KLHK Diminta Terbuka Soal Informasi Roadmap Pengurangan Sampah Plastik Produsen

Sabtu, 23 Oktober 2021 - 20:14 WIB
loading...
KLHK Diminta Terbuka...
Greenpeace Indonesia menyayangkan tidak adanya keterbukaan informasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait roadmap yang telah dikirim oleh 30 produsen. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Meski mengapresiasi keberadaan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, namun Greenpeace Indonesia menyayangkan tidak adanya keterbukaan informasi terkait roadmap yang telah dikirim oleh 30 produsen. Greenpeace saat ini sedang membuat petisi untuk bisa mengakses peta jalan yang dibuat oleh produsen.

“Harapannya, roadmap ini bisa diakses secara mudah oleh publik sehingga publik bisa menjadikan tanggung jawab produsen atas kemasan dan sampahnya mereka sebagai salah satu pertimbangan ketika membeli,” ujar Juru Bicara Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi pada webinar media “Efektivitas Permen KLHK 75/2019 Dalam Mengurangi Sampah Plastik Sekali Pakai”, Jumat (22/10/2021).

Keseriusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyelesaikan permasalahan sampah plastik di Indonesia juga dipertanyakan pegiat dan pengamat regulasi persampahan yang juga Ketua Komisi Penegakan Regulasi Satgas Sampah Nawacita Indonesia Asrul Hoesein. Menurutnya, Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang pemberlakuannya pada 2030 mendatang merupakan waktu yang cukup lama.

"Produsen-produsen tertentu juga masih belum dilarang untuk memproduksi kemasan-kemasan baru plastik sekali pakai seperti galon sekali pakai," katanya.

Menurut Asrul, pelaksanaan EPR (extended producer responsibilty) ini harusnya melalui peraturan pemerintah, yang di dalamnya diatur semua stakeholder, bukan hanya KLHK saja yang membuat peta jalan. Ini merupakan mandat Pasal 16 UU 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

“Sebenarnya dibuat dasarnya dulu, baru peta jalannya di bawah. Itu persoalannya, makanya apa yang terjadi seperti sekarang simpang siur, galon isi ulang diserang oleh galon sekali pakai. Plastik sekali pakai ini di satu sisi dilarang, tapi satu sisi seakan-akan disupport. Makanya kenapa terjadi perang antara galon isi ulang dengan galon sekali pakai yang akhir-akhir ini muncul, itu sudah perang industri di sini. Kenapa terjadi, karena sistem EPR ini nggak ada,” jelas Asrul.

Menurutnya, KLHK seharusnya tidak perlu menunggu perusahaan mau berkomitmen atau tidak dalam melakukan tanggung jawabnya terhadap sampah-sampah plastik yang mereka hasilkan mengingat itu sudah kewajiban mereka untuk mengelolanya dengan baik. “Jadi tidak boleh takut, karena EPR itu bukan duit perusahaan tapi duitnya konsumen. Sangat jelas bahwa mekanisme EPR itu dimasukkan dalam mekanisme harga produk,” ucapnya.

Jadi, kata Asrul, tidak heran kenapa KLHK saat ini membiarkan saja produsen yang dengan seenaknya memproduksi kemasan baru plastik sekali pakai dengan masif seperti galon sekali pakai itu. “Ini kan aneh, kenapa pada saat muncul pelarangan plastik sekali pakai, mereka justru membiarkan salah satu industri memproduksi kemasan galon sekali pakai. Harusnya KLHK kan menegur mereka karena produk itu jelas akan menambah tumpukan sampah plastik terhadap lingkungan,” tandasnya.

Menurut Atha, Greenpeace telah melakukan survei di kota besar Jakarta, Medan, dan Makassar. Hasilnya banyak orang sudah sadar bahwa masalah sampah plastik berbahaya bagi lingkungan dan ini senada juga sama survei yang dilakukan oleh LIPI yang menyatakan tingkat kesadaran masyarakat kota terhadap masalah sampah khusus plastik itu tinggi tapi permasalahannya adalah ini tidak berlanjut menjadi sebuah perubahan perilaku.

“Menurut konsumen, mereka memiliki keterbatasan untuk bisa mencari kemasan-kemasan plastik yang bisa digunakan secara berulang. Itu yang menyebabkan sekalipun mereka sudah sadar akan bahaya plastik terhadap lingkungan tapi mereka tetap menggunakannya,” tuturnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2369 seconds (0.1#10.140)