Peradaban yang Berbenturan
loading...
A
A
A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
SAAT Samuel P Huntington menuliskan dalam bukunya yang berjudul asli, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, 1996, internet apalagi media sosial belum jadi moda komunikasi masyarakat.
Peradaban telah berkenalan dengan keberadaan komputer, namun jejaring luas dunia, world wide web yang diberdayakan internet, belum jelas wujudnya.
Masyarakat jejaring, morfologi masyarakat hari ini baru diuraikan Manuel Castells dalam buku The Rise of Network Society tahun 2009. Walaupun di tahun-tahun sebelumnya, telah ada pemikir-pemikir besar dunia, seperti Jan Van Dijk yang juga membahas fenomena ini dalam The Network Society, 1999, namun mekanisme perubahan masyarakat beserta budayanya muncul jelas dalam uraian Castells.
Dalam uraian Huntington disebutkan, sumber benturan yang terjadi pasca perang dingin adalah identitas budaya dan agama yang dipersepsi masyarakat.
Ia menyebut, “Hipotesis saya, sumber fundamental konflik di dunia baru pasca perang dingin bukan bersumber ideologi atau ekonomi. Perpecahan besar di antara umat manusia dan sumber konflik yang mendominasi adalah budaya. Konflik utama politik global, akan terjadi di antara negara dan kelompok peradaban yang berbeda. Benturan peradaban bakal mendominasi politik global. Garis patahan antar peradaban jadi garis pertempuran di masa depan."
Huntington melihat dunia dengan paradigma baru dengan adanya tujuh peradaban yang bersaing global, yaitu Barat, Amerika Latin, Konfusianisme, Jepang, Islam, Hindu dan Slavia-Ortodoks. Ini sama sekali beda dengan perang dingin yang mempersaingkan ideologi kapitalis blok negara-negara sekutu AS yang tergabung dalam NATO, dengan ideologi komunis blok negara-negara di bawah kepemimpinan Uni Soviet.
Dalam praktiknya, sumber kesadaran identitas agama maupun budaya masyarakat adalah peradaban yang berkembang di suatu wilayah geografis tertentu.
Peradaban Barat misalnya, adalah peradaban yang terbentuk pada negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat, Eropa Tengah, Australia maupun Oceania. Termasuk dalam peradaban Barat juga, adalah negara-negara dengan kebudayaan Kristen Barat, Katolik-Protestan.
Sedangkan peradaban Timur adalah campuran yang terbawa oleh Buddha, Tiongkok, Hindu, dan Jepang. Peradaban Timur juga kuat dipengaruhi oleh Islam yang berasal dari Timur Tengah Raya, Afrika Barat Utara, Albania, Bangladesh, Brunei, Komoro, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Maladewa.
Yang jadi problem, dalam kenyataannya kutub peradaban sebagai sumber konflik yang terbawa oleh prasangka dan stereotip ini, bukan semata-mata terjadi akibat adanya kategorisasi Timur dan Barat yang terdeterminasi oleh faktor wilayah geografis.
Yang juga berpengaruh adalah paradigma, perspektif berpikir, nilai-nilai maupun basic assumption yang beredar dalam peradaban. Perihal ini, pemikiran Huntington banyak memperoleh catatan kritis, bahkan pedas.
Pemikiran yang mendeterminasi relasi diametral Timur-Barat sebagai sumber konflik, dianggap sebagai simplikfikasi positivistik. Bias pemikiran ala Barat. Zainal Abidin Bagir, 2011 dalam Menguji the Clash of Civilizations Samuel P. Huntington, memuat kritik Edward Said yang menyatakan peradaban bukanlah kotak tertutup. Terdapat interaksi, pertukaran, dan saling pinjam antar peradaban. Benturan antar peradaban tak lebih dari bahasa baru untuk mengungkap sejarah, bukan untuk memahami kesalingbergantungan yang terus berlangsung sampai saat ini.
Peradaban hari ini dalam masyarakat jejaring, sesuai pemikiran Manuel Castell, sangat diwarnai oleh benturan antara “yang nyata“ dengan “yang maya”. Adanya real virtuality sebagai konsekuensi meratanya penggunaan internet di kehidupan masyarakat, berimplikasi ketika membicarakan realitas maya. Yang mayalah kini jadi realitas utama masyarakat. Rata-rata waktu yang dihabiskan masyakarat Indonesia berinternet 7 jam 59 menit (We are Social, 2020).
