Mengejar Reformasi Perpajakan

Rabu, 13 Oktober 2021 - 05:55 WIB
loading...
Mengejar Reformasi Perpajakan
Prof Candra Fajri Ananda, Ph.D Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
A A A
Prof Candra Fajri Ananda, Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

REFORMASI perpajakan sejatinya merupakan agenda periodik yang mulai dilakukan sejak tahun 1983 hingga sekarang. Di samping mengejar target penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak, peningkatan pelayanan pajak baik dari sisi sumber daya manusia maupun sistem teknologi juga wajib diperbaharui secara berkala. Sehingga, reformasi pajak yang kini perlu dilakukan bukan hanya karena adanya pandemi Covid-19, melainkan adanya persoalan fundamental pajak yang perlu segera ditangani.

Persoalan pajak berkaitan dengan ketersediaan dana domestik untuk membiayai pembangunan yang masih jauh dari harapan. Permasalahan ini terlihat dari kinerja tax ratio di Indonesia yang tergolong rendah dibandingkan dengan berbagai negara lainnya. Sejak 2018-2020, kinerja tax ratio atau rasio pajak Indonesia tercatat masih rendah dibandingkan negara-negara di Eropa Barat atau ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina. Dalam kurun waktu tersebut, rasio pajak Indonesia stagnan di angka 10-12%. Sementara, Singapura mencatatkan di level 13-14%. Sedangkan, Malaysia 12-15%, Philipina 17-18%, Thailand 17-17,5%, dan tertinggi adalah Eropa Barat yakni 41%. Rendahnya rasio pajak tersebut pada akhirnya berdampak pada minimnya realisasi pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan publik (public spending).

Tak hanya itu, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pun turut menyoroti rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang cenderung rendah dibanding negara anggota G20. OECD juga menilai bahwa Indonesia memiliki kepatuhan pajak yang buruk dan terlampau murah hati dalam memberikan pengecualian pajak. Oleh sebab itu, reformasi perpajakan mendesak untuk segera dilakukan agar tercipta sistem pajak yang adil, sehat dan efisien. Urgensi reformasi perpajakan akan membuat basis pajak yang kuat dan semakin merata. Apabila kondisi tersebut tercapai, maka akan tercipta APBN yang sehat dan berkelanjutan, di mana penerimaan negara memadai, resiko APBN rendah dan risiko utang dapat terjaga dengan baik.

UU HPP

RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang kini telah diresmikan menjadi UU HPP merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang reformasi perpajakan yang telah dan sedang dilakukan selama ini – baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan – yang akan menjadi batu pijakan penting bagi proses reformasi selanjutnya. UU HPP tak lain merupakan bagian dari reformasi struktural di bidang perpajakan yang bertujuan untuk mendukung cita-cita Indonesia maju. Reformasi perpajakan yang tertuang dalam UU HPP tersebut juga menjadi harapan besar untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak guna mendukung program pembangunan nasional.

UU HPP hadir pada saat yang tepat yaitu pada saat pandemi yang membutuhkan respon extraordinary. Pandemi memaksa APBN harus hadir untuk mengurangi tekanan ekonomi. Di sisi lain, pemerintah harus menghadapi situasi dimana pendapatan negara terkontraksi sangat dalam sementara belanja negara tumbuh signifikan, sehingga defisit melebar. Pada kondisi tersebut, pengesahan UU HPP dapat memberikan kepastian perpajakan setelah menghadapi pandemi yang berlangsung kurang lebih dalam dua tahun terakhir. Efek berkelanjutan akan terasa setelah pemerintah dalam tahun fiskal 2020 mengalami defisit APBN sebesar 6,14% atau sebesar Rp947,6 Triliun dan merupakan tingkat defisit yang terbesar sejak 20 tahun terakhir akibat pandemi.

Secara garis besar UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini berisi tentang pengaturan kembali Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kebijakan aturan tarif Pajak Penghasilan (PPh), penerapan implementasi pajak karbon, aturan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai (BKC), tentang aturan program pengungkapan sukarela wajib pajak (tax amnesty), dan ketentuan penghapusan terkait sanksi pidana perpajakan, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sekaligus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk wajib pajak orang pribadi.

UU HPP memuat ketentuan baru pajak yang akan segera diterapkan, di antaranya adalah menjadikan NIK sebagai NPWP. UU HPP menambah fungsi KTP yang mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) bagi wajib pajak orang pribadi sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Meski demikian, NIK sebagai pengganti NPWP bukan berarti masyarakat yang etlah berhak memiliki KTP diwajibkan membayar pajak. U HPP juga mengubah tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang akan naik perlahan mulai tahun depan. Mengutip Bab IV Pasal 7 RUU HPP, tarif PPN yang saat ini sebesar 10 persen akan naik jadi 11 persen pada 1 April 2022. Selanjutnya, tarif PPN yang ditetapkan 11 persen akan kembali naik jadi 12 persen di tahun berikutnya. Ketetapan ini paling lambat akan berlaku pada 1 Januari 2025. Meski demikian, kenaikan tarif PPN ini masih sesuai ambang batas dari aturan yang berlaku saat ini. Adapun perubahan tarif PPN bisa terjadi paling rendah sebesar 5%, dan paling tinggi 15%.

Semangat reformasi pajak untuk menciptakan keadilan dalam pemungutan pajak juga tertuang dalam UU HPP yang menyasar pajak bagi orang berpendatan tinggi. Pasal 17 UU HPP turut mengatur pemungutan tarif pajak yang lebih besar pada kelas ekonomi atas. Aturan ini memuat perubahan pengenaan tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Perubahan pertama terjadi pada kategori wajib pajak orang pribadi tingkat terkecil, yang batas penghasilan per tahunnya dinaikan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Selain itu, terdapat satu penambahan kategori wajib pajak orang pribadi, yakni berpenghasilan di atas Rp5 miliar dan akan terkena pungutan pajak sebesar 35%.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1397 seconds (0.1#10.140)