Mengenal Instrumen Nilai Ekonomi Karbon, Upaya Pemerintah Mengurangi Emisi Karbon dan Menanggulangi Climate Change
loading...
A
A
A
Amara F. Tahar
Alumni Universitas Bakrie
Presiden Joko Widodo telah menyampaikan dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow mengenai komitmen Indonesia untuk menjadi bagian komunitas dunia internasional yang turut serta menanggulangi climate change atau perubahan iklim global.
Selaras dengan hal tersebut, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 yang disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu telah melahirkan sebuah instrumen kebijakan baru yang cukup inovatif mengenai penyelenggaran nilai ekonomi karbon (NEK). Perpres tersebut mengatur tentang penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.
Instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) terdiri dari instrumen perdagangan maupun non-perdagangan. Instrumen perdagangan di antaranya adalah carbon trading atau perdagangan karbon, yaitu kegiatan jual beli emisi karbon yang dapat dilakukan secara wajib (mandatory carbon market) ataupun sukarela (voluntary carbon market). Skema perdagangan karbon yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah melalui perdagangan emisi atau dikenal juga dengan sistem cap-and-trade, dan offset emisi GRK.
Perdagangan emisi adalah mekanisme transaksi antara pelaku usaha yang memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang telah ditentukan. Sementara offset emisi GRK adalah mekanisme kompensasi atas emisi GRK yang dilepaskan pelaku usaha atau kegiatan dengan cara mendanai kegiatan penurunan emisi di tempat lain. Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia diperkirakan menyumbang 75-80% kredit karbon dunia. Sehingga, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dalam pelaksanaan perdagangan karbon. Selain itu, dengan adanya perdagangan karbon maka pemerintah juga dapat memantau besarnya emisi karbon yang beredar di pasar karbon dan mengontrol emisi karbon yang dilepas ke atmosfer.
Kemudian, instrumen NEK non-perdagangan di antaranya adalah pengenaan pajak karbon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang juga disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu. Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon ataupun yang menghasilkan sumber emisi karbon. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan "emisi karbon" adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Berdasarkan UU HPP, pajak karbon akan diterapkan secara bertahap berdasarkan peta jalan (roadmap) yang akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sasaran sektor prioritas, serta kesiapan kondisi ekonomi negara. Peta jalan pajak karbon tersebut juga akan turut memperhatikan perkembangan pasar karbon serta pembangunan energi baru terbarukan (EBT).
Pada Bab VI UU HPP Pasal 13, pengenaan tarif pajak karbon yang ditetapkan yaitu sebesar Rp30 per kilogram karbon CO2e. Namun, rencana awal pengenaan tarif pajak karbon dalam draft RUU KUP dua kali lipat lebih tinggi yaitu sebesar Rp75 per kilogram CO2e. Tarif pajak karbon yang ditetapkan tersebut jauh di bawah rekomendasi World Bank dan IMF untuk negara berkembang, yaitu antara US$ 35 - US$ 100 per ton atau sekitar Rp507.500 - Rp1,4 juta per ton, dengan asumsi kurs Rp14.500 per US$.
Menurut Cut Nurul Aidha, ekonom The PRAKARSA, keputusan pemerintah untuk menetapkan harga Rp30 per kilogram karbon CO2e dianggap terlalu rendah jika dibandingkan Singapura yang mengenakan tarif sebesar US$ 0.0040 per kilogram C02e atau sekitar Rp56.89 per kilogram CO2e. Padahal jumlah emisi yang dihasilkan Singapura jauh di bawah Indonesia. Walaupun tarif pajak karbon Rp30 per kilogram karbon CO2e merupakan langkah maju, namun tarif yang ditetapkan masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan emisi karbon yang dihasilkan Indonesia.
Alumni Universitas Bakrie
Presiden Joko Widodo telah menyampaikan dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow mengenai komitmen Indonesia untuk menjadi bagian komunitas dunia internasional yang turut serta menanggulangi climate change atau perubahan iklim global.
Selaras dengan hal tersebut, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 yang disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu telah melahirkan sebuah instrumen kebijakan baru yang cukup inovatif mengenai penyelenggaran nilai ekonomi karbon (NEK). Perpres tersebut mengatur tentang penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.
Instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) terdiri dari instrumen perdagangan maupun non-perdagangan. Instrumen perdagangan di antaranya adalah carbon trading atau perdagangan karbon, yaitu kegiatan jual beli emisi karbon yang dapat dilakukan secara wajib (mandatory carbon market) ataupun sukarela (voluntary carbon market). Skema perdagangan karbon yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah melalui perdagangan emisi atau dikenal juga dengan sistem cap-and-trade, dan offset emisi GRK.
Baca Juga
Perdagangan emisi adalah mekanisme transaksi antara pelaku usaha yang memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang telah ditentukan. Sementara offset emisi GRK adalah mekanisme kompensasi atas emisi GRK yang dilepaskan pelaku usaha atau kegiatan dengan cara mendanai kegiatan penurunan emisi di tempat lain. Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia diperkirakan menyumbang 75-80% kredit karbon dunia. Sehingga, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dalam pelaksanaan perdagangan karbon. Selain itu, dengan adanya perdagangan karbon maka pemerintah juga dapat memantau besarnya emisi karbon yang beredar di pasar karbon dan mengontrol emisi karbon yang dilepas ke atmosfer.
Kemudian, instrumen NEK non-perdagangan di antaranya adalah pengenaan pajak karbon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang juga disahkan pada tanggal 29 Oktober lalu. Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon ataupun yang menghasilkan sumber emisi karbon. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan "emisi karbon" adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Berdasarkan UU HPP, pajak karbon akan diterapkan secara bertahap berdasarkan peta jalan (roadmap) yang akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sasaran sektor prioritas, serta kesiapan kondisi ekonomi negara. Peta jalan pajak karbon tersebut juga akan turut memperhatikan perkembangan pasar karbon serta pembangunan energi baru terbarukan (EBT).
Pada Bab VI UU HPP Pasal 13, pengenaan tarif pajak karbon yang ditetapkan yaitu sebesar Rp30 per kilogram karbon CO2e. Namun, rencana awal pengenaan tarif pajak karbon dalam draft RUU KUP dua kali lipat lebih tinggi yaitu sebesar Rp75 per kilogram CO2e. Tarif pajak karbon yang ditetapkan tersebut jauh di bawah rekomendasi World Bank dan IMF untuk negara berkembang, yaitu antara US$ 35 - US$ 100 per ton atau sekitar Rp507.500 - Rp1,4 juta per ton, dengan asumsi kurs Rp14.500 per US$.
Menurut Cut Nurul Aidha, ekonom The PRAKARSA, keputusan pemerintah untuk menetapkan harga Rp30 per kilogram karbon CO2e dianggap terlalu rendah jika dibandingkan Singapura yang mengenakan tarif sebesar US$ 0.0040 per kilogram C02e atau sekitar Rp56.89 per kilogram CO2e. Padahal jumlah emisi yang dihasilkan Singapura jauh di bawah Indonesia. Walaupun tarif pajak karbon Rp30 per kilogram karbon CO2e merupakan langkah maju, namun tarif yang ditetapkan masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan emisi karbon yang dihasilkan Indonesia.