Akuakultur dan Perubahan Iklim

Rabu, 08 Desember 2021 - 13:57 WIB
loading...
Akuakultur dan Perubahan...
Muhammad Qustam Sahibuddin (Ist)
A A A
Muhammad Qustam Sahibuddin
Peneliti PKSPL-LPPM IPB University

KTT Perubahan Iklim (COP26) Glasgow telah berlalu dan menghasilkan Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact). Pertemuan tersebut dinilai gagal oleh Program Lingkungan PBB dalam mewujudkan target jangka pendek 2030, karena menurut perhitungan para ahli pada pembahasan COP26, akhir abad nanti suhu bumi justru naik 2,7 Cº. Sehingga apa yang telah dijanjikan pada Persetujuan Iklim Paris tidak mencapai target yang diharapkan.

Penulis menilai, kenaikan suhu bumi mencapai 2,7 Cº jika tidak disikapi dengan bijak oleh pemerintah Indonesia, maka sektor akuakultur akan menggali kuburannya sendiri di masa depan. Perubahan iklim merupakan momok menakutkan terhadap sektor akuakultur, karena mengakibatkan ikan mengalami gangguan kemampuan reproduksi, pertumbuhan, perilaku, fisiologis hingga pemicu stres dan munculnya berbagai jenis penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Dengan demikian bisa dipastikan sistem produksi akan terganggu, berakibat pada penurunan produksi yang akhirnya mengancam ketahanan dan kemandirian pangan serta mata pencaharian pembudidaya di masa depan.

Tambak estate program KKP (Kementerian kelautan dan Perikanan), untuk mengejar target produksi akuakultur nasional khususnya udang pada 2024 sebesar 250% menurut penulis sah-sah saja dilakukan. Namun perlu digarisbawahi, kita harus belajar pada kasus udang windu yang sempat menjadikan Indonesia sebagai negara produsen terbesar di dunia pada 1980-an hingga awal 1994 dan menyumbang PNBP sebesar USD1.200. Namun, seketika kejayaan udang windu hilang bak ditelam bumi akibat serangan penyakit dan penurunan kualitas air. Dengan demikian timbul pertanyaan, apakah dengan mengejar target produksi melalui tambak estate berarti telah meletakkan dasar pondasi yang kuat pada sektor akuakultur Indonesia?

Pondasi akuakultur merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan agar akuakultur mampu meningkatkatkan produksinya, berkelanjutan serta adaptif terhadap perubahan, termasuk perubahan iklim. Tentu pengalaman buruk yang menimpa udang windu dapat dijadikan pembelajaran berharga agar tidak melakukan kesalahan yang sama terkait peningkaatan volume produksi.

Pondasi Akuakultur Indonesia
Setiap tahun kasus kematian ikan budidaya sering terjadi akibat perubahan cuaca yang ekstrem. Sulaiman et al (2020) menjelaskan, di beberapa lokasi kegiatan budidaya kematian massal ikan disebabkan bukan hanya faktor teknis budidaya, namun karena cuaca yang ekstrem (hujan deras dan angin kencang).

Kasus udang windu, kematian massal ikan menjadi indikasi kuat akuakultur Indonesia membutuhkan pondasi kuat untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang terjadi. Pondasi akuakultur dapat dibangun melalui mekanisme kebijakan riset yang tidak berhenti walaupun terjadi pergantian kepemimpinan. Hal tersebut dibuktikan oleh Norwegia dari 1970 dengan ikan salmonnya dan Vietnam dari 1975 dengan lobsternya. Sektor akukultur dua negara tersebut kuat, adaptif dan meyejahterakan. Kebijakan pengembangan riset dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berdasarkan segmentasi kebutuhan.

Pertama, segmentasi pengembangan riset benih unggul. Benih unggul salah satu syarat agar kegiatan akuakultur dapat berkelanjutan dan adaptif. Fokus riset berupa penerapan bioteknologi molekuler yang dapat menghasilkan pemuliaan benih unggul, percepatan kematangan gonad, memperpendek waktu panen dan peningkatan resistensi terhadap serangan penyakit.

Kedua, segmentasi pengembangan riset nutrisi dan formulasi pakan. Dalam akuakultur, total biaya produksi hampir 60% merupakan komponen biaya pakan. Disamping itu penggunaan pakan dalam akuakultur dapat menimbulkan pencemaran berupa limbah dan bersifat toksik. Sehingga pengembangan difokuskan untuk menghasilkan formulasi nutrisi pakan yang tepat sehingga dihasilkan pakan dengan harga lebih murah, tidak mencemari lingkungan dan memilki komposisi nutrien yang dapat memacu pertumbuhan ikan lebih cepat.

Ketiga, segmentasi pengembangan riset vaksin dan suplemen berbasis mikroorganisme dan pemanfaatan zat aktif tanaman herbal. Antisipasi munculnya penyakit baru akibat perubahan lingkungan, kualitas air maupun iklim harus dilakukan. Sehingga pengembangan vaksin dan suplemen sangat diperlukan untuk peningkatan sistem imun ikan terhadap serangan penyakit. Vaksin dan suplemen yang dikembangkan sangat aman dibandingkan penggunaan antibiotik yang sudah banyak dilarang karena memiliki dampak negatif. Vaksin dapat dihasilkan melalui penerapan teknologi DNA/protein rekombinan, sedangkan suplemen dilakukan dengan mengekstrak zat aktif yang terkandung didalamnya. Aplikasi vaksin dan suplemen tersebut telah banyak diuji coba dalam penelitian dan terbukti meningkatkan mekanisme pertahanan, menghambat pertumbuhan patogen (bakteri, jamur dan virus), mencegah stres, peningkatan pertumbuhan dan nafsu makan serta meningkatkan kemampuan reproduksi ikan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0998 seconds (0.1#10.140)