Kementerian PPPA Mencatat KDRT Meningkat Selama Pandemi COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi COVID-19 telah berdampak pada berbagai segi kehidupan termasuk mengharuskan masyarakat untuk beraktivitas di rumah. Selain itu, pandemi juga membawa dampak pada sektor turunnya ekonomi masyarakat. Ternyata, kondisi ini bagi sebagian perempuan justru menimbulkan kekhawatiran baru yakni terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Perlu diketahui, menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional bahwa ada empat faktor penyebab terjadinya KDRT terhadap perempuan, khususnya secara fisik dan seksual yang dilakukan pasangan, yaitu individu, pasangan, sosial budaya, dan ekonomi. (Baca juga: Kasus WNI di Luar Negeri Positif COVID-19 Tembus 1.010 Orang)
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan (PHP) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Vennetia R Danes mengungkapkan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) hingga 3 Juni 2020 menunjukkan bahwa kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) dan KDRT sesudah Penetapan Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana (PPSKTDB) akibat pandemi Covid-19 sejak 29 Februari hingga 3 Juni 2020 yaitu 499 kasus KtP dan 319 KDRT.
Vennetia mengatakan dibanding periode sebelumnya yakni 1 Januari hingga 28 Februari 2020, yaitu sebanyak 979 kasus KtP dan 589 KDRT. “Ini berarti ada penurunan laju pertambahan dari 17 kasus KtP per hari menjadi 5 kasus per hari, sementara kasus KDRT dari 10 kasus per hari menjadi 3 kasus per hari,” ungkapnya yang dikutip dalam publikasi di laman Kementerian PPPA, Jakarta, Minggu (7/6/2020).
Sementara data Simfoni PPA periode 1 Januari hingga 3 Juni 2019 ada sebanyak 3.879 kasus KtP dan 2.546 KDRT. Dibandingkan data periode yang sama tahun 2020 yaitu 1.478 kasus KtP dan 908 KDRT, ini menunjukkan penurunan kasus KtP sekitar 62% dan 64% untuk KDRT.
Vennetia mengatakan walaupun data tersebut di atas menunjukkan penurunan laju pertambahan KDRT sampai 70% dan selisih jumlah kasus sampai 60% dari masa sesudah PPSKTDB dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun situasi ini belum dapat dikatakan menggembirakan. “Besar dugaan bahwa tingkat KDRT masih sama banyaknya dengan tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Hal ini, lanjut Vennetia, bisa jadi karena dampak kebijakan WFH dan PSBB yang membuat perempuan korban kekerasan dapat saja kehilangan akses untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya. Terutama di wilayah yang sarana dan prasarana komunikasi dan transportasinya tidak mendukung untuk mendapatkan akses layanan bagi perempuan korban kekerasan.
“Selain itu, kebijakan WFH dapat membuat pusat penyedia layanan di suatu wilayah tidak dapat berfungsi secara optimal,” terangnya. (Baca juga: Tjahjo Kumolo: Sistem Kerja ASN di New Normal Menyesuaikan Status PSBB)
Vennetia pun menambahkan untuk mengantisipasi terjadinya kasus KDRT diperlukan upaya komprehensif serta memastikan pelayanan pelaporan kasus KDRT saat pandemi tidak mengalami hambatan. “Salah satu upaya yang dapat kita lakukan agar para korban KDRT maupun KtP tetap terpenuhi haknya yakni mengubah pola pelaporan kasus dengan lebih proaktif dalam “menjemput bola” kasus KDRT di wilayah mereka, khususnya untuk daerah yang memiliki keterbatasan akses,” jelasnya.
Perlu diketahui, menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional bahwa ada empat faktor penyebab terjadinya KDRT terhadap perempuan, khususnya secara fisik dan seksual yang dilakukan pasangan, yaitu individu, pasangan, sosial budaya, dan ekonomi. (Baca juga: Kasus WNI di Luar Negeri Positif COVID-19 Tembus 1.010 Orang)
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan (PHP) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Vennetia R Danes mengungkapkan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) hingga 3 Juni 2020 menunjukkan bahwa kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) dan KDRT sesudah Penetapan Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana (PPSKTDB) akibat pandemi Covid-19 sejak 29 Februari hingga 3 Juni 2020 yaitu 499 kasus KtP dan 319 KDRT.
Vennetia mengatakan dibanding periode sebelumnya yakni 1 Januari hingga 28 Februari 2020, yaitu sebanyak 979 kasus KtP dan 589 KDRT. “Ini berarti ada penurunan laju pertambahan dari 17 kasus KtP per hari menjadi 5 kasus per hari, sementara kasus KDRT dari 10 kasus per hari menjadi 3 kasus per hari,” ungkapnya yang dikutip dalam publikasi di laman Kementerian PPPA, Jakarta, Minggu (7/6/2020).
Sementara data Simfoni PPA periode 1 Januari hingga 3 Juni 2019 ada sebanyak 3.879 kasus KtP dan 2.546 KDRT. Dibandingkan data periode yang sama tahun 2020 yaitu 1.478 kasus KtP dan 908 KDRT, ini menunjukkan penurunan kasus KtP sekitar 62% dan 64% untuk KDRT.
Vennetia mengatakan walaupun data tersebut di atas menunjukkan penurunan laju pertambahan KDRT sampai 70% dan selisih jumlah kasus sampai 60% dari masa sesudah PPSKTDB dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun situasi ini belum dapat dikatakan menggembirakan. “Besar dugaan bahwa tingkat KDRT masih sama banyaknya dengan tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Hal ini, lanjut Vennetia, bisa jadi karena dampak kebijakan WFH dan PSBB yang membuat perempuan korban kekerasan dapat saja kehilangan akses untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya. Terutama di wilayah yang sarana dan prasarana komunikasi dan transportasinya tidak mendukung untuk mendapatkan akses layanan bagi perempuan korban kekerasan.
“Selain itu, kebijakan WFH dapat membuat pusat penyedia layanan di suatu wilayah tidak dapat berfungsi secara optimal,” terangnya. (Baca juga: Tjahjo Kumolo: Sistem Kerja ASN di New Normal Menyesuaikan Status PSBB)
Vennetia pun menambahkan untuk mengantisipasi terjadinya kasus KDRT diperlukan upaya komprehensif serta memastikan pelayanan pelaporan kasus KDRT saat pandemi tidak mengalami hambatan. “Salah satu upaya yang dapat kita lakukan agar para korban KDRT maupun KtP tetap terpenuhi haknya yakni mengubah pola pelaporan kasus dengan lebih proaktif dalam “menjemput bola” kasus KDRT di wilayah mereka, khususnya untuk daerah yang memiliki keterbatasan akses,” jelasnya.
(kri)