Pendapat Ahli, Penerbitan HYPN PT IOI Tidak Perlu Izin OJK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerbitan High Yield Promissory Notes (HYPN) yang dilakukan PT IndoSterling Optima Investa (PT IOI) merupakan surat sanggup bayar mekanisme perjanjian atau kontrak dengan hubungan keperdataan. Promissory note dinilai termasuk ke dalam commercial paper (perjanjian atau kesepakatan). Hal ini diatur di dalam Pasal 174-177 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Selain itu, berdasarkan pendapat ahli di persidangan, HYPN ini merupakan promissory note berupa surat utang sehingga tidak diperlukan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam penerbitannya. Para ahli tersebut yakni Yunus Husein, Ir Biena, M Rizky Aldila, dan Jonker Sihombing.
Penjelasan ini menjadi penegasan dalam pembacaan nota pembelaan (pledoi) dalam sidang dengan terdakwa Sean William Henley. Pledoi dibacakan kuasa hukum Hasbullah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat , Rabu (8/12/2021).
“Promissory note merupakan salah satu alternatif sebagai pembiayaan dana untuk operasional perusahaan dimana pihak perusahaan bisa mendapatkan pembiayaan dana dari sumber selain bank. Sumber dana yang diberikan oleh individu ataupun perusahaan bersedia sebagai pemegang promisorry notes sebagai persyaratan yang telah disepakati,” kata Hasbullah di persidangan.
Hasbullah mengatakan tuntutan yang diajukan JPU kepada Sean dinilai keliru. Menurutnya, apa yang dilakukan Sean tidak ada yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 46 Jo Pasal 16 UU No 10/1998 tentang Perubahan Atas UU No7/1992 tentang Perbankan.
“Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah perbuatan korporasi dalam melakukan hubungan keperdataan dalam bentuk hutang piutang yaitu suara sanggup atau surat utang (promissory note),” ujarnya.
Sebagaimana diketahui PT IOI telah menerbitkan HYPN pada 2016—2020. Instrumen itu menawarkan bunga tetap 9-12% per tahun. Pada 2016 sampai April 2020 pembayaran kupon imbal hasil berlangsung lancar. Namun pandemi Covid-19 membuat perekonomian seluruh dunia hancur dan berimbas pada IOI mengalami penundaan pembayaran kepada para pemegang HYPN, terhitung mulai 1 April 2020.
Pandemi Covid-19 yang berlarut akhirnya membuat penundaan pembayaran yang berkelanjutan kepada pemegang HYPN. Hal ini selanjutnya mengakibatkan munculnya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari beberapa pemegang HYPN.
Proses persidangan PKPU kemudian memutuskan menerima skema perdamaian yang ditawarkan PT IOI dalam perjanjian homologasi yang disetujui mayoritas kreditur. Hal ini telah dituangkan dalam putusan PKPU - Perdamaian (Homologasi) pada Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat No.174/PDT-SUS/PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST pada 2 September 2020.
Adapun skema yang disetujui dalam proses PKPU yakni dana para kreditur akan dibagikan dalam tujuh tahap. Dimulai dari 1 Maret 2021 hingga Desember 2027. Hal itu ditetapkan majelis hakim dengan mempertimbangkan jumlah investasi, umur kreditur, dan kondisi kesehatan kreditur.
Selain itu, berdasarkan pendapat ahli di persidangan, HYPN ini merupakan promissory note berupa surat utang sehingga tidak diperlukan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam penerbitannya. Para ahli tersebut yakni Yunus Husein, Ir Biena, M Rizky Aldila, dan Jonker Sihombing.
Penjelasan ini menjadi penegasan dalam pembacaan nota pembelaan (pledoi) dalam sidang dengan terdakwa Sean William Henley. Pledoi dibacakan kuasa hukum Hasbullah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat , Rabu (8/12/2021).
“Promissory note merupakan salah satu alternatif sebagai pembiayaan dana untuk operasional perusahaan dimana pihak perusahaan bisa mendapatkan pembiayaan dana dari sumber selain bank. Sumber dana yang diberikan oleh individu ataupun perusahaan bersedia sebagai pemegang promisorry notes sebagai persyaratan yang telah disepakati,” kata Hasbullah di persidangan.
Hasbullah mengatakan tuntutan yang diajukan JPU kepada Sean dinilai keliru. Menurutnya, apa yang dilakukan Sean tidak ada yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 46 Jo Pasal 16 UU No 10/1998 tentang Perubahan Atas UU No7/1992 tentang Perbankan.
“Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah perbuatan korporasi dalam melakukan hubungan keperdataan dalam bentuk hutang piutang yaitu suara sanggup atau surat utang (promissory note),” ujarnya.
Sebagaimana diketahui PT IOI telah menerbitkan HYPN pada 2016—2020. Instrumen itu menawarkan bunga tetap 9-12% per tahun. Pada 2016 sampai April 2020 pembayaran kupon imbal hasil berlangsung lancar. Namun pandemi Covid-19 membuat perekonomian seluruh dunia hancur dan berimbas pada IOI mengalami penundaan pembayaran kepada para pemegang HYPN, terhitung mulai 1 April 2020.
Pandemi Covid-19 yang berlarut akhirnya membuat penundaan pembayaran yang berkelanjutan kepada pemegang HYPN. Hal ini selanjutnya mengakibatkan munculnya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari beberapa pemegang HYPN.
Proses persidangan PKPU kemudian memutuskan menerima skema perdamaian yang ditawarkan PT IOI dalam perjanjian homologasi yang disetujui mayoritas kreditur. Hal ini telah dituangkan dalam putusan PKPU - Perdamaian (Homologasi) pada Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat No.174/PDT-SUS/PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST pada 2 September 2020.
Adapun skema yang disetujui dalam proses PKPU yakni dana para kreditur akan dibagikan dalam tujuh tahap. Dimulai dari 1 Maret 2021 hingga Desember 2027. Hal itu ditetapkan majelis hakim dengan mempertimbangkan jumlah investasi, umur kreditur, dan kondisi kesehatan kreditur.
(poe)