar negara, baik secara hukum ataupun teknologi. Dalam hal seni kripto dan teknologi NFT, penting bagi dunia internasional untuk mengharmonisasikan sistem hukum terkait NFT guna menghindari terjadinya kasus pelanggaran hak cipta yang tidak dapat ditindaklanjuti seperti kasus Kendra dan Qinni.
Sebagai sebuah teknologi yang baru dan berkembang dengan sangat pesat, antusiasme dari penggunanya perlu ditopang oleh regulasi yang akomodatif sehingga dapat memaksimalkan manfaat teknologi itu tersendiri.
(zik)