Konsumsi internet yang makin panjang waktunya ini, pada akhirnya menjadikan pengalaman virtual dihayati sebagai yang real. Kemayaan telah jadi bagian pengalaman nyata masyarakat. Respons perseptual yang muncul, betul-betul ada suatu skema nyata namun sebenarnya tak nyata. Yang dalam ketaknyataan itu, ia bersifat interaktif dan dapat dialami panca indera.
Ini membangkitan sensasi fisik yang sama pengalamannya di situasi nyata, alamiah dan bersifat real-time (Kurniawan, 2013).
Problem yang muncul dalam skenario ini, ketika pada suatu tindakan yang berlangsung di ruang-ruang virtual, berimplikasi utuh di ruang nyata. Ujaran kebencian maupun hoaks yang beredar lewat medium-medium digital, membawa keadaan yang sama kisruhnya ketika tindakan terjadi di ruang nyata.
Transaksi legal maupun ilegal di ruang virtual, punya konsekuensi yang sama kuatnya dengan transaksi di ruang-ruang aktual.
Benturan peradaban antara realitas digital dengan analog, juga termanifestasi saat masyarakat mengalami kebingungan kepemilikan ruang, antara “yang privat” dengan “yang publik”. Media digital yang dimiliki dan dikelola personal, dalam kenyataannya memiliki pengaruh pada publik luas. Terlebih ketika informasi yang diproduksi dan didistribusikan mengalami konsumsi trending.
Komunikasi personal, menurut Castells, tak jarang berubah jadi mass self communication. Komunikasi dilakukan personal, namun punya implikasi massal. Termasuk dalam benturan itu adalah, kegagapan masyarakat terhadap penggunaan ruang privat dengan ruang publik.
Ruang privat yang harusnya jadi panggung belakang, tertukar jadi panggung depan yang sifatnya publik. Lewat media digital, hari-hari ini, dapat disaksikan adegan intim interpersonal, pertikaian domestik maupun drama pribadi yang lazimnya jadi konsumsi terbatas. Peradaban luas masyarakat hari ini, diwarnai wacana privat yang harusnya selesai di tingkat personal. Pertanyaan besarnya kemudian, apa produk dari benturan peradaban yang timbul oleh tak dipahamimya realitas digital dengan realitas analog ini?
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
SAAT Samuel P Huntington menuliskan dalam bukunya yang berjudul asli, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, 1996, internet apalagi media sosial belum jadi moda komunikasi masyarakat.
Peradaban telah berkenalan dengan keberadaan komputer, namun jejaring luas dunia, world wide web yang diberdayakan internet, belum jelas wujudnya.
Masyarakat jejaring, morfologi masyarakat hari ini baru diuraikan Manuel Castells dalam buku The Rise of Network Society tahun 2009. Walaupun di tahun-tahun sebelumnya, telah ada pemikir-pemikir besar dunia, seperti Jan Van Dijk yang juga membahas fenomena ini dalam The Network Society, 1999, namun mekanisme perubahan masyarakat beserta budayanya muncul jelas dalam uraian Castells.
Dalam uraian Huntington disebutkan, sumber benturan yang terjadi pasca perang dingin adalah identitas budaya dan agama yang dipersepsi masyarakat.
Ia menyebut, “Hipotesis saya, sumber fundamental konflik di dunia baru pasca perang dingin bukan bersumber ideologi atau ekonomi. Perpecahan besar di antara umat manusia dan sumber konflik yang mendominasi adalah budaya. Konflik utama politik global, akan terjadi di antara negara dan kelompok peradaban yang berbeda. Benturan peradaban bakal mendominasi politik global. Garis patahan antar peradaban jadi garis pertempuran di masa depan."
Huntington melihat dunia dengan paradigma baru dengan adanya tujuh peradaban yang bersaing global, yaitu Barat, Amerika Latin, Konfusianisme, Jepang, Islam, Hindu dan Slavia-Ortodoks. Ini sama sekali beda dengan perang dingin yang mempersaingkan ideologi kapitalis blok negara-negara sekutu AS yang tergabung dalam NATO, dengan ideologi komunis blok negara-negara di bawah kepemimpinan Uni Soviet.
Dalam praktiknya, sumber kesadaran identitas agama maupun budaya masyarakat adalah peradaban yang berkembang di suatu wilayah geografis tertentu.
Peradaban Barat misalnya, adalah peradaban yang terbentuk pada negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat, Eropa Tengah, Australia maupun Oceania. Termasuk dalam peradaban Barat juga, adalah negara-negara dengan kebudayaan Kristen Barat, Katolik-Protestan.
