Peradaban yang Berbenturan
loading...
A
A
A
Sedangkan peradaban Timur adalah campuran yang terbawa oleh Buddha, Tiongkok, Hindu, dan Jepang. Peradaban Timur juga kuat dipengaruhi oleh Islam yang berasal dari Timur Tengah Raya, Afrika Barat Utara, Albania, Bangladesh, Brunei, Komoro, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Maladewa.
Yang jadi problem, dalam kenyataannya kutub peradaban sebagai sumber konflik yang terbawa oleh prasangka dan stereotip ini, bukan semata-mata terjadi akibat adanya kategorisasi Timur dan Barat yang terdeterminasi oleh faktor wilayah geografis.
Yang juga berpengaruh adalah paradigma, perspektif berpikir, nilai-nilai maupun basic assumption yang beredar dalam peradaban. Perihal ini, pemikiran Huntington banyak memperoleh catatan kritis, bahkan pedas.
Pemikiran yang mendeterminasi relasi diametral Timur-Barat sebagai sumber konflik, dianggap sebagai simplikfikasi positivistik. Bias pemikiran ala Barat. Zainal Abidin Bagir, 2011 dalam Menguji the Clash of Civilizations Samuel P. Huntington, memuat kritik Edward Said yang menyatakan peradaban bukanlah kotak tertutup. Terdapat interaksi, pertukaran, dan saling pinjam antar peradaban. Benturan antar peradaban tak lebih dari bahasa baru untuk mengungkap sejarah, bukan untuk memahami kesalingbergantungan yang terus berlangsung sampai saat ini.
Peradaban hari ini dalam masyarakat jejaring, sesuai pemikiran Manuel Castell, sangat diwarnai oleh benturan antara “yang nyata“ dengan “yang maya”. Adanya real virtuality sebagai konsekuensi meratanya penggunaan internet di kehidupan masyarakat, berimplikasi ketika membicarakan realitas maya. Yang mayalah kini jadi realitas utama masyarakat. Rata-rata waktu yang dihabiskan masyakarat Indonesia berinternet 7 jam 59 menit (We are Social, 2020).
Konsumsi internet yang makin panjang waktunya ini, pada akhirnya menjadikan pengalaman virtual dihayati sebagai yang real. Kemayaan telah jadi bagian pengalaman nyata masyarakat. Respons perseptual yang muncul, betul-betul ada suatu skema nyata namun sebenarnya tak nyata. Yang dalam ketaknyataan itu, ia bersifat interaktif dan dapat dialami panca indera.
Ini membangkitan sensasi fisik yang sama pengalamannya di situasi nyata, alamiah dan bersifat real-time (Kurniawan, 2013).
Problem yang muncul dalam skenario ini, ketika pada suatu tindakan yang berlangsung di ruang-ruang virtual, berimplikasi utuh di ruang nyata. Ujaran kebencian maupun hoaks yang beredar lewat medium-medium digital, membawa keadaan yang sama kisruhnya ketika tindakan terjadi di ruang nyata.
Transaksi legal maupun ilegal di ruang virtual, punya konsekuensi yang sama kuatnya dengan transaksi di ruang-ruang aktual.
Benturan peradaban antara realitas digital dengan analog, juga termanifestasi saat masyarakat mengalami kebingungan kepemilikan ruang, antara “yang privat” dengan “yang publik”. Media digital yang dimiliki dan dikelola personal, dalam kenyataannya memiliki pengaruh pada publik luas. Terlebih ketika informasi yang diproduksi dan didistribusikan mengalami konsumsi trending.
Yang jadi problem, dalam kenyataannya kutub peradaban sebagai sumber konflik yang terbawa oleh prasangka dan stereotip ini, bukan semata-mata terjadi akibat adanya kategorisasi Timur dan Barat yang terdeterminasi oleh faktor wilayah geografis.
Yang juga berpengaruh adalah paradigma, perspektif berpikir, nilai-nilai maupun basic assumption yang beredar dalam peradaban. Perihal ini, pemikiran Huntington banyak memperoleh catatan kritis, bahkan pedas.
Pemikiran yang mendeterminasi relasi diametral Timur-Barat sebagai sumber konflik, dianggap sebagai simplikfikasi positivistik. Bias pemikiran ala Barat. Zainal Abidin Bagir, 2011 dalam Menguji the Clash of Civilizations Samuel P. Huntington, memuat kritik Edward Said yang menyatakan peradaban bukanlah kotak tertutup. Terdapat interaksi, pertukaran, dan saling pinjam antar peradaban. Benturan antar peradaban tak lebih dari bahasa baru untuk mengungkap sejarah, bukan untuk memahami kesalingbergantungan yang terus berlangsung sampai saat ini.
Peradaban hari ini dalam masyarakat jejaring, sesuai pemikiran Manuel Castell, sangat diwarnai oleh benturan antara “yang nyata“ dengan “yang maya”. Adanya real virtuality sebagai konsekuensi meratanya penggunaan internet di kehidupan masyarakat, berimplikasi ketika membicarakan realitas maya. Yang mayalah kini jadi realitas utama masyarakat. Rata-rata waktu yang dihabiskan masyakarat Indonesia berinternet 7 jam 59 menit (We are Social, 2020).
Konsumsi internet yang makin panjang waktunya ini, pada akhirnya menjadikan pengalaman virtual dihayati sebagai yang real. Kemayaan telah jadi bagian pengalaman nyata masyarakat. Respons perseptual yang muncul, betul-betul ada suatu skema nyata namun sebenarnya tak nyata. Yang dalam ketaknyataan itu, ia bersifat interaktif dan dapat dialami panca indera.
Ini membangkitan sensasi fisik yang sama pengalamannya di situasi nyata, alamiah dan bersifat real-time (Kurniawan, 2013).
Problem yang muncul dalam skenario ini, ketika pada suatu tindakan yang berlangsung di ruang-ruang virtual, berimplikasi utuh di ruang nyata. Ujaran kebencian maupun hoaks yang beredar lewat medium-medium digital, membawa keadaan yang sama kisruhnya ketika tindakan terjadi di ruang nyata.
Transaksi legal maupun ilegal di ruang virtual, punya konsekuensi yang sama kuatnya dengan transaksi di ruang-ruang aktual.
Benturan peradaban antara realitas digital dengan analog, juga termanifestasi saat masyarakat mengalami kebingungan kepemilikan ruang, antara “yang privat” dengan “yang publik”. Media digital yang dimiliki dan dikelola personal, dalam kenyataannya memiliki pengaruh pada publik luas. Terlebih ketika informasi yang diproduksi dan didistribusikan mengalami konsumsi trending.