Diskusi FH UGM Diteror, Pengamat: Tanda Bahaya bagi Masa Depan Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Analis Sosial Politik asal UIN Jakarta, Adi Prayitno mengutuk tindakan teror dan intimidasi terhadap panitia dan narasumber tentang diskusi pemberhentian presiden. Diskusi yang rencananya digelar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM), Yogyakarta terpaksa dibatalkan karena panitia dan narasumber mendapatkan teror dari oknum yang masih diselidiki.
"Jika diskusi semacam itu dinilai meresahkan cukup minta klarifikasi dan tabayun ke pihak penyelenggara. Tak perlu mengintimidasi," tutur Adi saat dihubungi SINDOnews, Rabu (3/6/2020). (Baca juga: Teror Diskusi UGM, Elsam Minta Bebaskan Kampus dari Represi)
Adi menyatakan apapun dalihnya, teror itu barbar. Untuk itu, mestinya pemberhentian diskusi karena adanya teror tak terjadi di Indonesia yang kebebasannya dianggap sudah maju.
Menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini, teror tersebut tanda bahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia ke depan. Maka, penegak hukum mesti mengungkap secara tuntas pelaku dan otak teror. (Baca juga: Kepolisian Harus Usut Tuntas Pelaku Teror Diskusi FH UGM)
"Sebagai wujud komitmen keberpihakan pada kebebasan akademik. Ini bisa menjadi noda bagi demokrasi kita," katanya.
"Jika diskusi semacam itu dinilai meresahkan cukup minta klarifikasi dan tabayun ke pihak penyelenggara. Tak perlu mengintimidasi," tutur Adi saat dihubungi SINDOnews, Rabu (3/6/2020). (Baca juga: Teror Diskusi UGM, Elsam Minta Bebaskan Kampus dari Represi)
Adi menyatakan apapun dalihnya, teror itu barbar. Untuk itu, mestinya pemberhentian diskusi karena adanya teror tak terjadi di Indonesia yang kebebasannya dianggap sudah maju.
Menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini, teror tersebut tanda bahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia ke depan. Maka, penegak hukum mesti mengungkap secara tuntas pelaku dan otak teror. (Baca juga: Kepolisian Harus Usut Tuntas Pelaku Teror Diskusi FH UGM)
"Sebagai wujud komitmen keberpihakan pada kebebasan akademik. Ini bisa menjadi noda bagi demokrasi kita," katanya.
(kri)