Sedangkan peradaban Timur adalah campuran yang terbawa oleh Buddha, Tiongkok, Hindu, dan Jepang. Peradaban Timur juga kuat dipengaruhi oleh Islam yang berasal dari Timur Tengah Raya, Afrika Barat Utara, Albania, Bangladesh, Brunei, Komoro, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Maladewa.
Yang jadi problem, dalam kenyataannya kutub peradaban sebagai sumber konflik yang terbawa oleh prasangka dan stereotip ini, bukan semata-mata terjadi akibat adanya kategorisasi Timur dan Barat yang terdeterminasi oleh faktor wilayah geografis.
Yang juga berpengaruh adalah paradigma, perspektif berpikir, nilai-nilai maupun basic assumption yang beredar dalam peradaban. Perihal ini, pemikiran Huntington banyak memperoleh catatan kritis, bahkan pedas.
Pemikiran yang mendeterminasi relasi diametral Timur-Barat sebagai sumber konflik, dianggap sebagai simplikfikasi positivistik. Bias pemikiran ala Barat. Zainal Abidin Bagir, 2011 dalam Menguji the Clash of Civilizations Samuel P. Huntington, memuat kritik Edward Said yang menyatakan peradaban bukanlah kotak tertutup. Terdapat interaksi, pertukaran, dan saling pinjam antar peradaban. Benturan antar peradaban tak lebih dari bahasa baru untuk mengungkap sejarah, bukan untuk memahami kesalingbergantungan yang terus berlangsung sampai saat ini.
Peradaban hari ini dalam masyarakat jejaring, sesuai pemikiran Manuel Castell, sangat diwarnai oleh benturan antara “yang nyata“ dengan “yang maya”. Adanya real virtuality sebagai konsekuensi meratanya penggunaan internet di kehidupan masyarakat, berimplikasi ketika membicarakan realitas maya. Yang mayalah kini jadi realitas utama masyarakat. Rata-rata waktu yang dihabiskan masyakarat Indonesia berinternet 7 jam 59 menit (We are Social, 2020).
Konsumsi internet yang makin panjang waktunya ini, pada akhirnya menjadikan pengalaman virtual dihayati sebagai yang real. Kemayaan telah jadi bagian pengalaman nyata masyarakat. Respons perseptual yang muncul, betul-betul ada suatu skema nyata namun sebenarnya tak nyata. Yang dalam ketaknyataan itu, ia bersifat interaktif dan dapat dialami panca indera.
Ini membangkitan sensasi fisik yang sama pengalamannya di situasi nyata, alamiah dan bersifat real-time (Kurniawan, 2013).
Problem yang muncul dalam skenario ini, ketika pada suatu tindakan yang berlangsung di ruang-ruang virtual, berimplikasi utuh di ruang nyata. Ujaran kebencian maupun hoaks yang beredar lewat medium-medium digital, membawa keadaan yang sama kisruhnya ketika tindakan terjadi di ruang nyata.
Transaksi legal maupun ilegal di ruang virtual, punya konsekuensi yang sama kuatnya dengan transaksi di ruang-ruang aktual.
Benturan peradaban antara realitas digital dengan analog, juga termanifestasi saat masyarakat mengalami kebingungan kepemilikan ruang, antara “yang privat” dengan “yang publik”. Media digital yang dimiliki dan dikelola personal, dalam kenyataannya memiliki pengaruh pada publik luas. Terlebih ketika informasi yang diproduksi dan didistribusikan mengalami konsumsi trending.
Komunikasi personal, menurut Castells, tak jarang berubah jadi mass self communication. Komunikasi dilakukan personal, namun punya implikasi massal. Termasuk dalam benturan itu adalah, kegagapan masyarakat terhadap penggunaan ruang privat dengan ruang publik.
Ruang privat yang harusnya jadi panggung belakang, tertukar jadi panggung depan yang sifatnya publik. Lewat media digital, hari-hari ini, dapat disaksikan adegan intim interpersonal, pertikaian domestik maupun drama pribadi yang lazimnya jadi konsumsi terbatas. Peradaban luas masyarakat hari ini, diwarnai wacana privat yang harusnya selesai di tingkat personal. Pertanyaan besarnya kemudian, apa produk dari benturan peradaban yang timbul oleh tak dipahamimya realitas digital dengan realitas analog ini?
(dam)